Paus Leo XIV dan Gereja yang Menatap Kristus

Memandang Kristus tidak menjauhkan kita dari dunia. Justru, di sanalah kita menemukan kekuatan untuk melayani dunia dengan lebih tulus.

0 49
RD Gregorius Nyaming

Oleh RD. Fransiskus Gregorius Nyaming

Katolikana.com—Baru 28 hari sejak Kardinal Robert Francis Prevost, O.S.A. resmi terpilih sebagai Paus dan memilih nama Leo XIV. Dalam waktu sesingkat itu, beragam analisis mulai bermunculan untuk membaca arah kepemimpinannya.

Banyak yang merujuk pada pidato perdananya dari balkon Basilika Santo Petrus, saat ia menyapa umat dengan wajah hangat dan kata-kata sederhana yang sarat makna.

“Kita harus bersama-sama menjadi Gereja yang misioner, Gereja yang membangun jembatan dan dialog, Gereja yang menerima dengan tangan terbuka siapa saja yang membutuhkan.”

Kata-kata itu langsung menyentuh banyak orang. Tapi kalau kita perhatikan baik-baik, pesan itu sebenarnya ditujukan khusus untuk Gereja di Roma. Paus Leo XIV menggunakan gambaran lapangan Basilika Santo Petrus yang selalu terbuka sebagai simbol keterbukaan umat Roma. Namun, maknanya meluas—menyentuh Gereja di seluruh dunia.

Lalu, ada pula kutipan lain yang tak kalah kuat: “Gereja yang selalu mencari perdamaian dan keadilan.”

Sepintas, dua pernyataan ini sudah cukup menggambarkan arah kepemimpinan Paus Leo XIV. Tapi, tunggu dulu. Sebenarnya, ada pesan yang jauh lebih mendalam—dan justru diletakkan di awal pidato itu.

Hati Kudus Yesus

Kristus di Tengah, Bukan di Pinggir

Di balik semua komitmen terhadap dialog, keterbukaan, dan keadilan, Paus Leo XIV ingin menggarisbawahi satu hal: semuanya itu harus berpusat pada Kristus. Tanpa Kristus, semua upaya baik Gereja bisa jadi kehilangan daya.

Dari awal pidatonya, Paus menyapa umat dengan sapaan khas Injil: “Damai sejahtera bagi kamu!” Bukan damai ala dunia, tapi damai yang “tidak bersenjata dan melucuti, rendah hati dan tekun.” Damai yang datang dari Allah, bukan dari kalkulasi diplomatik.

Lalu ia melanjutkan: “Jangan takut. Bergandengan tangan dengan Tuhan dan sesama, mari kita maju bersama. Kita adalah murid-murid Kristus. Dunia membutuhkan terang-Nya. Kemanusiaan membutuhkan Kristus sebagai jembatan menuju kasih Allah.”

Gereja yang Memancarkan Wajah Kristus

Apa yang dikatakan Paus Leo XIV mengingatkan kita pada dokumen Konsili Vatikan II Lumen Gentium, bahwa Kristus adalah terang bangsa-bangsa, dan Gereja adalah pantulan cahaya itu. Dengan kata lain, Gereja hanya berarti sejauh ia mencerminkan Kristus—bukan dirinya sendiri.

Visi itu kembali ditekankan saat Misa Inaugurasi. Di tengah dunia yang penuh luka—karena perang, prasangka, kesenjangan, dan kekerasan sistemik—Paus Leo XIV mengajak: “Pandanglah Kristus! Datanglah mendekat kepada-Nya! Sambutlah sabda-Nya yang menerangi dan menghibur!”

Bagi sebagian orang, ajakan seperti ini terdengar “kurang inklusif” atau “terlalu Katolik”—bahkan dianggap sebagai batu sandungan dalam usaha membangun dialog antaragama atau kerja sama lintas iman. Tapi justru di situlah keberanian Paus Leo XIV: ia memilih untuk tetap menomorsatukan Kristus, bukan menghindari-Nya demi kenyamanan retoris.

Dan mungkin inilah salah satu alasan mengapa beliau memilih nama Leo. Karena ajakan serupa pernah diucapkan oleh Paus Leo XIII dalam ensiklik Rerum Novarum (1891): “Kalau masyarakat memang membutuhkan penyembuhan, itu hanya dapat terlaksana bila orang-orang kembali menganut hidup dan ajaran Kristiani.”

Antara Keberanian dan Kerendahan Hati

Tentu, Paus Leo XIV tidak sedang memaksakan superioritas Gereja. Justru, dalam semangat Konsili Vatikan II, beliau menegaskan bahwa Gereja dipanggil untuk melayani, bukan menggurui. “Kita dipanggil untuk menawarkan kasih Allah kepada setiap orang—bukan untuk menyamakan semua orang, tapi untuk menghargai sejarah, budaya, dan keyakinan masing-masing,” tegasnya.

Hal ini sejalan dengan pesan Gaudium et Spes: bahwa Gereja tidak datang dengan ambisi duniawi, tetapi untuk melanjutkan karya Kristus—menyembuhkan, bukan menghakimi; melayani, bukan mendominasi.

Paus Leo XIV tidak sedang membangun tembok, melainkan jembatan. Namun, jembatan itu bukan sembarang jembatan—melainkan Kristus sendiri. Ia percaya, jika Gereja menjauh dari Kristus, maka sekuat apa pun jembatan itu, ia akan rapuh dan cepat runtuh.

Menutup dengan Wajah Kristus

Sebagaimana dikatakan oleh teolog Dominikan Yves Congar—yang dikutip oleh Paus Leo XIV dalam disertasinya—“Gereja tidak mempunyai arti apa-apa kecuali dalam hubungannya dengan Kristus dan Injil-Nya.”

Maka, dalam semua semangat untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, keterbukaan, dan dialog, satu hal tak boleh kita lupakan: semuanya itu hanya bermakna jika Kristus tetap berada di pusat.

Karena tanpa Kristus, Gereja hanya akan menjadi organisasi sosial biasa. Tapi dengan Kristus di tengah, Gereja akan menjadi tubuh yang hidup—yang membawa terang, harapan, dan kasih bagi dunia. (*)

Penulis: RD. Fransiskus Gregorius Nyaming, Imam Diosesan Keuskupan Sintang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.