Di Antara Ruang Tunggu dan Gua Maria
Oleh Kristian

0 17

Katolikana.com—Tami duduk di bangku rumah sakit, memandangi sekelilingnya yang sibuk dengan suara orang berbicara, mesin yang berdetak, dan aroma antiseptik yang begitu khas.

Setiap Minggu, rutinitas ini tak pernah berubah. Tiara ibunya harus menjalani cuci darah untuk menjaga kesehatan ginjalnya yang semakin memburuk. Tami sering kali merasa terjebak dalam pusaran rutinitas yang melelahkan ini.

Kuliah yang harus ia kejar, tugas yang menumpuk, dan tanggung jawab sebagai anak yang harus merawat ibunya, semuanya menekan hatinya. Belum lagi, pengobatan yang semakin berat dan biaya yang terus meningkat, membuat Tami sering merasa putus asa.

Di tengah keputusasaan itu, ia kadang lupa, bahwa ia juga butuh ruang untuk bernapas. “Aku harus bisa berhenti sejenak dan mengakui bahwa ini berat,” bisiknya pada diri sendiri, sebuah pengakuan yang terasa seperti langkah kecil menuju penerimaan diri.

Selain itu, ada satu masalah yang kerap mengusik Tami: urusan administrasi rumah sakit yang tak kunjung selesai. BPJS Ibunya, yang seharusnya menanggung biaya cuci darah, sering kali bermasalah.

Tami harus berurusan dengan pihak rumah sakit yang selalu mencari alasan untuk mempersulit proses administrasi, seakan-akan membuat segala sesuatunya lebih rumit.

Setiap kali Ibunya harus menjalani cuci darah, Tami selalu harus berhadapan dengan staf medis yang tidak ramah, meminta dokumen yang tak pernah cukup, dan harus mengantri berjam-jam hanya untuk mendapat konfirmasi bahwa proses cuci darah bisa dimulai.

Pernah suatu kali, Tami hampir menangis di depan loket administrasi. Ia sudah menyerahkan semua dokumen yang diperlukan, tetapi pihak rumah sakit tetap mengklaim ada kekurangan data. “Tolong diurus dulu BPJS-nya. Jangan hanya berharap kami memprosesnya begitu saja,” kata petugas dengan nada kasar.

Tami merasa dunia begitu menekan, merasa seperti dirinya tidak diperhitungkan, meskipun ibunya sedang dalam kondisi lemah dan membutuhkan perhatian medis segera. Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan cuci darah tidak selalu ditanggung sepenuhnya oleh BPJS.

Ada biaya tambahan yang harus dibayar secara pribadi, yang meskipun tidak besar, tetap memberatkan Tami. “Bu, jangan khawatirkan uangnya,” kata Tami setiap kali Ibunya khawatir tentang biaya.

Namun, Tami sendiri sering kali merasa khawatir tentang bagaimana ia bisa terus menanggung semua biaya ini, terutama karena kuliah yang tak pernah berhenti memberikan tekanan.

Proses penyembuhan Ibunya yang tampaknya tidak pernah menunjukkan perkembangan signifikan semakin menambah beban Tami. Setiap kali Ibunya menjalani cuci darah, tubuhnya tampak semakin lemah.

Tami tahu, meskipun Ibunya berusaha tegar, ada rasa takut yang tak bisa disembunyikan di balik senyumnya itu. Tami yang melihat itu, sering kali merasa frustasi dan bingung.

Bagaimana ia bisa mengatasi semua masalah ini? Apakah ada harapan bagi Ibunya untuk sembuh sepenuhnya? Setiap kali ia memikirkan masa depan, kekhawatiran itu semakin menghimpit.

Tami juga merasa tertekan dengan tanggung jawab sebagai anak yang harus memberikan dukungan emosional bagi Ibunya, sementara di sisi lain, ia juga harus fokus pada kuliahnya. Tugas kuliah yang terus menumpuk, ujian yang semakin dekat, dan tekanan dari dosen membuat Tami merasa terpecah.

