Pelayanan Gereja di Tengah Budaya Populer

Antara Antara Popularitas dan Ketaatan

0 93

Oleh Reinaldo Rahawarin

Katolikana.com—Di era digital saat ini, ketika setiap aktivitas mudah dibagikan, dipamerkan, dan dipuji, pelayanan di gereja tak lagi bebas dari dinamika pencitraan.

Apa yang dahulu dilakukan dengan senyap dan syukur di ruang-ruang doa, kini dengan mudah berubah menjadi ajang kompetisi dan unjuk diri.

Maka, muncul pertanyaan penting dan mendesak untuk direnungkan oleh siapa pun yang terlibat dalam pelayanan: Apakah aku melayani karena mencintai Tuhan, atau karena ingin dikenal manusia?

Dalam konteks gerejawi, pelayanan adalah bentuk nyata dari panggilan untuk meneladani Kristus: merendahkan diri, melayani sesama, dan memberi diri sepenuhnya tanpa pamrih.

Namun sayangnya, seiring dengan berkembangnya budaya popularitas, pelayanan juga dapat tergelincir menjadi panggung pribadi—tempat seseorang membangun reputasi, mencari pengakuan, bahkan menyusun “portofolio rohani”.

Realitas ini tak hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga bisa menyusup ke semua lini—dari koor, pemazmur, misdinar, lektor, panitia gereja, hingga para penggiat digital pelayanan. Semua bisa tanpa sadar terjebak pada satu motif: ingin dilihat.

Kristus Tidak Mencari Sorotan

Dalam Filipi 2:6-8, Rasul Paulus mengingatkan kita tentang teladan Yesus Kristus yang “mengosongkan diri-Nya” dan “mengambil rupa seorang hamba”. Yesus tidak pernah menggunakan mukjizat-Nya untuk mempromosikan diri.

Bahkan ketika orang banyak ingin menjadikan-Nya raja karena kagum pada tindakan-Nya yang spektakuler, Ia justru mengundurkan diri dan pergi berdoa dalam kesunyian (Yoh 6:15).

Yesus mengajarkan bahwa pelayanan sejati bukanlah soal menjadi pusat perhatian, tetapi soal menjadi pusat kasih. Ia tidak memilih jalan popularitas, melainkan jalan ketaatan.

Ia tidak menanti tepuk tangan, melainkan mempersembahkan diri sampai tuntas. Maka, setiap pelayan gereja yang mengikuti jejak Kristus harus siap menyusuri jalan sunyi dan penuh pengorbanan ini.

Budaya Visual dan Tantangan Baru

Era media sosial menciptakan budaya visual yang kuat: yang tampak adalah yang dianggap nyata. Ketika aktivitas gereja dibagikan secara masif di platform digital, mudah sekali pelayan gereja tergoda untuk tampil demi konten, bukan demi Kristus. Tantangan ini memunculkan dua sisi:

  • Sisi positif: pelayanan dapat menginspirasi orang lain, menjangkau lebih banyak umat, dan menghidupkan semangat komunitas.
  • Sisi negatif: pelayanan menjadi alat membangun “personal brand rohani” dan kehilangan kedalaman spiritualnya.

Maka, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah kamera di tangan kita mengabadikan momen pengabdian, atau justru membentuk panggung pribadi?

Menjernihkan Niat

Paulus dalam Galatia 1:10 menulis, “Sekiranya aku masih mau menyukakan hati manusia, maka aku bukanlah hamba Kristus.” Kalimat ini bukan hanya sindiran bagi pelayan yang haus pujian, tetapi juga seruan pertobatan bagi kita semua agar mengoreksi motivasi terdalam pelayanan kita.

Pelayanan sejati justru sering kali tidak dilihat manusia: membersihkan altar dalam sunyi, mendampingi umat dalam luka-lukanya, atau mendoakan gereja dalam kesendirian. Tuhan melihat semua itu, dan justru itulah pelayanan yang paling harum di hadapan-Nya.

Popularitas bisa dicapai dengan bakat, strategi, dan eksistensi. Tetapi ketaatan hanya bisa lahir dari hati yang tunduk pada kehendak Tuhan. Dunia mungkin mengagumi mereka yang bersinar di depan, tetapi Kerajaan Allah memperhatikan mereka yang tetap setia di belakang layar.

Dalam perspektif iman, bukan yang paling sibuk atau paling sering tampil yang disebut pelayan sejati, tetapi mereka yang tetap melayani meski tak ada sorotan.

Bahkan jika tak satu pun dari pelayanan kita dipublikasikan, disorot, atau diapresiasi, tetapi jika itu dilakukan dengan cinta dan kesetiaan, Tuhan sudah berkenan. Ia yang “melihat dalam sembunyi-sembunyi akan membalasnya secara terbuka” (Mat 6:6).

Kembali ke Dasar

Kita melayani bukan karena ingin Tuhan mencintai kita—sebab kasih-Nya sudah terlebih dahulu hadir—tetapi karena kita ingin membalas kasih itu. Maka, pelayanan adalah bentuk ucapan syukur, bukan proyek prestasi. Pelayanan bukan alat untuk membuktikan diri, tetapi ruang untuk menyerahkan diri.

Seperti Maria di Betania yang memilih duduk di kaki Yesus daripada sibuk di dapur (Luk 10:38-42), kita pun diundang untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat pelayanan kita, bukan ego atau citra.

Setiap kita yang melayani di gereja, apa pun peran dan bentuknya, diajak untuk menjadikan pelayanan sebagai altar pengabdian, bukan panggung pencitraan. Dunia boleh saja mengejar penampilan, tetapi kita mengejar penggenapan: bahwa dalam setiap pelayanan, kita semakin serupa Kristus.

Maka, mari berlomba bukan untuk menjadi yang paling dikenal, tetapi yang paling setia. Karena pada akhirnya, Tuhan tidak menilai seberapa besar pelayanan kita di mata publik, melainkan seberapa besar cinta yang kita tanam di mata-Nya.

Dan ketika pelayanan kita menjadi persembahan kasih, bukan pencitraan diri, di situlah kemuliaan Tuhan sungguh dinyatakan—tanpa perlu sorotan, tanpa perlu nama besar, hanya hati yang taat dan setia. (*)

Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin

Leave A Reply

Your email address will not be published.