Romo Martinus Joko Lelono: Kekayaan Terbesar Kita Adalah Persaudaraan

Tinggalkan Mentalitas Minoritas dan Bergerak Mewujudkan Semangat Kebangsaan

0 85

Babadan, Katolikana.com – Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks dan maraknya kecenderungan umat beragama untuk menutup diri, umat Katolik Indonesia diajak untuk tidak terjebak dalam mentalitas sebagai kelompok kecil yang lemah.

Sebaliknya, umat Katolik diminta untuk menyadari bahwa mereka memiliki kekayaan besar yang sering kali terlupakan, yaitu semangat persaudaraan lintas iman dan komitmen untuk membangun bangsa bersama.

Hal ini disampaikan secara tegas oleh Romo Martinus Joko Lelono, Pr, dalam Sarasehan Kekatolikan bertema “Menggugah Semangat Kekatolikan” di Aula Paroki Santo Petrus dan Paulus Babadan, Minggu (23/3/2025).

Selain Romo Joko, hadir pula Camat Ngemplak Dakiri S.Sos.M.Si dan H.Mujiburokhman, S.Ag, M.A, tokoh Nahdlatul Ulama di Kelurahan Wedomartani sebagai pembicara.

Acara ini dihadiri lebih dari 200 umat terdiri dari peserta Krisma, prodiakon, tim pewartaan, DPPH, pengurus lingkungan, panitia Paskah, pengurus Kategorial, serta katekis paroki.

Inferioritas Orang Katolik

Dalam pemaparannya, Romo Joko mengawali dengan sebuah refleksi tentang perasaan inferioritas yang kerap muncul di kalangan umat Katolik.

“Kita sering merasa kecil, merasa minoritas, merasa tidak berarti dalam dinamika sosial dan politik. Tapi benarkah kita sekecil itu?” tanyanya.

Romo Joko kemudian menyebut salah satu kekayaan umat Katolik adalah kemampuan menjalin persaudaraan yang tulus di tengah perbedaan.

Ia mencontohkan sikap dan keberanian anggota Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) yang bersedia menjaga gereja-gereja Katolik saat masa-masa sulit dan penuh ancaman teror.

“Kisah heroik almarhum Riyanto, anggota Banser NU yang gugur saat menjaga gereja pada malam Natal di Mojokerto, adalah bukti nyata. Ia mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan sesama umat beragama yang berbeda keyakinan. Ini adalah kekayaan kita sebagai bangsa. Ini adalah persaudaraan yang tidak bisa dibeli dengan apapun,” ungkap Romo Joko.

Romo Dr. Martinus Joko Lelono, M. Hum

Kesaksian Kehidupan

Romo Joko mengingatkan umat Katolik untuk tidak terlalu banyak berbicara tentang agama di luar gereja.

“Jika kamu jadi orang Katolik jangan berbicara tentang agamamu di mana-mana. Berbicaralah tentang agamamu di gereja. Tapi di luar kamu harus berbicara tentang bagaimana hidupmu berguna bagi masyarakat,” tegas Romo Joko.

Romo Joko mencontohkan pemain pencak silat atau karateka. “Pemilik sabuk hitam tidak biasa memamerkan jurus-jurus. Tapi kalau orang masih sabuk kecil, misalnya sabuk kuning, yang dibicarakan dia bangga sekali sebagai karateka dan sebagainya.  Artinya kalau banyak omong itu sama dengan air beriak tanda tak dalam,” ujar Romo Joko.

“Kalau orang Katolik di mana-mana hanya ngomongin agama, tapi tidak mengungkapkan hidupnya sebagai orang yang beragama, ungkapkan kebaikan agamamu dalam tindakan, bukan hanya dalam kata-kata. Buatlah kesaksian kehidupan,” tegas Romo Joko.

Mengutip kata-kata Gus Dur: “Berbuatlah baik. Kalau kamu berbuat baik, orang tidak bertanya apa agamamu!”

Menurutnya, umat Katolik perlu menghidupi ajaran Yesus secara konkret: mengampuni, mengasihi, dan melayani dengan rendah hati.

“Hidupmu harus menjadi kesaksian. Dunia tidak butuh orang yang sekadar bisa bicara, tapi orang yang bisa hidup dalam kasih.”

Iman Tidak Hanya Berhenti di Altar

Menjelang akhir pemaparannya, Romo Joko mengutip pesan legendaris dari Romo Y.B. Mangunwijaya: “Setiap generasi memiliki medan juangnya masing-masing. Dan setiap generasi akan melahirkan pahlawan-pahlawannya sendiri.”

Ia menegaskan, “Dulu medan juangnya adalah penjajahan. Sekarang, kita berhadapan dengan intoleransi, krisis iklim, politik identitas, kesenjangan sosial, dan erosi nilai-nilai. Tapi panggilan kita tetap sama: menjadi terang dan garam dunia.”

Romo Joko mengajak umat untuk bangkit dari sikap pasif dan ikut ambil bagian dalam perjuangan membangun bangsa.

“Kita adalah pahlawan zaman ini. Kita harus berani berdiri, bersuara, dan berbuat. Karena iman Katolik tidak bisa berhenti di altar, ia harus mengalir ke jalan-jalan, ke kantor-kantor, ke sekolah-sekolah, ke seluruh aspek kehidupan,” tutupnya. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.