Ia ingin menjadi anak yang baik, selalu ada untuk Ibunya tetapi ia juga tahu bahwa masa depannya sebagai mahasiswa harus diperjuangkan. Kadang, Tami merasa terjebak di antara dua dunia yang sama pentingnya, namun tak pernah memberi ruang untuk dirinya sendiri.

Hari itu, seperti biasa, setelah Ibunya masuk ruang cuci darah, Tami mengambil langkah menuju sudut rumah sakit yang selalu memberi sedikit ketenangan—gua Maria. Gua kecil itu terletak di sudut halaman rumah sakit, dekat dengan taman yang tenang.

Di sana, Tami merasa seperti menemukan seberkas cahaya di tengah kegelapan yang melingkupi hatinya. Saat memasuki gua Maria, Tami menarik napas panjang.

Patung Maria yang tersembunyi dalam gua itu seolah menatapnya dengan penuh kasih sayang. Ada ketenangan yang datang setiap kali ia berdoa di sini.

Rasanya seperti ada kekuatan yang menenangkan, meski sesaat, dan membuatnya merasa tidak sendirian. Doa-doanya, meskipun sederhana, selalu keluar dari hati yang penuh kecemasan.

“Bunda Maria, tolong bantu Ibu. Berikan kekuatan untuk kami. Bantu aku menghadapi semua ini. Aku lelah…”

Tami berdoa pelan, suara hatinya lebih keras daripada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Di sinilah, dalam keheningan gua itu, ia merasa seolah-olah Tuhan mendengar setiap kata yang ia panjatkan.

Tami tak tahu berapa lama ia berdoa di sana, tapi ketika ia membuka mata, rasa cemas yang selama ini menggerogoti dadanya terasa sedikit berkurang. Ia merasa tenang, lebih kuat dari sebelumnya, seakan-akan ada kekuatan yang mengalir dalam dirinya, menenangkannya.

Momen hening ini adalah hadiah yang ia berikan pada dirinya sendiri—sebuah bentuk ‘mencintai diri’ paling sederhana, yakni mengizinkan diri untuk beristirahat dan tidak harus selalu kuat.

Tami merasakan keajaiban kecil yang membuatnya mampu bertahan, meski masalah di sekelilingnya masih tetap ada. Namun, pergumulan Tami tidak hanya soal kuliah dan Ibunya. Ada perasaan bersalah yang selalu datang menghampirinya.

Tugas kuliah yang menumpuk, persiapan ujian yang semakin dekat, dan keterbatasannya dalam memberikan waktu untuk dirinya sendiri—semuanya menambah beban dalam pikirannya.

Tami ingin sekali bisa menjadi yang terbaik untuk Ibunya, namun kadang ia merasa tidak cukup kuat. Ia menyadari bahwa perasaan bersalah itu tidak adil.

Mencintai Ibunya bukan berarti harus mengorbankan diri sendiri hingga habis tak bersisa. “Aku juga penting,” gumamnya. “Aku harus menjaga diriku agar aku bisa terus menjaganya. Itu bukan egois, itu keharusan.” “Kenapa aku merasa seperti ini, ya Tuhan?”

Tami sering kali bertanya dalam hatinya. “Aku ingin kuliah dengan baik, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan Ibu sendirian.”

Ketika Ibunya selesai menjalani cuci darah, Tami kembali menunggu di ruang tunggu. Ibunya keluar dengan wajah yang tampak lelah, namun senyuman lembut di bibirnya selalu menjadi obat bagi Tami.

Ibunya sudah terbiasa dengan proses ini, meskipun setiap kali cuci darah, tubuhnya semakin lemah. Tami menyadari bahwa tak ada yang lebih diinginkan selain melihat Ibunya kembali sehat.

“Bu, bagaimana perasaan Ibu hari ini?” Tami bertanya dengan lembut, mencoba mengalihkan perhatian Ibunya dari kelelahan. “Sedikit lebih baik, sayang,” jawab Ibunya dengan suara lembut. “Tapi aku tahu, kamu juga lelah, kan?” kata Ibunya mencoba untuk tetap perhatikan kepada Tami.

