
Oleh Maria Ana Liwun
Katolikana.com—Bumi Etam adalah sebutan populer untuk Kalimantan Timur, tanah leluhur Suku Dayak dan Kutai, melambangkan kekayaan alam dan budaya yang kaya.
Kalimantan Timur sering kali digambarkan sebagai “tanah terjanji” bagi sektor ekstraktif. Angka-angka statistik berbicara dengan lantang: sektor batubara menyumbang lebih dari 45 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah (Gea & Hotsawadi, 2024).
Namun, di balik megahnya angka pertumbuhan tersebut, terbentang kenyataan pahit yang kontras—wajah pembangunan yang menyisakan kemiskinan persisten, ribuan lubang tambang yang menganga, serta kerusakan ekologis yang mengancam napas generasi mendatang.
Realitas ini membawa kita pada satu gugatan moral yang niscaya: apakah kekayaan alam ini dikelola sebagai berkat bagi kesejahteraan bersama (bonum commune), atau justru telah menyimpang menjadi sekadar instrumen akumulasi kekuasaan dan modal bagi segelintir elite?
Pertanyaan ini bukan hanya bersifat politis-praktis, melainkan juga teologis dan etis yang mendalam.
Luka Keadilan dan Banalitas Kekuasaan
Fakta mengenai 1,700 lubang tambang yang belum direklamasi di Kalimantan Timur (Iswara, 2025) adalah bukti nyata pengabaian tanggung jawab hukum sekaligus moral.
Dalam perspektif etika lingkungan, reklamasi pascatambang bukanlah sekadar kewajiban administratif yang bisa ditawar, melainkan bentuk tanggung jawab eksistensial terhadap kehidupan manusia dan keutuhan ciptaan.
Persoalan menjadi kian pelik ketika kita melihat adanya indikasi konflik kepentingan yang berkelindan antara elite politik dan korporasi tambang.
Saat jabatan publik digunakan untuk memperlancar jejaring bisnis pribadi atau kelompok melalui kebijakan yang “dipesan”, maka politik kehilangan watak dasarnya sebagai pelayanan (diakonia).
Melihat fenomena ini dari kacamata Ajaran Sosial Gereja (ASG), kita sedang berhadapan dengan ketidakadilan struktural. Ini adalah kondisi di mana sistem ekonomi dan politik sengaja didesain bukan untuk mengangkat martabat manusia, melainkan untuk melayani kerakusan modal.
Politik sebagai Panggilan Moral
Konsili Vatikan II melalui konstitusi pastoral Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) menegaskan bahwa politik tidak pernah boleh dipisahkan dari dimensi moral.
Gereja menolak pandangan sekularistik yang menganggap ekonomi dan politik berada di luar wilayah penilaian etis. Segala aktivitas manusia, termasuk eksploitasi sumber daya alam, harus diarahkan pada penghormatan martabat pribadi dan kesejahteraan umum.
Ketika kebijakan pertambangan justru melahirkan penderitaan bagi masyarakat lokal dan membiarkan kerusakan lingkungan tanpa kendali, maka politik sesungguhnya telah gagal dalam panggilan moralnya. Kekuasaan yang seharusnya menjadi sarana pembebasan malah berubah bentuk menjadi instrumen penindasan terselubung.
Seabad yang lalu, Paus Leo XIII dalam ensiklik Rerum Novarum telah mengingatkan bahwa negara memikul tanggung jawab mutlak untuk melindungi mereka yang lemah dalam sistem ekonomi.
Sangat ironis ketika masyarakat di lingkar tambang sering kali kehilangan tanah, akses air bersih, hingga mata pencaharian, sementara hasil bumi dari tanah mereka dikirim jauh tanpa meninggalkan tetesan kesejahteraan yang nyata bagi mereka.
Dosa Struktural dan Pilihan untuk Yang Miskin
Ketimpangan yang terjadi di Kalimantan Timur dapat dibaca sebagai apa yang disebut Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis sebagai “dosa sosial”.
Ini adalah dosa yang tidak lagi sekadar bersifat individual, melainkan telah melembaga dan terlembagakan dalam sistem. Struktur dosa ini bekerja melalui keserakahan yang terorganisir dan penyalahgunaan kekuasaan yang mengabaikan solidaritas.
Dalam situasi yang timpang seperti ini, ASG menawarkan prinsip yang tegas: Option for the Poor atau keberpihakan kepada kaum miskin. Prinsip ini bukanlah pilihan politik berbasis ideologi partisan, melainkan konsekuensi iman yang menuntut pembelaan terhadap martabat manusia yang terinjak.
Negara tidak boleh bersembunyi di balik tameng “netralitas”. Bersikap netral di tengah ketidakadilan struktural dan eksploitasi ekologis sesungguhnya adalah sebuah bentuk pembiaran etis.
Memilih untuk diam atau sekadar berfokus pada langkah teknis-birokratis tanpa menyentuh akar ketimpangan adalah cara halus untuk melanggengkan sistem yang merusak.
Menuju Politik yang Memanusiakan
Kekayaan alam Kalimantan Timur seharusnya menjadi sarana untuk menghidupi, bukan sumber penderitaan yang mematikan. Masa depan Bumi Etam bergantung pada keberanian kita untuk mengembalikan etika ke dalam jantung politik.
Iman Kristiani, sebagaimana ditekankan kembali dalam semangat Gaudium et Spes, tidak memanggil kita untuk menjauh dari hiruk-pikuk dunia. Sebaliknya, ia memanggil kita untuk terjun dan mengubah struktur dunia yang tidak adil menjadi lebih manusiawi dan bermartabat.
Menjaga lingkungan sebagai “Rumah Kita Bersama” adalah bagian integral dari pembelaan terhadap kehidupan itu sendiri. Hanya dengan mengembalikan politik pada rel pelayanan dan keadilan, kita dapat memastikan bahwa kekayaan alam Kaltim benar-benar menjadi sakramen kehadiran berkat Tuhan bagi semua, bukan kutukan bagi kaum pinggiran. (*)
Penulis: Maria Ana Liwun, mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun.
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.