Dari Cemas Menjadi Kasih: Kisah Mahasiswa KKN Pastoral di Paroki Kristus Raja Tanah Jawa

0 6

Katolikana.com—Pada awal pembagian tempat Kuliah Kerja Nyata Pastoral (KKNP), hati saya diliputi rasa cemas dan ragu.

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak saya: “Bisakah saya berbaur dengan umat?” atau “Apakah saya mampu melayani dengan baik?”

Kekhawatiran ini semakin beralasan. Umat di tempat saya ditempatkan—Paroki Kristus Raja Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, khususnya di Stasi Santo Fransiskus Assisi Marjanji Asih—sebagian besar berusia jauh di atas saya dan tentu lebih berpengalaman di bidang pastoral.

Namun, semua kekhawatiran itu perlahan sirna ketika kami berlima (Febriola Sitinjak, Josua Sinaga, Samuel Tarigan, Rafflesia Tarigan, dan Tiosari Manurung) tiba pada 3 Juli 2025.

Pastor rekan RD Martin Marbun, Frater Advent Anantha Pinem, dan katekis paroki Bapak Mondan Sinaga menyambut kami dengan senyum dan keramahan yang menenangkan. Kehangatan umat membuat saya merasa diterima, bukan sebagai “tamu KKNP”, melainkan sebagai bagian dari keluarga besar Gereja.

Dari momen itulah saya mulai memahami: pelayanan bukan sekadar program kampus, tetapi perjumpaan kasih yang mengubah hati.

Seperti sabda Yesus dalam Injil Markus 10:45: “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani…”

Pesan ini menjadi nyata, sebab pelayanan sejati memang berawal dari hati yang mau melayani, bukan dari kemampuan atau status apa pun.

Belajar dari Setiap Tugas Kecil

Selama kurang lebih tiga bulan (Juli-September 2025), saya terlibat dalam berbagai bidang pelayanan. Saya menjadi pemimpin doa kategorial, dirigen, pemazmur, organis, hingga membantu administrasi dan sensus umat.

Pada awalnya, saya sempat menolak dalam hati ketika diminta menjadi organis tanpa latihan. Saya merasa tidak siap dan takut salah. Namun, akhirnya saya memilih mempercayakan diri kepada Tuhan dan menerima tanggung jawab itu.

Anehnya, justru di situlah saya merasakan kedamaian yang tak bisa dijelaskan. Kitab Suci menegaskan dalam Kolose 2:23: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Ayat ini menguhkan saya bahwa setiap tugas kecil, bahkan yang tampak sepele, dapat menjadi bentuk kasih yang nyata dari Tuhan.

Saya belajar bahwa pelayanan bukan tentang siapa yang paling mampu, tetapi tentang siapa yang paling mau hadir dan memberikan diri.

Gereja mengajarkan, seperti diungkapkan Paus Fransiskus (2013) dalam Evangelii Gaudium (no. 24), bahwa seorang murid sejati adalah “murid yang keluar” yang berani meninggalkan zona nyaman untuk melayani sesama.

Dari pengalaman itu, saya sungguh belajar keluar dari diri sendiri—dari rasa takut dan keinginan untuk sempurna—menuju keterbukaan untuk dipakai Tuhan.

Pelayanan yang Membentuk Hati

Dari setiap kunjungan umat, doa lingkungan, hingga kegiatan bersama anak-anak SEKAMI dan OMK, saya menemukan wajah Kristus dalam diri sesama.

Anak-anak yang tertawa polos saat belajar doa Bapa Kami, para lansia yang menatap penuh syukur saat misa Tali Kasih, dan umat yang menyapa dengan kalimat sederhana, “Terima kasih ya sudah datang,” semuanya menjadi Injil hidup bagi saya.

Santo Fransiskus Assisi pernah berkata, “Sebab dengan memberi kita menerima, dengan melayani, kita bertumbuh.”

Kalimat itu menjadi nyata di lapangan. Pelayanan yang awalnya saya pandang sebagai tugas kampus, pelan-pelan berubah menjadi cermin di mana saya melihat diri saya sendiri dibentuk menjadi lebih sabar, peka, dan rendah hati.

Ketika mendata umat atau mengunjungi yang sakit (Diakonia), saya belajar tentang makna kasih yang konkret. Saat mendampingi anak-anak SEKAMI (Kerygma), saya belajar bahwa pewartaan iman tidak selalu melalui kata-kata, melainkan melalui senyum, teladan, dan kesediaan mendengar.

Evaluasi: Belajar Bertumbuh dalam Keterbatasan

KKNP bukan hanya sarana untuk melayani, tetapi juga ruang pembelajaran bagaimana seorang calon pelayan Gereja berbaur dan bertumbuh di tengah umat.

Selama KKNP, beberapa program berjalan dengan baik, seperti kegiatan bersama SEKAMI, pendampingan OMK, serta sensus umat. Namun, tentu ada juga kendala: mulai dari perbedaan jadwal dengan umat yang sibuk bekerja, jarak rumah umat yang berjauhan, keterbatasan fasilitas, hingga situasi pastoral yang menuntut adaptasi cepat.

Justru dari tantangan-tantangan inilah saya belajar arti nyata dari kerja sama tim, komunikasi, dan kerendahan hati untuk belajar dari umat.

Evaluasi bagi saya bukan sekadar menilai keberhasilan program, tetapi juga menilai perubahan hati: sejauh mana saya mampu membuka diri, hadir sepenuh hati, dan tetap setia melayani meski keadaan tidak selalu ideal.

Dari Tugas Menjadi Cara Hidup

Bagi saya, KKNP ini menjadi sebuah reorientasi. Bukan sekadar istilah akademis, melainkan ajakan untuk terus memperbarui arah hati agar selalu kembali kepada Kristus.

Saya belajar bahwa pelayanan sejati lahir dari hati yang terbuka dan siap diubah oleh Tuhan. Kadang pelayanan membuat saya lelah, namun justru di situlah saya merasa paling hidup.

Saya menyadari bahwa menjadi pelayan berarti belajar setia pada hal-hal kecil—seperti menyiapkan altar, mengiringi lagu, atau menemani anak-anak berdoa—sebab di sanalah Kristus hadir dengan cara yang sederhana.

Saya pulang dari Tanah Jawa dengan hati yang berbeda. Bukan karena semua berjalan sempurna, melainkan karena saya belajar arti pelayanan sejati dengan memberi diri sepenuhnya, tanpa pamrih, dan mempercayakan hasilnya kepada Tuhan.

Seperti diingatkan St. Teresa dari Kalkuta, “Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi sukses, tetapi untuk menjadi setia.”

Dan di situlah saya belajar, bahwa pelayanan bukan sekadar tugas, melainkan cara hidup yang membuat kita semakin serupa dengan Kristus, Sang Pelayan sejati. (*)

Kontributor: Febriola Sitinjak, mahasiswa STP Santo Bonaventura, Keuskupan Agung Medan/

Leave A Reply

Your email address will not be published.