Pernikahan Luna Maya dan Luka Lama yang Tak Mau Sembuh

Ketika Stigma Lebih Jahat dari Dosa

0 121

Oleh Caecilia Stella

Katolikana.com—Luna Maya resmi menikah dengan Maxime Bouttier pada Rabu (7/5/2025). Bukan hanya pesta yang meriah atau gaun pengantin yang memesona yang jadi sorotan publik—tapi siapa yang ia nikahi, dan siapa ia di masa lalu. Dunia maya kembali bising.

Nama Luna Maya, yang sempat karam dalam gelombang hujatan 15 tahun silam, kini kembali mengapung—bukan karena cinta, tapi karena memori publik yang tak tahu lupa.

Ia menikahi pria yang usianya sepuluh tahun lebih muda, dan sekali lagi, banyak mulut sibuk bersuara, seolah mereka masih punya hak untuk menghakimi.

Yang membuat miris bukan hanya komentar sinis dari para lelaki sok moralis, tetapi justru cibiran dari sesama perempuan.

Mereka yang harusnya berdiri satu barisan, malah menjadi hakim paling vokal. Dalam kasus Luna Maya, kita sekali lagi menyaksikan betapa kejamnya stigma terhadap perempuan yang jatuh—terutama jika yang jatuh itu adalah tubuh dan nama baiknya.

Padahal jika bicara soal moral dan dosa, dunia ini terlalu penuh dengan daftar pelanggaran dari kaum lelaki yang luput dari hukuman sosial.

Ironisnya, dalam skandal video asusila itu, pria yang turut tampil justru makin bersinar kariernya. Luna? Tenggelam dalam lumpur penghukuman sosial. Padahal keduanya sama-sama melakukan, tetapi hanya satu yang diadili.

Apakah ini soal standar ganda? Jawabannya: jelas. Perempuan yang jatuh akan dianggap tak layak ditegakkan kembali. Sementara pria yang jatuh akan dianggap ‘nakal’ tapi bisa berubah.

Masyarakat kita memang belum sembuh dari penyakit patriarki yang melegitimasi ketimpangan cara menilai dosa. Roma 14:13 berkata, “Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi!” Tapi sepertinya ayat ini terlalu asing di telinga para komentator digital.

Masa Lalu Tak Layak Jadi Penjara

Pernikahan Luna Maya adalah pengingat bagi kita semua: bahwa masa lalu tidak berhak mengurung seseorang dalam sel permanen rasa bersalah. Ia telah jatuh, dihina, diludahi secara sosial, tapi bangkit lagi dengan kepala tegak. Ia tidak hanya selamat dari badai, ia membuktikan bahwa badai tak selalu menenggelamkan.

Kisah ini bukan hanya tentang Luna Maya. Ini tentang banyak perempuan yang pernah jatuh, pernah terjerat pilihan yang salah, pernah tersandung dalam pencarian cinta dan penerimaan.

Banyak dari mereka tak seberuntung Luna yang bisa berdiri kembali di panggung. Banyak yang menyerah karena stigma terlalu berat, dan masyarakat terlalu rakus untuk memaafkan.

Dalam 1 Yohanes 1:9 dikatakan, “Jika kita mengakui dosa-dosa kita, Dia setia dan adil untuk mengampuni.” Tapi bagaimana umat manusia bisa meneladani Allah yang penuh pengampunan kalau kita bahkan enggan memberi kesempatan kedua?

Luna Maya dan Maxime Bouttier. Foto: Grid.DI/Devi Agustiana

Cinta yang Membebaskan, Bukan Menghakimi

Pernikahan Luna bukan peristiwa selebritas biasa. Ia adalah simbol harapan. Bahwa cinta sejati tidak peduli pada riwayat yang kelam. Bahwa perempuan layak dicintai dalam utuhnya: luka, sejarah, dan masa kini. Bahwa cinta tidak lahir dari ketidaktahuan akan masa lalu, tapi dari penerimaan yang sadar bahwa setiap manusia berhak disayangi tanpa syarat.

Lelaki yang mencintai Luna Maya bukan konglomerat. Tapi barangkali, ia lebih kaya dalam hal yang lebih penting: ketulusan dan keberanian mencintai tanpa syarat. Bukankah itu yang sesungguhnya dibutuhkan dalam sebuah pernikahan?

Wahai para pria, jika engkau mengaku mulia, jangan ukur perempuan dari ‘tubuh yang bersih’ atau ‘rekam jejak yang steril’. Ukurlah dari keberaniannya untuk bangkit, dari ketegarannya menahan luka. Jika engkau betul mencintai, cintailah sebagai pelindung, bukan sebagai penuntut.

Dan wahai para perempuan, jika engkau pernah merasa hina karena masa lalu, ingatlah bahwa yang paling tahu tentang nilai hidupmu bukan mereka yang mencibir, tapi Allah yang menciptakanmu. Perjalanan hidupmu tak ditentukan oleh satu kesalahan, melainkan oleh keberanianmu untuk terus melangkah. Setiap orang punya masa lalu. Tapi tidak semua orang berani mengubahnya jadi masa depan yang lebih baik.

Menghormati Jalan Pertobatan

Dalam masyarakat yang begitu cepat menghakimi, mari kita belajar memperlambat lidah dan mempercepat hati. Dunia tidak butuh lebih banyak jari telunjuk. Dunia butuh lebih banyak telinga untuk mendengar, dan tangan untuk menolong.

Luna Maya bukan orang suci. Tapi ia adalah lambang bahwa perempuan bisa bangkit dari kehancuran dan menemukan cinta yang menerima, bukan yang mengutuk. Karena pada akhirnya, bukan kesalahan yang mendefinisikan kita, melainkan bagaimana kita bangkit dan berubah.

Kita semua adalah anak-anak yang pernah hilang, dan Allah senantiasa menjadi Bapa yang menunggu di ujung jalan pulang. Maka, jangan rampas hak siapapun untuk pulang—termasuk hak perempuan untuk merdeka dari masa lalunya. (*)

Lahir di Bandung, domisili Jakarta. Pemerhati pendidikan, isu sosial, dan psikologi umum. No IG, prefer genuine relationship. Let’s make Indonesia greater than before!

Leave A Reply

Your email address will not be published.