

Oleh Susy Haryawan
Katolikana.com—Belakangan ini, jagat maya dihebohkan oleh satu hal yang—ironisnya—muncul dari sebuah kejujuran.
Bukan soal skandal korupsi yang disamarkan atau janji politik yang diingkari, melainkan dari sebuah tempat makan legendaris: Ayam Goreng Widuran, Solo.
Selama puluhan tahun melayani berbagai kalangan, tiba-tiba mereka mengumumkan bahwa produk mereka kini menyandang label “nonhalal.”
Bukan karena ada skandal yang membongkar aib tersembunyi, bukan pula karena sidak yang memergoki kaleng minyak babi di dapur. Mereka hanya… jujur.
Kejujuran ini, alih-alih diapresiasi, justru menuai amarah. Tudingan penipuan bertahun-tahun dilontarkan. Mereka dianggap telah mencederai kepercayaan konsumen muslim. Padahal, apa yang mereka lakukan justru bentuk transparansi yang seharusnya jadi teladan.
Mereka mengakui, kremes yang digunakan dimasak dengan minyak mengandung unsur babi—sesuatu yang, dalam kacamata mereka, sudah semestinya diumumkan, meski terlambat.
Namun, seperti kita tahu, di negeri ini jujur bisa berujung ajur.
Budaya yang Membenci Kejujuran
Ada adagium Jawa yang sering dipelesetkan: jujur ajur, yang berarti jujur bikin hancur. Padahal versi aslinya adalah wong jujur dhuwur—orang jujur ditinggikan. Tetapi apa yang terjadi?
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dididik untuk menyembunyikan kesalahan, bukan memperbaikinya. Pecahkan gelas? Salahkan kucing. Telat datang? Katakan ban bocor. Bangun kesiangan? Jangan pernah mengaku, karena kejujuran sering kali dibalas ejekan atau amarah.
Ironisnya, ini bukan cuma terjadi di rumah atau sekolah. Ini budaya yang merasuki seluruh lapisan masyarakat, dari ruang kelas hingga ruang sidang.
Lihat bagaimana aparat hukum kadang lebih sibuk menyelamatkan muka institusi daripada menegakkan kebenaran. Lihat pula bagaimana koruptor bisa tersenyum sambil mencium tangan ibunya usai divonis.
Kejujuran dikerdilkan jadi slogan kosong—seperti kampanye “Berani Jujur Hebat” dari KPK yang terdengar seperti menjadikan kejujuran sebagai prestasi langka, bukan norma kehidupan.
Menyalahkan yang Mengaku
Apa yang terjadi pada Ayam Widuran adalah cerminan masyarakat kita: lebih mudah menghakimi yang mengaku salah daripada menghormati keberaniannya. Daripada menghargai langkah terbuka, publik lebih nyaman menaruh curiga.
Lantas apa yang lebih baik? Diam dan terus membohongi, atau terbuka dan menghadapi risiko diboikot?
Padahal, andai Ayam Widuran tetap bungkam, mungkin semuanya berjalan lancar seperti biasa. Tidak ada polemik, tidak ada boikot. Tetapi justru karena mereka jujur, publik merasa “dikhianati.” Ini paradoks: yang jujur dipidanakan, yang manipulatif diberi karpet merah.
Bandingkan dengan banyak skandal besar negeri ini: dari manipulasi data bansos hingga pemalsuan ijazah. Bukannya diadili, pelakunya justru naik jabatan. Kita hidup dalam sistem yang mendewakan pencitraan dan mengubur transparansi.
Kejujuran Bukan Prestasi, Tapi Pondasi
Kita lupa bahwa kejujuran seharusnya bukan capaian luar biasa. Ia adalah fondasi etika yang paling dasar. Jika untuk jujur saja seseorang harus mempertaruhkan reputasi dan menghadapi ancaman, maka masyarakat kita tengah sakit. Parah.
Dalam konteks ini, kejujuran bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal berani atau tidak. Maka wajar jika orang lebih memilih pura-pura tidak tahu, pura-pura bersih, pura-pura beriman. Karena jujur bisa jadi malapetaka.
Lalu apa jadinya masyarakat yang takut jujur? Yang jelas: korupsi makin menjamur, kekerasan makin dibungkam, dan kebenaran makin sulit ditemukan.

Haruskah Kita Menyesal Jujur?
Saya tidak ingin membela Ayam Widuran secara buta. Tapi saya ingin mempertanyakan cara kita menyikapi kejujuran. Haruskah mereka dihukum karena mengakui? Bukankah justru ini kesempatan untuk berdiskusi tentang keterbukaan dalam industri makanan, termasuk standarisasi, pengawasan, dan edukasi konsumen?
Barangkali, yang lebih penting dari sekadar label adalah keberanian untuk berkata apa adanya.
Dan jika kita masih terus membiarkan budaya “jujur ajur” ini berlangsung, jangan terkejut bila di kemudian hari tak ada lagi yang mau mengakui kesalahan. Karena yang jujur dimusuhi, dan yang munafik disanjung. Maka jangan berharap bangsa ini akan sehat, selama kejujuran dianggap dosa dan kemunafikan dijadikan standar normalitas.
Semoga kita tidak lupa bahwa kejujuran—seperti ayam kremes—bisa jadi sederhana, tapi bernilai tinggi. Terutama jika disajikan hangat dan tanpa tipu-tipu. (*)
Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.
Viral duluan itu, ketahuan gak halal setelah berpuluh-puluh tahun. baru setelah vital, baru bilang gitu
Heeem
Esensi tulisan bukan di situ
Terima kasih