Ketika Protestan Menjadi Dewan Penilai Dogma Katolik
Sayangnya, proyek “solo scriptura” ini lebih mirip selfie spiritual — setiap individu jadi gereja, jadi nabi, jadi majelis, dan jadi hakim bagi semua ajaran lain.

0 7

Oleh Patris Allegro

I. Dari Mana Otoritas Mereka? Tidak Jelas. Tapi Komentarnya Banyak.

Lucu memang, ketika sekelompok orang yang menolak otoritas Paus, Konsili, dan Tradisi Suci tiba-tiba merasa terpanggil menjadi lembaga akreditasi dogmatis Gereja Katolik.

Padahal, mereka sendiri lahir dari semangat membebaskan diri dari otoritas mana pun — dan kini malah bersikap seolah mereka memiliki lisensi universal untuk mengaudit iman Katolik.

Pertanyaannya sederhana:

Siapa yang memberi mandat kepada mereka untuk menilai ajaran Gereja Katolik?

Jawabannya biasanya berkisar antara:

“Kami punya Alkitab.”

“Kami dipimpin Roh Kudus.”

“Kami hanya menyuarakan kebenaran.”

Tapi ketika ditanya, “Alkitab menurut siapa?”, mereka bingung.

Ketika ditanya, “Roh Kudus yang mana? Roh Kudus juga bekerja dalam Gereja Katolik sejak Kisah Para Rasul, kan?”, mereka diam.

Mereka menolak tradisi, tapi memakai Kanon Kitab Suci yang ditentukan oleh Tradisi Katolik.

Mereka menolak konsili, tapi menilai dogma yang lahir dari konsili.

Mereka menolak Paus, tapi ingin mengatur siapa yang layak jadi Paus.

Ironi terbesar: mereka mengklaim memiliki ‘kebenaran murni’, tapi terpecah-pecah jadi 40.000 lebih denominasi — semua saling klaim paling benar.

II. Tafsir Bebas Tapi Harus Diikuti? Kok Bisa?

Satu lagi keanehan: setelah menolak otoritas penafsiran Gereja, mereka malah mengharuskan orang Katolik mengikuti tafsir pribadi mereka atas Alkitab Katolik.

Contohnya:

“Katolik salah karena menyembah Maria.”

“Katolik sesat karena percaya pada purgatorium.”

“Katolik sesat karena menyebut Paus sebagai wakil Kristus.”

Lalu kita tanya, “Siapa bilang itu salah?”

Mereka jawab: “Ya Alkitab dong!”

Lalu kita tanya lagi, “Alkitab terbit dari mana? Siapa yang menetapkan daftar kitabnya?”

Tiba-tiba mereka amnesia. Bahkan sejarah Konsili Hippo dan Kartago (yang menetapkan kanon Perjanjian Baru) tidak pernah mereka baca.

Logikanya begini:

Kalau Gereja Katolik dianggap sudah sesat sejak abad-abad awal, mengapa mereka percaya pada Kitab Suci yang disusun dan dijaga oleh Gereja ‘yang katanya sesat’ itu?

Itu seperti menyebut koki restoran beracun tapi tetap makan masakannya karena ‘resepnya dari Tuhan’.

Tentu saja mereka merasa berhak menafsirkan sendiri menu-nya, meski tidak tahu dapur dan cara memasaknya.

III. Proyek Ego: Tafsir Tanpa Akuntabilitas

Tafsir Protestan itu unik:

Tidak butuh Magisterium

Tidak perlu Tradisi

Cukup “saya dan Roh Kudus”

Sayangnya, proyek “solo scriptura” ini lebih mirip selfie spiritual — setiap individu jadi gereja, jadi nabi, jadi majelis, dan jadi hakim bagi semua ajaran lain.

Tapi anehnya, orang Katolik yang punya struktur, sejarah, dan kesinambungan ajaran justru diminta tunduk pada tafsir pribadi mereka.

Ini seperti murid baru yang belum tahu halaman depan buku, tapi menyuruh profesor teologi mengganti kurikulumnya.

IV. Kesimpulan Pedas: Mimpi Buruk Orang Bingung

Protestan sering memulai kritik dengan semangat mencari “kebenaran”. Tapi kebenaran apa, kalau yang satu bilang Yesus hadir nyata dalam Perjamuan Kudus, yang lain bilang cuma simbol, dan yang lainnya bilang itu cuma kenangan emosional? Semua mengklaim Alkitab, semua saling bertolak belakang.

Jadi…

Mengapa orang Katolik harus mengikuti tafsir Protestan?

Mungkin agar bisa mengalami krisis identitas rohani tiap hari seperti mereka.

Atau supaya bisa merasakan sensasi jadi “gereja sendiri” yang isinya hanya satu anggota: diri sendiri.

Catatan Akhir

Jika kamu seorang Protestan yang tulus mencari kebenaran, kami menyambutmu berdialog. Tapi jika kamu datang bukan dengan Injil, melainkan dengan tafsir pribadi dan amnesia sejarah, maka maaf:

Kami sudah punya gereja — yang satu, kudus, katolik, dan apostolik — sejak 2000 tahun lalu. Tanpa perlu lisensi darimu.

Leave A Reply

Your email address will not be published.