Tami mengangguk, meski hatinya merasa berat. “Aku hanya ingin semuanya lebih mudah, Bu. Aku ingin kuliah dengan baik, tapi aku juga ingin selalu ada untuk Ibu. Kadang aku bingung harus bagaimana.”

Ia mengambil napas panjang, memutuskan untuk menerima kelelahannya, bukan melawannya. Menerima bahwa dirinya juga memiliki batas adalah salah satu bentuk kasih pada diri sendiri. Ibunya memandang Tami dengan penuh pengertian, seolah tahu betul pergumulan yang sedang ia alami.

“Tami, sayang. Kamu tidak perlu merasa terbebani sendirian. Kamu bisa melakukannya. Aku tahu kamu kuat.” Kata-kata itu terasa seperti izin. Izin untuk menjadi manusia yang lelah, izin untuk mencintai diri sendiri, dan izin untuk sesekali mendahulukan kebutuhannya.

Tami menatap mata Ibunya yang penuh kasih, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada kekuatan baru yang muncul dalam dirinya. Ibunya mungkin lemah secara fisik, tetapi dalam setiap kata-kata dan tatapannya, Ibunya memberikan Tami kekuatan yang lebih besar dari yang ia bayangkan.

Setelah beberapa hari, Tami kembali duduk di depan gua Maria. Kali ini, ia berdoa dengan penuh keyakinan.

“Ya Tuhan, aku tahu aku tidak bisa melakukan semuanya sendirian. Tetapi aku percaya, setiap langkah yang aku ambil, Engkau akan memberikan kekuatan untuk melangkah lebih jauh. Berikan aku kebijaksanaan, kesabaran, dan kekuatan untuk terus berjuang, tetapi juga berikan aku keberanian untuk beristirahat saat aku membutuhkannya. Ajari aku mencintai diri sendiri sama seperti aku mencintai Ibu, agar cintaku tidak pernah habis.”

Tami merasakan kedamaian yang dalam setelah doa itu. Ia tahu, selama ia percaya dan berusaha, Tuhan akan memberikan jalan. Doa-doanya di depan gua Maria itu seolah menjadi sumber kekuatan yang tak terbatas. Tami merasa seakan-akan Tuhan berada di sampingnya, memberikan petunjuk setiap kali ia merasa ragu.

Selama beberapa minggu berikutnya, Tami mulai belajar untuk mengatur waktunya dengan lebih bijaksana. Ia mulai menyusun jadwal kuliah yang lebih teratur, meskipun tetap harus membagi waktu untuk Ibunya. Setiap kali ia merasa lelah, ia kembali menuju gua Maria, berdoa dan menemukan ketenangan dalam hati.

Hingga pada suatu hari, Tami duduk di bangku ruang tunggu rumah sakit, menatap Ibunya yang sedang beristirahat setelah cuci darah. Tami merasa bangga.

Meski perjalanan hidupnya penuh tantangan, ia tahu bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya. Di setiap langkahnya, ia merasa dipenuhi dengan kekuatan doa yang dipanjatkan di depan gua Maria.

Ketika Ibunya terbangun dan tersenyum padanya, Tami merasa lega. Ibunya mungkin tidak akan pernah sepenuhnya sembuh, tetapi Tami tahu bahwa bersama Mama, ia akan selalu memiliki kekuatan untuk bertahan. Dengan doa dan keteguhan hati, Tami yakin bahwa ia bisa menghadapi apapun yang datang.

Kini Tami semakin menyadari bahwa di setiap pergumulan hidup, kekuatan sejati datang dari tiga sumber: Iman, cinta dari Mama, dan janji pada dirinya sendiri untuk selalu mencintai dan menjaga dirinya. (*)

Penulis: Kristian, Mahasiswa Fakultas Teologi Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta

Leave A Reply

Your email address will not be published.