SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa Pamit Menutup Layar

Ketika Lonceng Terakhir Berbunyi

4 616

Ambarawa, Katolikana.com – Aroma bunga kopi di tepi Rawa Pening semestinya menenangkan. Tetapi tahun ini, aroma manis itu meneteskan pahit di hati banyak orang.

Di bulan Juni 2025, kabar duka datang: SMA Kanisius Bhakti Awam Ambarawa resmi menutup pintunya untuk selamanya.

Tak ada lagi suara bel masuk dan pulang, tak ada lagi langkah ratusan siswa berlarian di koridor sekolah Katolik yang pernah menjadi kebanggaan ini.

Sekolah ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah sejarah, saksi perjalanan pendidikan Katolik di Ambarawa, Kabupaten Semarang.

Didirikan pada 1969, saat sekolah negeri belum ada di daerah itu, Bhakti Awam menjadi cahaya bagi anak-anak dari perbukitan Menoreh dan pelosok Magelang yang mendambakan pendidikan menengah. Dalam catatan, sekolah negeri pertama baru berdiri 13 tahun setelahnya. Bhakti Awam adalah pionir.

Dulu Cahaya, Kini Gelap

Video perpisahan yang beredar di media sosial beberapa hari lalu menyesakkan. Seorang kepala sekolah yang juga alumni sekolah itu menahan tangis saat berpamitan. Komentar alumni mengalir, dari angkatan pertama hingga termuda, menuliskan satu kata yang sama: sedih.

Di awal masa berdirinya, Bhakti Awam adalah satu-satunya SMA di Ambarawa. Menyusul kemudian SMA Islam Sudirman pada 1977, SMA Taman Madya setahun berikutnya, hingga SMA negeri hadir belakangan. Tetapi, spirit pendirian Bhakti Awam jelas: Gereja Katolik ingin mendidik generasi muda tanpa membeda-bedakan latar belakang agama atau suku.

Namun hari ini, sejarah itu seolah tak berarti. Bangku-bangku di kelas kosong. Tak ada lagi siswa baru. Bhakti Awam menutup bab terakhirnya dengan hening.

Negara yang Abai pada Sejarah

Penutupan SMA Bhakti Awam bukan hanya kabar duka bagi umat Katolik. Ini potret buram bagaimana negara gagal menghargai sejarah pendidikan. Saat sekolah negeri makin banyak dan mendominasi, sekolah swasta seperti Bhakti Awam tersisih. Negara lupa, dulu sekolah Katolik seperti Bhakti Awam-lah yang ‘membuka hutan’ pendidikan ketika negara belum sanggup hadir.

Dulu, sekolah-sekolah Katolik mendapat dukungan guru PNS, sehingga mutu pendidikan terjaga. Kini, model itu hilang. Sekolah swasta dipaksa bersaing sendirian, sementara negara membuka sekolah negeri di tiap kecamatan tanpa kebijakan afirmasi bagi sekolah bersejarah yang terancam tutup.

Ironi Pendidikan Gratis

Pendidikan gratis adalah jargon indah namun penuh paradoks. Bagaimana mungkin pendidikan benar-benar gratis? Negara memang menanggung biaya, tetapi subsidi itu tak pandang bulu. Orang tua bergaji puluhan juta sebulan dan buruh harian lepas mendapatkan layanan sama: gratis.

Padahal, konsep idealnya adalah subsidi silang. Yang mampu membayar, membantu yang tak mampu. Nyatanya, ‘pendidikan gratis’ justru mematikan sekolah-sekolah swasta yang selama ini menampung siswa dari keluarga sederhana.

“Jika negara benar-benar peduli pendidikan, seharusnya ada kebijakan afirmasi, bukan sekadar memberi bantuan BOS yang nilainya tak sebanding dengan kebutuhan sekolah,” tulis seorang alumni Bhakti Awam di media sosial.

Salah satu sisi SMA Bhakti Awam Ambarawa. Foto: facebook.com/smakambarawa

Serangan Tafsir Radikal

Selain faktor kebijakan, tantangan lain juga hadir. Pernah terdengar ujaran kebencian yang menyesakkan di toa masjid sekitar: “Sekolah non-Islam itu kalau mati, matinya sangit. Kalau sekolah kami mati, matinya sahid.” Pernyataan ini mereduksi makna pendidikan sebagai medan perang ideologis, bukan sebagai tempat pembentukan insan berkarakter.

Bhakti Awam tersingkir perlahan. Dari arah Magelang, calon siswa memilih sekolah Katolik lain milik suster OSF di Bedono. Dari arah Semarang, ada SMA Virgo di Bawen yang lebih dekat. Sekolah negeri menjamur di tiap kecamatan. Bhakti Awam kehabisan murid.

Kenangan dan Kesedihan

Kini, Bhakti Awam tinggal kenangan. Para alumni mengenangnya sebagai tempat belajar bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga kasih, kejujuran, dan integritas.

Banyak yang kini menjadi pastor, biarawati, guru, pegawai negeri, pengusaha, hingga buruh migran – semua lahir dari bangku-bangku kelas Bhakti Awam.

Sambil menulis ini, seorang alumni meneteskan air mata. “Kami sedih. Tak ada lagi generasi berikutnya yang merasakan pendidikan Bhakti Awam.”

Dunia pendidikan kehilangan orientasi. Negara bangga dengan jargon ‘pemerataan pendidikan’, namun di saat bersamaan menutup mata pada sejarah. Pendidikan bukan sekadar angka partisipasi sekolah.

Pendidikan adalah warisan nilai. Bhakti Awam menutup pintunya. Tetapi nilai-nilai yang pernah dia tanam, semoga terus hidup dalam diri ribuan alumninya.

Selamat jalan, Bhakti Awam. Engkau telah menyalakan cahaya di masa ketika negeri ini masih gelap. Kini kau padam, tetapi sinarmu tetap tinggal dalam hati anak-anakmu. (*)

Kontributor: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

4 Comments
  1. Vincent says

    Harus ada support dr pemerintah

    1. Susy says

      Wis telat

  2. Raden Yosoa Sembodo Soepardi says

    membaca & melihat ulasan ini …tak kuasa aku meneteskan air mata…SEDIH SEKALI RADANYA.. guru2 & sekolah menggembleng kmi utk memajukan bangsa & negara…. tpi negara tak perduli dg PERJUANGAN SRKOLAH & PENGAJAR2 SMA INI ( BHAKTI AWAM) Malah kadang dicemooh… pdhl SDH MENCETAK PEJUANG BANGSA & NEGARA…sangat amat menyedihkan…

    1. Susy says

      Terima kasih atas atensinya
      Sedih yg sama

Reply To Susy
Cancel Reply

Your email address will not be published.