
Tanah Jawa, Sumatera Utara – Di sebuah sudut Gereja Katolik, ada sekelompok kaum muda yang berlutut, wajah mereka memancarkan campuran keteguhan dan kerendahan hati.
Mereka bukan sekadar peserta, melainkan mereka yang memilih untuk “memberikan diri mereka sendiri di altar Kristus.”
Inilah yang terjadi ketika 77 orang muda dari berbagai stasi di Paroki Kristus Raja Tanah Jawa dilantik menjadi anggota Jaringan Pelayan Altar (Jala Pakra).
Pelantikan ini bukanlah sekadar seremoni keanggotaan. Ini adalah manifestasi nyata dari dorongan kaum muda yang ingin melihat Gereja mereka terus berkembang, bukan hanya dari jumlah, tetapi dari kualitas pengorbanan dan pelayanan yang tulus.
Pusat Gereja, Pusat Harapan
Dalam renungannya, RD Parlindungan Sinaga mengajak para misdinar untuk melihat altar bukan sebagai sekadar meja liturgi, melainkan sebagai jantung Gereja.
Di sana, umat bertemu dengan Kristus yang hidup. Kehadiran mereka di sisi altar, dalam kesetiaan kecil namun mendalam, adalah penanda bahwa api harapan umat tetap menyala.
Mereka diingatkan bahwa pelayanan di altar, meski sering tersembunyi dari pandangan banyak orang, justru di sanalah letak kemuliaan sejati.
Mengutip pesan Injil Lukas tentang jalan penderitaan Kristus yang adalah bukti kemuliaan-Nya, Pastor Parlindungan menegaskan bahwa kemuliaan pelayanan muncul dari kerendahan hati dan kemurahan hati untuk berkorban tanpa pamrih.
Misdinar dipanggil untuk melayani karena mereka sadar betul siapa yang mereka layani: Kristus sendiri.
“Pelayanan mereka mungkin tidak selalu dilihat oleh orang lain; mereka seringkali tersembunyi. Namun, inilah letak kemuliaan sejati, melayani dengan hati rendah dan tanpa pamrih…”

Teladan Keberanian: Santo Tarsisius
Untuk mengobarkan semangat ini, para calon misdinar diajak meneladani Santo Tarsisius, seorang martir Ekaristi dan pelindung misdinar.
Kisah remaja Romawi abad ketiga ini sungguh menyentuh: Tarsisius rela mengorbankan nyawanya untuk melindungi Sakramen Mahakudus agar tidak direbut dan dinodai.
Pastor Parlindungan dengan tegas menyampaikan bahwa kisah Tarsisius bukan sekadar cerita sejarah; itu adalah definisi sejati pelayanan altar. Pelayanan ini jauh melampaui tugas praktis membantu imam; ia adalah panggilan untuk menjaga kesucian Ekaristi dengan keberanian, kesetiaan, dan kerelaan berkorban.
Paus Benediktus XVI pernah mengatakan bahwa Tarsisius mengajarkan bahwa melayani Kristus berarti siap berkorban demi-Nya.
Bagi misdinar Jala Pakra, meski tantangan mereka hari ini tidak sekeras ancaman mati syahid, mereka tetap dipanggil menjadi Saksi Kristus melalui cara yang sederhana namun otentik: menjaga kekudusan liturgi, hadir dengan setia di altar, dan menjalani hidup jujur setiap hari.

Militan Iman yang Rendah Hati
RD Parlindungan menyebut misdinar sebagai “kelompok militan iman.” Militan di sini tidak dimaknai sebagai kekerasan, melainkan sebagai keteguhan, disiplin, dan kesiapan untuk berjuang demi Kristus. Menjadi misdinar adalah “sekolah kerendahan hati” yang melatih mereka untuk:
- Rendah hati dan mau dibina.
- Tanggap dan peka, sigap menjaga kekudusan Hosti.
- Disiplin dan tepat waktu, hadir lebih awal untuk mempersiapkan altar.
- Teliti, menjaga perlengkapan liturgi sebagai ungkapan hormat mendalam kepada Tuhan.
Inilah yang menjadi aspek human interest yang paling kuat: pembentukan karakter yang tidak hanya terjadi di altar. Disiplin, tanggung jawab, dan kerendahan hati yang mereka pelajari selama Misa harus berlanjut dan memancar di sekolah, di rumah, dan di lingkungan sosial mereka.

Momen Tulus: Ikrar Janji
Momen paling mengharukan adalah ketika 77 misdinar dipanggil satu per satu. Dengan suara lantang dan sadar, mereka mengikrarkan kesetiaan. Janji ini bukan formalitas, melainkan bentuk penyerahan diri yang tulus.
Mereka memilih jalan pelayanan ini karena dorongan hati, bukan paksaan. Mereka berkomitmen untuk menjadi berkat—baik dalam liturgi yang sakral, maupun dalam kehidupan sehari-hari yang profan.
Pelantikan Jala Pakra di Tanah Jawa ini menjadi pengingat bagi seluruh umat. Melayani altar adalah anugerah istimewa yang menuntut keberanian, kesetiaan, dan kerelaan berkorban, sebagaimana diteladankan Santo Tarsisius.
Para misdinar ini, sering disebut sebagai “malaikat kecil di sekitar altar,” kini membawa obor spiritualitas itu di tangan mereka.
Semoga api Kristus yang mereka jaga di altar juga menyala dalam hati mereka, menjadikan mereka saksi kasih Tuhan yang teguh di dunia. (*)
Kontributor: Febri Sitinjak

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.