Jejak Kristiani Fransiskus Xaverius di Asia yang Tak Terhapus Zaman

Ia menjangkau India, Malaka, Jepang, hingga Tiongkok, menjadikan semuanya ladang misi yang dijalani dengan kesetiaan luar biasa.

0 78

Katolikana.com – Jejak hidup Santo Fransiskus Xaverius adalah sebuah kisah transformasi: dari akademisi ambisius di jantung Eropa menjadi misionaris besar yang menyerahkan hidupnya bagi Injil.

“Dari Paris ke Pantai Asia” bukan sekadar pergerakan geografis, melainkan perjalanan spiritual yang memperlihatkan bagaimana seseorang yang mengakar dalam Sabda Allah dapat berbuah bagi dunia.

Fransiskus Xaverius lahir pada 7 April 1506 di Kastil Xavier, Navarra, Spanyol. Nama lengkapnya Francisco de Jassu y Xavier.

Ia berasal dari keluarga bangsawan, dan seperti banyak bangsawan muda lainnya, ia pergi ke Paris untuk menuntut ilmu dan mengejar kehormatan duniawi. Namun pertemuannya dengan Ignatius Loyola di Universitas Paris mengubah arah hidupnya.

Ignatius, dengan pertanyaan eksistensialnya, “Apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya?” menyentuh batin Fransiskus.

Ia pun memutuskan mengikuti latihan rohani bersama Ignatius dan lima sahabat lain, mengucapkan kaul hidup miskin dan murni di Kapel Montmartre pada tahun 1534—yang kelak menjadi fondasi Serikat Yesus (SJ).

Sabda yang Menjadi Kabar Baik

Meskipun tak memiliki semboyan pribadi, kehidupan Fransiskus mencerminkan semangat Verbum est Evangelicum—“Sabda itu menjadi Kabar Baik.” Baginya, Sabda Tuhan bukan sekadar teori atau doktrin, melainkan kekuatan yang harus diwujudkan dalam tindakan kasih dan keberanian mewartakan Injil kepada semua bangsa.

Semangat ini sangat sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II dan seruan para Paus seperti Evangelii Nuntiandi (Paulus VI) dan Maximum Illud (Benediktus XV), yang menekankan pewartaan sebagai bentuk partisipasi umat dalam misi keselamatan Allah.

Markus 16:15 menjadi dasar yang selalu dikutip: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Melayani, Bukan Menguasai

Doanya yang terkenal menjadi cermin jiwa kepemimpinannya:

“Tuhan, aku mengasihi Engkau, bukan karena Surga yang telah Kau janjikan, bukan pula karena Neraka yang harus kuhindari. Aku mengasihi Engkau karena Engkaulah Engkau—Tuhanku dan Allahku.”

Kepemimpinan Fransiskus bukanlah dominasi, melainkan pelayanan. Ia hidup dalam kesederhanaan, meninggalkan kenyamanan Eropa, melintasi samudera, dan menjangkau budaya-budaya asing tanpa prasangka. Semboyan Serikat Yesus, Ad maiorem Dei gloriam (“Demi kemuliaan Allah yang lebih besar”), terpancar dari hidupnya.

Santo Fransiskus Xaverius. Ia mengambil nama “Xaverius” dari nama kastil kelahirannya. Foto: wordonfire.org

Kontekstual dan Inklusif

Sebagai misionaris, ia bukan hanya berkhotbah, tapi juga belajar bahasa lokal, memahami adat setempat, dan memberdayakan umat awam. Baginya, menjadi misionaris bukan berarti membawa budaya asing, melainkan menghadirkan Kristus secara nyata dalam konteks yang dimengerti dan dihormati oleh masyarakat setempat.

Ia menjangkau India, Malaka, Jepang, hingga Tiongkok, menjadikan semuanya ladang misi yang dijalani dengan kesetiaan luar biasa. Ketika dipanggil untuk sebuah misi baru, jawabannya selalu sama: “Sus! Heme aquí!”—“Ya, inilah aku!” Sebuah ketundukan total kepada kehendak Tuhan.

Fransiskus mengambil nama “Xaverius” dari tempat kelahirannya. Nama ini kini melekat pada banyak sekolah, paroki, dan serikat misionaris di seluruh dunia, termasuk Serikat Misionaris Xaverian yang didirikan oleh St. Guido Maria Conforti. Nama “Xaverius” telah menjadi simbol semangat misi global yang meletakkan Injil di atas segalanya.

Menjadi Murid Misioner Masa Kini

Perjalanan hidup Fransiskus Xaverius menginspirasi umat Katolik masa kini untuk tidak takut melayani, untuk berani keluar dari zona nyaman, dan menjadi terang Kristus di tengah dunia. Dunia kita masih membutuhkan pewarta-pewarta yang hidup dalam kasih, berani dalam tindakan, dan setia dalam penderitaan.

Maka pertanyaannya bagi kita semua: Apakah kita juga siap berkata, “Inilah aku, Tuhan, utuslah aku?”

Seperti Fransiskus Xaverius yang berakar dalam iman dan berbuah dalam misi, kita pun dipanggil untuk hidup yang memberi, mencintai tanpa syarat, dan menjadi murid yang siap diutus ke ujung-ujung dunia—atau setidaknya, ke dalam kehidupan sehari-hari kita. (*)

Kontributor: Diah Ayu Suryani Sitanggang, Mahasiswa STP Santo Bonaventura Keuskupan Agung Medan

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.