Oleh Reinaldo Rahawarin
Katolikana.com—Indonesia adalah negeri dengan tanah subur dan laut kaya raya, tetapi ironi mencolok justru terjadi: jutaan rakyat masih hidup dalam kelaparan dan kekurangan gizi.
Data dari lembaga internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan pangan tinggi. Anak-anak stunting, keluarga kesulitan membeli beras, dan masyarakat di pelosok bertahan hidup dengan makanan seadanya.
Tragedi ini menggambarkan ketidakadilan mendalam di negeri yang seharusnya mampu memberi makan seluruh rakyatnya.
Dalam situasi tersebut, rakyat menaruh harapan pada DPR RI, lembaga yang secara konstitusional mewakili mereka. Namun, yang tampak justru berbeda.
Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang menyentuh kebutuhan rakyat kecil, energi para legislator sering tersedot untuk perebutan kursi kekuasaan, revisi undang-undang sarat kepentingan, hingga perjalanan dinas mewah.
Jurang moral itu nyata: gedung parlemen penuh pesta dan kemewahan, sementara rakyat di luar sana mengantri bantuan pangan demi bertahan hidup.
Hari Nurani dalam Politik
Fenomena ini menunjukkan hilangnya hati nurani dalam politik. Padahal, dalam tradisi Katolik, hati nurani adalah suara Allah yang memanggil manusia untuk memilih kebaikan dan menolak kejahatan.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa hati nurani adalah “pusat paling rahasia dalam diri manusia, tempat ia sendirian bersama Allah yang bersuara di dalam batinnya” (Gaudium et Spes, 16).
Ketika suara hati nurani diabaikan, keputusan politik akan dikuasai kepentingan pribadi dan kelompok semata.
Kitab Suci sendiri memberikan peringatan keras: “Setiap kali kamu tidak melakukan sesuatu untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat 25:45).
Membiarkan rakyat tetap lapar adalah bentuk pengingkaran terhadap perintah kasih yang paling mendasar. Karena itu, DPR RI tidak boleh menutup telinga terhadap jeritan rakyat miskin, melainkan menjadikannya prioritas utama.
Kegagalan Moral Sekaligus Kegagalan Politik
Kritik moral ini penting, sebab kelaparan bukan sekadar persoalan ekonomi, melainkan juga keadilan.
Bagaimana mungkin negara dengan anggaran triliunan untuk infrastruktur dan pembiayaan politik masih membiarkan rakyat kesulitan membeli pangan pokok?
Bagaimana mungkin legislator bicara tentang “kemajuan” ketika anak-anak bangsa tumbuh kerdil akibat stunting? Di titik inilah kita menyaksikan kegagalan moral sekaligus kegagalan politik.
Saatnya DPR RI mengembalikan hati nurani ke tempatnya. Anggaran yang boros harus ditekan, praktik korupsi ditolak, dan kebijakan pangan yang berpihak pada petani, nelayan, serta masyarakat miskin diperjuangkan.
Fungsi legislatif tidak berhenti pada pembuatan undang-undang, tetapi memastikan setiap warga memiliki akses pada kebutuhan paling dasar: makanan yang layak.
Tanpa hati nurani, politik hanyalah formalitas kosong. Namun dengan hati nurani yang dibimbing iman dan kemanusiaan, DPR dapat sungguh menjadi wakil rakyat sejati.
Kelaparan adalah wajah Kristus yang menderita di tengah bangsa; dan ukuran moral DPR terletak pada keberanian mereka menanggapi penderitaan itu dengan tindakan nyata. (*)

Kontributor Katolikana.com di Nabire, Papua Tengah. Gemar sepedaan dan bermusik. Alumnus FEB Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Bisa disapa via Instagram @reinaldorahawarin