Yayasan Kanisius Surakarta Gelar Pelatihan Safeguarding

Wujudkan Sekolah Katolik yang Aman, Bermartabat, dan Manusiawi

0 246

Surakarta, Katolikana.com – Yayasan Kanisius Cabang Surakarta menggelar Pelatihan Safeguarding bagi kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan dari sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius.

Kegiatan ini berlangsung dalam dua gelombang, yaitu pada Jumat–Sabtu (16–17 Mei 2025) dan akan berlanjut pada Jumat–Sabtu (23–24 Juni 2025), bertempat di Aula Ignatius Loyola, Paroki St. Antonius Padua Purbayan, Surakarta.

Sebanyak 276 peserta dari berbagai satuan pendidikan terlibat aktif dalam pelatihan ini. Mereka berasal dari sekolah-sekolah Kanisius yang tersebar di wilayah Surakarta dan sekitarnya.

Dengan semangat reflektif dan partisipatif, para peserta diajak untuk mendalami konsep safeguarding—budaya perlindungan yang menjamin bahwa lingkungan pendidikan adalah ruang yang aman, sehat, dan bermartabat bagi seluruh insan, khususnya anak-anak dan orang dewasa rentan.

Membangun Budaya Aman

Konsep safeguarding yang diusung Yayasan Kanisius mencakup lebih dari sekadar tindakan preventif terhadap kekerasan fisik atau verbal. Ini adalah paradigma pendidikan yang menempatkan perlindungan martabat manusia sebagai nilai dasar.

Melalui safeguarding, sekolah dipandang sebagai ruang formasi karakter dan tempat tumbuh kembangnya anak-anak secara optimal—secara intelektual, emosional, spiritual, dan sosial.

“Pelatihan ini bukan hanya agenda rutin, tetapi bagian dari visi jangka panjang Yayasan Kanisius untuk menghadirkan pendidikan yang utuh: yang tidak hanya mengajar, tetapi juga melindungi, menyembuhkan, dan membentuk pribadi yang utuh,” ujar Pater Joseph MMT Situmorang SJ, Kepala Yayasan Kanisius Cabang Surakarta.

Tanggung Jawab Kolektif

Pelatihan ini menjadi langkah lanjut dari implementasi Protokol Pencegahan, Penanganan, dan Penyelesaian Kekerasan Terhadap Anak dan Orang Dewasa Rentan yang disusun Yayasan Kanisius. Protokol ini melandaskan diri pada berbagai pedoman Gereja dan pendidikan Katolik, antara lain:

  • Deklarasi tentang Pendidikan Kristen yang menegaskan bahwa semua manusia memiliki hak atas pendidikan bermartabat.
  • Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang menggarisbawahi misi sekolah Katolik dalam membentuk karakter dan spiritualitas generasi muda.
  • Preferensi Kerasulan Serikat Yesus (SJ) yang mendorong pendampingan kaum muda secara personal dan profetis.
  • Spiritualitas St. Petrus Kanisius, yang menekankan pentingnya mendidik dengan teladan, penguatan batin, dan kepekaan hati.

“Kami ingin seluruh warga sekolah—baik guru, murid, maupun orang tua—memahami bahwa tanggung jawab untuk menciptakan budaya aman adalah milik bersama,” lanjut Pater Joseph.

Pelatihan Berbasis Refleksi dan Aksi Nyata

Para peserta pelatihan tidak hanya menerima materi teoretis, tetapi juga melakukan refleksi mendalam dan berbagi praktik baik yang telah dilakukan di sekolah masing-masing. Materi yang dibahas meliputi:

  • Safe Self – Membangun kesadaran pribadi sebagai pendidik yang aman secara psikologis dan spiritual.
  • Safe Community – Menumbuhkan budaya saling melindungi dan menghargai di lingkungan sekolah.
  • Safe Ministry – Menjalankan tugas mendidik sebagai bagian dari perutusan Gereja.

Narasumber pelatihan adalah delapan kepala sekolah dan guru yang tergabung dalam Satgas Safeguarding Yayasan Kanisius. Mereka menjadi fasilitator untuk sesi-sesi dialog, simulasi kasus, dan perumusan strategi penguatan TPPK (Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan) di sekolah masing-masing.

Perlindungan yang Menyeluruh

Pelatihan ini juga menekankan bahwa perlindungan yang diberikan harus bersifat menyeluruh: dimulai dari pencegahan kekerasan, mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya, hingga upaya pemulihan bagi korban.

Safeguarding bukan sekadar menyelesaikan masalah ketika kekerasan terjadi. Lebih dari itu, ia membangun budaya—budaya komunikasi terbuka, penghormatan terhadap martabat anak, dan keberanian untuk bersikap,” kata salah satu fasilitator pelatihan.

Yayasan Kanisius juga menegaskan komitmennya untuk menyediakan pendampingan psikososial jika ada kasus yang membutuhkan perhatian khusus, serta mendukung keterlibatan orang tua dalam membangun lingkungan rumah yang juga aman dan suportif bagi anak-anak.

Ruang Pertumbuhan dan Perjumpaan

Pater Joseph Situmorang menutup sesi hari pertama pelatihan dengan menggarisbawahi bahwa sekolah Katolik bukanlah tempat netral secara nilai. Ia adalah tempat di mana iman, harapan, dan kasih mesti dihidupi dalam keseharian.

“Pendidikan Katolik adalah perutusan Gereja. Mendidik bukan hanya soal logika dan kurikulum, tetapi relasi, spiritualitas, dan saksi hidup. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi gembala—yang hadir dengan kasih dan keberanian untuk melindungi,” tegasnya.

Di tengah krisis identitas, perpecahan sosial, serta penetrasi budaya digital yang acapkali merusak relasi sehat, sekolah Katolik dipanggil untuk hadir secara profetis—membangun kesadaran kritis dan spiritualitas perlindungan di tengah komunitas.

Aman, Inklusif, dan Humanis

Pelatihan safeguarding di Yayasan Kanisius Surakarta bukan hanya upaya institusional, tetapi gerakan transformatif. Gerakan ini bertujuan mewujudkan sekolah sebagai safe space—bukan hanya dari kekerasan fisik, tetapi juga dari ketakutan, tekanan sosial, dan penindasan identitas.

Yayasan Kanisius berharap ke depan, seluruh sekolah Katolik di bawah naungannya menjadi pelopor lingkungan pendidikan yang mengedepankan keutuhan martabat manusia, relasi kasih, dan perlindungan sejati.

“Budaya aman adalah benih kasih yang akan bertumbuh dalam setiap anak. Ketika anak merasa aman, ia akan belajar dengan gembira, bertumbuh dengan utuh, dan pada akhirnya menjadi pribadi yang siap menghadirkan terang Kristus di dunia,” pungkas Pater Joseph.

Pelatihan ini menandai langkah awal yang penting menuju ekosistem pendidikan Katolik yang lebih berbelas kasih, reflektif, dan transformatif—di mana setiap insan dihargai, dilindungi, dan dikasihi. (*)

Katekis di Paroki Kleco, Surakarta

Leave A Reply

Your email address will not be published.