Oleh Mega Sitanggang
Katolikana.com—Paus Yohanes Paulus II—lahir sebagai Karol Józef Wojtyła pada 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia—adalah salah satu pemimpin Gereja Katolik paling visioner dan berpengaruh dalam sejarah modern.
Ia menjabat sebagai Paus selama lebih dari 26 tahun (1978–2005), menjadikannya sebagai Paus terlama kedua dalam sejarah. Namun lebih dari durasi kepemimpinannya, warisannya terletak pada kedalaman spiritualitas, keberanian moral, dan keberpihakannya yang teguh kepada martabat manusia serta perdamaian dunia.
Semboyan hidup Yohanes Paulus II adalah Totus Tuus—“Sepenuhnya milik-Mu”—yang mencerminkan devosinya kepada Bunda Maria. Ia percaya bahwa seluruh pelayanannya sebagai Paus dipersembahkan kepada Allah melalui bimbingan Maria.
Setelah peristiwa penembakan pada 13 Mei 1981, ia menyatakan keselamatannya sebagai buah perlindungan Maria, bahkan menyematkan peluru ke mahkota Patung Maria di Fatima. Totus Tuus bukan sekadar semboyan, tetapi fondasi seluruh gerak hidup dan kepemimpinannya.

Keberanian Profetik
Lahir dan besar di bawah tekanan rezim Nazi dan kemudian rezim Komunis, Karol Wojtyła tumbuh sebagai pribadi yang memahami langsung penderitaan, represi, dan pelanggaran martabat manusia. Setelah terpilih sebagai Paus, ia tampil bukan hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga aktor geopolitik yang vokal dan profetikJohn Paul 2 formicola20….
Dalam kunjungan pastoralnya ke Polandia tahun 1979, ia menyerukan semangat kebebasan dan martabat manusia yang menginspirasi lahirnya gerakan Solidarność. Dalam perjumpaan dengan banyak diktator seperti Marcos, Jaruzelski, Ortega, dan Mobutu, Yohanes Paulus II tidak ragu mengecam ketidakadilan dan penindasan secara terbuka. Ia melawan kekuasaan dengan kekuatan moral.
Namun keberaniannya bukan berasal dari agresivitas politik, melainkan dari iman yang radikal dan penghayatan akan imago Dei—bahwa setiap manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, sehingga layak dihormati dan dibela.
Diplomasi Damai
Salah satu kontribusi terbesar Yohanes Paulus II adalah dalam bidang perdamaian internasional. Ia membangun tradisi diplomasi Vatikan yang mengedepankan hukum internasional, hak asasi manusia, dan penguatan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam pesannya untuk Hari Perdamaian Sedunia 2004, ia menekankan bahwa pelanggaran terhadap hukum internasional adalah jalan menuju kekacauan dan konflik.
“Jangan pernah memilih hukum kekuatan, melainkan kekuatan hukum,” tegasnya seperti dikutip Drew Christiansen dalam Catholic Peacemaking, 1991–2005: The Legacy of Pope John Paul II.
Lebih dari itu, Yohanes Paulus II juga memimpin tiga pertemuan doa lintas agama di Assisi (1986, 1993, 2002), menandai komitmen Gereja untuk menjadi jembatan perdamaian antaragama. “Membunuh atas nama Tuhan adalah penghujatan,” katanya dengan tegas dalam pidato kepada korps diplomatik pada 2002 seperti dikutip oleh Jo Renee Formicola dalam The Political Legacy of Pope John Paul II (2005).
Hubungan dengan Yahudi juga menjadi perhatian serius. Ia adalah Paus pertama yang mengunjungi Sinagoga Roma dan Yad Vashem di Israel, di mana ia memohon maaf atas dosa-dosa sejarah Gereja terhadap umat Yahudi, seraya membangun fondasi hubungan diplomatik resmi dengan Israel pada 1994.
Konsep Damai
Dalam dokumen Centesimus Annus (1991) dan pesan Hari Perdamaian Sedunia 2002, Yohanes Paulus II memperluas pemahaman Gereja tentang damai. Ia tidak hanya mendukung ajaran klasik just war (perang yang adil), tetapi juga menekankan keutamaan jalan nonkekerasan dan pengampunan sebagai solusi konflik.
Bagi Paus, perang bukan sekadar soal strategi, tetapi kegagalan moral. Ia dengan keras menentang Perang Teluk 1991 dan invasi Irak 2003, menyebut perang sebagai “kekerasan yang hanya memperparah kejahatan yang coba dilawannya.”
Ia juga mendorong Gereja untuk memahami damai bukan sekadar ketiadaan konflik, melainkan keadilan, solidaritas, pengampunan, dan pembangunan global.

Third Way
Dalam upayanya mengatasi ketimpangan global, Yohanes Paulus II menggagas jalan ketiga (third way) antara kapitalisme liberal dan sosialisme ateistik. Dalam trilogi ensiklik sosial—Laborem Exercens (1981), Sollicitudo Rei Socialis (1987), dan Centesimus Annus (1991)—ia menawarkan model ekonomi berbasis martabat manusia, solidaritas, subsidiaritas, dan kepedulian terhadap kaum miskin.
Ia menyerukan pembebasan utang negara-negara miskin, penolakan terhadap eksploitasi, dan distribusi kekayaan global yang adil. Menurutnya, pembangunan ekonomi sejati tidak boleh mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual, serta harus membuka ruang bagi kebebasan beragama dan ekspresi iman.
Warisan dan Pengaruh Abadi
Melalui diplomasi damai, doa lintas agama, seruan keadilan global, dan keberanian moralnya, Paus Yohanes Paulus II tidak hanya membentuk arah Gereja Katolik, tetapi juga mempengaruhi tatanan dunia. Ia meninggalkan Gereja yang lebih terbuka, aktif secara sosial-politik, dan berani menyuarakan suara kenabian di tengah dunia yang terbelah.
Ia tidak memilih jalan kompromi terhadap kejahatan, tetapi juga tidak menganjurkan kekerasan. Baginya, pengampunan dan perdamaian bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menyembuhkan.
Yohanes Paulus II telah wafat pada 2 April 2005, namun jejak kenabiannya terus hidup. Dunia mengenangnya bukan hanya sebagai pemimpin Gereja, tetapi sebagai peacemaker sejati, yang dengan kelembutan dan ketegasan, mewartakan Injil dalam ruang-ruang paling keras dari sejarah manusia. (*)
Penulis: Mega Sitanggang, mahasiswi STP Santo Bonaventura KAM

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.