Tubuh yang Tak Lagi Mau Berdarah

Bahwa pernah ada seorang Paus, yang tidak menolak jadi manusia.

0 173
Virdika Rizky Utama

Oleh Virdika Rizky Utama

Katolikana.com—Gereja, sejak mula, hidup dari tubuh yang disakiti. Tubuh Kristus yang dipaku. Tubuh martir yang digeret ke tiang. Tubuh para biarawan yang menolak mundur saat wabah menyapu kota.

Dalam kisah asalnya, iman bukanlah soal ide. Ia soal tubuh—yang koyak, yang lapar, yang tetap hadir meski tahu akan kalah. Tapi di tangan waktu, tubuh-tubuh itu mulai dibersihkan.

Luka-luka dikeringkan, lalu dijadikan lambang. Disusun dalam liturgi. Dipasang di tembok. Dan setelah cukup lama, penderitaan kehilangan bau anyirnya.

Maka Gereja berdiri. Tegak, bersih, tinggi. Terlalu tinggi, hingga tak lagi tahu seperti apa rasanya berdebu.

Lalu datang seorang Paus. Ia tidak menurunkan doktrin. Ia menurunkan kursi. Ia tidak membawa darah baru. Ia mengulurkan tangan. Namanya Jorge Mario Bergoglio—Paus Fransiskus. Tapi sejarah akan mengingatnya sebagai orang yang mengembalikan tubuh ke tanah—tubuh Gereja, tubuh kekuasaan, tubuh umat, tubuh Tuhan.

Fransiskus tidak datang dari pusat. Ia datang dari ujung. Bukan dari Roma, tapi Buenos Aires. Bukan dari jalan-jalan marmer, tapi dari trotoar retak. Aksen bicaranya mengganggu ritme Latin klasik Vatikan. Gerak tubuhnya mengganggu protokol. Tapi justru karena itu, ia diperlukan. Karena tak ada perubahan yang lahir dari ruang yang nyaman.

Ia membawa semacam kegelisahan yang jarang dimiliki pemimpin agama. Kesediaan untuk tidak tahu lebih dulu. Fransiskus bukan paus yang tergesa-gesa menjawab. Ia tidak menjual kejelasan, melainkan keberanian untuk hidup dalam pertanyaan.

Dalam dunia yang lapar akan opini, ia justru memelihara permenungan. Ia sadar bahwa jawaban cepat sering kali hanyalah rasa takut yang disamarkan menjadi keyakinan. Dan karena itu, ia membuat banyak orang jengkel. Karena ia menolak memberi apa yang paling mudah dijual—kepastian.

Di tubuh Fransiskus, iman terasa seperti sesuatu yang rapuh, dan justru karena itu harus dijaga dengan pelan. Ia berbicara dengan jeda. Kadang terlalu banyak. Tapi dari jeda itulah kita mendengar bahwa agama bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tapi juga tentang ruang di antara kata.

Ia tidak memaksa orang untuk setuju. Ia menciptakan kondisi agar orang mau berpikir ulang. Dalam banyak hal, ia lebih menyerupai penyair yang tak ingin dimengerti sepenuhnya, daripada pemimpin yang ingin ditaati.

Ia bicara tentang dunia, tapi tidak dengan bahasa dunia. Ia bicara tentang kemiskinan, tetapi menolak menjadikannya alat legitimasi moral. Ia bicara tentang penderitaan, tetapi tak pernah menjualnya sebagai romantisme. Ia tidak menempatkan penderita sebagai obyek yang ditolong, tetapi sebagai subyek yang didengarkan.

Dan dari sikap itu, Fransiskus membongkar satu hal paling tua dalam politik agama. Bahwa orang kecil selalu harus diselamatkan dari luar dirinya. Fransiskus membatalkan logika itu. Ia tahu bahwa yang dibutuhkan bukan penyelamat, melainkan kawan seperjalanan.

Fransiskus adalah anak Jesuit. Sebuah ordo yang sejak lama lebih akrab dengan medan krisis dibanding menara-menara keagungan. Ia dibentuk bukan oleh kelimpahan, tapi oleh disiplin batin dan teologi keraguan.

Dalam tradisi Jesuit, keimanan tak pernah hadir sebagai kemewahan, tapi sebagai pergulatan panjang yang tak pernah selesai. Dan dari sana, ia membentuk gaya kepausannya. Bukan sebagai penguasa spiritual, tapi sebagai penafsir dunia.

Gereja menyukai ketegasan. Fransiskus membawa ketidakpastian. Ia tidak menghapus batas, tapi ia meletakkan kursi di dekatnya. Ia tidak merombak aturan, tapi ia membuka jendela agar yang di luar bisa mengintip ke dalam. Dan ketika mereka ragu masuk, ia tidak menyuruh mereka buru-buru. Ia duduk di ambang pintu, menunggu.

Kedekatan itu bukan gaya. Itu politik. Dalam dunia yang terbiasa menilai dari jarak, Fransiskus datang terlalu dekat. Ia mencuci kaki narapidana, bukan karena ingin difoto, tapi karena tahu. Kaki adalah bagian tubuh yang paling jarang dihormati.

Ia mencium luka. Ia memeluk tubuh-tubuh yang tak sesuai kalender liturgi. Ia menolak tinggal di Istana Apostolik. Ia memilih wisma. Ia menolak naik sedan tahan peluru. Ia memilih mobil kecil, seperti umat biasa.

Ia membawa kembali tubuh ke dalam agama. Bukan tubuh ideal yang bersih dan suci, tapi tubuh yang pernah gagal. Yang menyimpan bau kerja, luka, dan ketakutan. Ia tahu bahwa Gereja terlalu lama mengagungkan kesucian sebagai bentuk kebersihan. Padahal dalam sejarah iman, kesucian justru lahir dari keberanian untuk menyentuh yang dianggap najis.

