Saat Perbedaan Dibesar-besarkan
Katolikana.com — Pagi ini, sebuah unggahan di media sosial menyita perhatian saya. Isinya tentang sulitnya mencari indekos atau kontrakan karena batasan label agama tertentu.
Fenomena ini bukan lagi rahasia; jika dulu hanya terjadi di kawasan tertentu, kini pola diskriminatif ini telah merambah ke hampir seluruh daerah.
Isu ini memang sulit divalidasi secara administratif, namun nyata adanya. Konon, sektor perumahan pun setali tiga uang. Ada klausul “di bawah tangan” saat pengajuan izin yang melarang pembeli dari latar belakang agama tertentu.
Isu ini santer terdengar, namun layaknya aroma busuk, sulit dipastikan sumbernya meskipun dampaknya sangat terasa.
Dari Makam ke Rumah Orang Hidup
Dahulu, pemisahan berbasis identitas ini biasanya hanya ditemukan di area pemakaman—rumah bagi mereka yang telah tiada. Namun kini, sentimen tersebut melebar ke hunian orang hidup.
Praktik ini seolah dianggap benar dan tepat atas nama agama. Kita seolah lupa bahwa selain identitas agama, Indonesia memiliki Pancasila sebagai alat pemersatu yang melampaui sekat-sekat tersebut.
Diskriminasi ini bahkan masuk ke ranah politik dan birokrasi. Jabatan menteri atau kepala daerah seringkali dipersoalkan berdasarkan latar belakang agamanya, bukan kapasitasnya.
Mutu bernegara kita merosot karena segala lini selalu dikaitkan dengan sentimen primordial. Bahkan, penegakan hukum pun kerap dicampuradukkan dengan kepentingan politik identitas.
Piagam Jakarta yang dulu dikesampingkan oleh para pendiri bangsa sejatinya ditujukan untuk membangun bangsa yang inklusif. Sayangnya, ideologi eksklusif kini kembali menjadi tren dan dilakukan secara terang-terangan di era pasca-reformasi.
Mengapa Perbedaan Terus Dikorek?
Negara ini tersusun atas keberagaman suku, ras, dan bahasa. Seharusnya ada satu kesamaan yang kita junjung tinggi: kemanusiaan. Namun yang terjadi justru sebaliknya; kita sibuk mencari perbedaan yang justru memperburuk keadaan. Ada beberapa faktor yang melanggengkan kondisi ini:
- Sikap Saling Curiga: Alasan penolakan penyewa kos seringkali dangkal, seperti kekhawatiran soal najis hewan peliharaan. Padahal, sangat sedikit penyewa yang membawa hewan, dan penafsiran agama terkait hal tersebut pun beragam.
- Efek Domino Identitas: Jika satu kelompok mayoritas di suatu daerah melakukan diskriminasi, daerah lain seringkali melakukan hal serupa sebagai bentuk “solidaritas”. Ini bukan lagi semangat berbangsa, melainkan benih separatisme ideologis yang membahayakan persatuan.
- Absensi Negara: Belum ada seruan tegas dari level tertinggi pemerintahan mengenai fenomena intoleransi ini. Masalah serius ini belum dianggap sebagai ancaman nasional yang mendesak.
- Produk Hukum yang Bias: Banyak regulasi yang justru mempersulit minoritas dalam bekerja, beribadah, atau bersuara. Negara terkadang justru hadir memfasilitasi perilaku diskriminatif ini.
- Ketimpangan Penegakan Hukum: Hukum tampak tajam kepada minoritas namun tumpul kepada mayoritas. Jika hal ini sudah terkontaminasi oleh keberpihakan identitas, maka keadilan hanya akan menjadi angan-angan.
- Pembiaran yang Berakumulasi: Hal-hal kecil yang dibiarkan di dunia pendidikan, birokrasi, dan militer lama-kelamaan menjadi gaya hidup dan ideologi yang berakar.
Kembali ke Kesadaran dan Agama yang Waras
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Kita harus membangun kesadaran untuk menemukan titik temu di antara perbedaan. Meyakini kelompok sendiri sebagai yang terbaik adalah hak setiap orang, namun memaksakan cara pikir tersebut kepada orang lain adalah sebuah kesalahan.
Menggunakan paradigma agama yang kaku dalam hidup bermasyarakat hanya akan memicu ketegangan. Kesadaran sejati adalah ranah spiritualitas yang melampaui batas-batas formalitas agama. Kita perlu bersikap dinamis.
Beragama dengan waras itu penting. Ada ranah-ranah publik yang tidak memerlukan terminologi agama. Agama seharusnya menjadi kompas moral di ruang privat, sementara di ruang publik, kemanusiaan dan keadilanlah yang harus dikedepankan.
Agama sering kali dipandang dalam dua dimensi yang saling berkelindan: dimensi ritual dan dimensi esensial. Agama ritual berfokus pada bentuk-bentuk lahiriah seperti tata cara peribadatan, simbol-simbol suci, dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun sebagai identitas formal pemeluknya. Namun, tanpa pemahaman yang mendalam, ritual berisiko menjadi sekadar rutinitas mekanis yang kosong.
Di sisi lain, agama esensial menyentuh substansi terdalam dari keyakinan, yakni transformasi batin yang melahirkan cinta kasih, kejujuran, dan kemanusiaan universal.
Idealnya, ritual harus menjadi jembatan menuju nilai esensial tersebut, di mana kepatuhan pada aturan formal berbanding lurus dengan kematangan spiritual dan kepedulian sosial, sehingga agama tidak hanya berhenti pada tampilan luar tetapi juga menyinari perilaku nyata dalam kehidupan bermasyarakat.
Lebih banyak masyarakat bangsa ini cenderung berhenti pada agama ritual. Wajar sering terjadi benturan. (*)

Bukan siapa-siapa.