Dalam satu dekade kepemimpinannya, Fransiskus tidak membangun monumen. Ia membongkar podium. Ia tidak ingin Gereja menjadi tempat terbaik bagi mereka yang sudah merasa benar, tapi menjadi satu-satunya tempat yang masih membuka pintu bagi mereka yang tak lagi percaya.

Ia tidak menulis ulang doktrin, tapi ia membentuk ulang sikap. Bukan dengan retorika, tapi dengan ketekunan. Ia menolak disakralkan. Ia ingin dianggap hadir. Dan itu, dalam struktur seperti Gereja Katolik, adalah tindakan yang nyaris subversif.

Fransiskus tahu, Gereja bukan benteng. Ia seharusnya bukan tempat yang dijaga, tapi ruang yang bisa dimasuki bahkan oleh mereka yang tak hapal doanya. Maka ia mulai mengubah cara Gereja memandang dirinya sendiri.

Ia menyebut Gereja bukan sebagai menara, melainkan rumah sakit lapangan. Ia meminta para imam untuk berbau domba. Karena gembala sejati, kata dia, bukan yang berdiri dari jauh, tapi yang berjalan di tengah kawanan.

Ia menggeser fokus Gereja dari aturan ke kehadiran. Dari kesempurnaan ke pengampunan. Dari kekuasaan ke kerendahan. Dan dalam proses itu, ia berhadapan bukan hanya dengan dunia luar, tapi dengan Gereja itu sendiri.

Kuria takut padanya bukan karena ia ingin merusak, tapi karena ia tidak ingin menjaga. Ia tidak menjaga martabat, protokol, atau hierarki. Ia membiarkan awam masuk ke forum.

Ia memberikan suara pada perempuan. Ia memberi tempat bagi yang cacat, yang dianggap gagal, yang dianggap tidak pantas. Ia tidak bicara tentang membuka pagar, tapi tentang meruntuhkan tembok.

Dan itu, bagi sebagian, terdengar seperti penghinaan terhadap warisan.

Tapi Fransiskus tidak marah. Ia juga tidak menjawab. Ia hanya terus hadir. Dalam doa yang tenang. Dalam ziarah yang sepi. Dalam perjumpaan yang tak perlu disorot kamera. Ia hadir seperti akar. Tak terlihat, tapi menguatkan tanah di mana Gereja berdiri.

Ia menyapa kaum Muslim bukan untuk mengislamkan, tapi untuk mengingatkan bahwa iman bukan monopoli. Ia menandatangani Dokumen Persaudaraan Manusia bersama Imam Besar Al-Azhar. Ia mendatangi Grand Ayatollah Sistani di Najaf. Ia bicara pada yang tak bisa disapa oleh Paus-Paus sebelumnya.

Banyak yang tak suka. Kuria menyebutnya kabur. Politikus menyebutnya berbahaya. Pengusaha menyebutnya tidak ekonomis. Tapi Fransiskus tak bicara dalam bahasa taktik. Ia bicara dalam bahasa tubuh. Hadir, diam, tinggal. Dan keberadaan, hari ini, terasa lebih langka dari mukjizat.

Ia tahu bahwa Gereja bukan hanya perlu didengar, tapi juga perlu belajar mendengar. Bahwa tidak semua luka ingin disembuhkan. Ada yang hanya ingin dimengerti. Bahwa tidak semua keraguan perlu dijawab. Ada yang cukup ditemani.

Kita jarang berbicara tentang keraguan dalam konteks iman. Padahal iman yang dewasa justru dibentuk oleh yang tak selesai. Fransiskus memberi ruang bagi ketidaksempurnaan.

Ia membiarkan kesucian menjadi berpori. Ia tahu bahwa jalan pulang yang terlalu licin justru tak bisa dilalui mereka yang pincang. Ia paham bahwa yang remuk tak selalu ingin dipulihkan. Kadang hanya ingin ditemani.

Ia tidak datang membawa revolusi. Tapi justru karena ia tidak berteriak, langkahnya bisa masuk sampai ke ruang yang paling keras kepala. Ia adalah jeda di tengah gema. Ia adalah koma di antara kalimat-kalimat final.

Kini, ketika tubuhnya telah tiada, dunia bukan hanya kehilangan seorang tokoh. Kita kehilangan satu bentuk kehadiran yang tidak mudah digantikan. Kehadiran yang tidak menuntut. Tidak menggurui. Tidak memaksa dipercaya.

Gereja hari ini mungkin akan kembali pada bentuk lamanya. Pada kursi tinggi dan karpet merah. Pada suara yang mengulang-ulang perintah. Pada bangunan yang menghindari debu.

Tapi jejak Fransiskus tidak akan hilang dari tanah. Karena ia tidak berjalan di atas, tapi di antara. Dan tubuh-tubuh yang pernah disentuh olehnya—tubuh migran, tubuh miskin, tubuh yang tersingkir, tubuh dunia—akan terus mengingat.

Bahwa pernah ada satu tubuh, yang tidak mencari takhta. Tapi mencari siapa yang tak punya tempat. Bahwa pernah ada seorang Paus, yang tidak menolak jadi manusia.

Selamat jalan, Fransiskus.
Engkau tidak meninggalkan takhta. Engkau meninggalkan arah.
Engkau tidak membangun menara. Engkau menanam akar.
Dan akar, sebagaimana doa, tumbuh tanpa perlu disaksikan. (*)

Penulis: Virdika Rizky Utama, Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional, President University.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.