Sudahkah Pertobatan Kita Benar-Benar Berdayaubah?

Perubahan sejati menuntut proses utuh: unfreeze-change-refreeze. Menyadari-berubah nyata-meneguhkan kebiasaan baru agar tak kembali ke pola lama.

0 68

Oleh Juster Donal Sinaga

Katolikana.com – Umat Katolik di seluruh dunia kini memasuki Pekan Suci, sebuah momen liturgis yang sarat makna spiritual.

Pekan ini diawali oleh Minggu Palma, mengenang Yesus memasuki Yerusalem; berlanjut pada Kamis Putih, saat kita memperingati Perjamuan Malam Terakhir; kemudian Jumat Agung, momen kita merenungi penderitaan dan wafat-Nya; hingga puncaknya, Minggu Paskah—perayaan kebangkitan Kristus dan kemenangan-Nya atas dosa serta kematian.

Namun di tengah kekhusyukan refleksi rohani ini, sebuah pertanyaan layak kita renungkan bersama: Sudahkah pertobatan kita benar-benar mengubah hidup kita? Apakah setelah mengikuti sakramen tobat dan berderai air mata penyesalan, kita tetap kembali pada dosa yang sama, seolah tak terjadi transformasi berarti?

Dosa yang Itu-Itu Saja

Beberapa waktu lalu, saya bercakap-cakap dengan seorang bapak yang dengan nada bercanda mengatakan, “Enak ya bro, jadi Katolik. Dosa tinggal ngaku, terus bebas lagi.” Saya balas bertanya, “Apakah dosanya selalu sama?” Ia pun tersenyum dan menjawab, “Ada yang sama, ada yang beda.”

Pernyataan itu terasa jenaka, tetapi sekaligus mengusik batin. Banyak dari kita bergumul dengan dosa yang berulang: amarah, gosip, kemalasan, iri hati, atau kebiasaan buruk lainnya. Bahkan para rohaniwan kerap berseloroh bahwa umat Katolik tampaknya “tidak kreatif” dalam berbuat dosa—selalu saja dosa yang itu-itu lagi.

Pertanyaannya: mengapa kita begitu sulit berubah?

Kebiasaan, Dosa, dan Perubahan

Charles Duhigg, dalam bukunya The Power of Habit, menjelaskan bahwa kebiasaan terbentuk melalui pola habit loop yakni isyarat-rutinitas-hadiah. Misalnya, stres karena pekerjaan (isyarat) bisa memicu kemarahan kepada pasangan (rutinitas), yang mungkin memberikan rasa lega sesaat (hadiah).

Pola ini dengan cepat menjadi lingkaran yang sulit diputus, bahkan saat kita menyadari bahwa perilaku itu salah atau berdosa.

Di sinilah teori perubahan yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, seorang psikolog Jerman-Amerika dan pelopor psikologi sosial modern, memberikan wawasan yang penting.

Lewin membagi proses perubahan menjadi tiga tahap: unfreeze (membuka), change (mengubah), dan refreeze (membekukan kembali). Pada tahap unfreeze, seseorang menyadari bahwa ada perilaku yang perlu diubah.

Sayangnya, banyak pertobatan kita mandek di tahap pertama. Kita sadar dan merasa bersalah, bahkan membuat rencana untuk berubah, tetapi tak sampai pada tindakan nyata. Kita berhenti di niat, tak melangkah ke disiplin dan komitmen.

Kesadaran bahwa sesuatu harus diubah tidak otomatis membawa seseorang melangkah ke tahap berikutnya, yakni change, di mana dibutuhkan tindakan konkret dan berani untuk benar-benar mengubah pola yang telah terbentuk.

Bahkan ketika seseorang berhasil memulai perubahan, tantangan berikutnya adalah menjaga konsistensi dan menjadikan perilaku baru itu sebagai bagian dari gaya hidup.

Inilah yang disebut tahap refreeze—proses pembekuan kembali kebiasaan baru agar tertanam secara permanen. Tanpa tahap ini, perilaku lama yang tidak diinginkan bisa dengan mudah kembali muncul ketika tekanan hidup datang.

Misalnya, seseorang yang ingin berhenti mengomel kepada pasangannya mungkin mulai dengan menyadari bahwa kebiasaan ini mengganggu keharmonisan keluarga (unfreeze). Ia lalu mencoba berbicara dengan lebih sabar selama beberapa hari (change).

Namun, bila tidak ada komitmen jangka panjang untuk menjadikan kesabaran sebagai gaya hidup baru, dan tidak ada dukungan untuk mempertahankannya, maka situasi emosional di masa depan dapat dengan mudah memicu kebiasaan lama kembali (refreeze yang gagal).

Kesadaran tanpa tindakan hanyalah pijakan awal. Untuk menciptakan perubahan yang nyata dan bertahan, dibutuhkan komitmen, disiplin, serta dukungan yang berkelanjutan hingga kebiasaan positif benar-benar terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh lagi, sebuah diagram yang penulis temukan di media sosial berjudul “How Change is Created” menunjukkan bagaimana proses perubahan sering kali terjebak pada tahap-tahap awal. Banyak orang berhenti di tahap ide, pikiran, atau perasaan.

Kita menyadari bahwa kebiasaan kita salah, kita memikirkannya, bahkan merasa bersalah—namun sering kali tidak melanjutkannya ke tahap komitmen dan tindakan konkret.

Perubahan yang sejati baru akan terjadi ketika kesadaran itu bertransformasi menjadi keputusan, aksi, dan akhirnya menjadi kebiasaan baru yang diperkuat oleh kehidupan yang terus diperbarui.

Berdoa setelah mengaku dosa.

Pertobatan yang Berakar dalam Aksi

Pertobatan yang berdayaubah menuntut lebih dari sekadar refleksi batin. Ia menuntut komitmen konkret.

Seseorang yang ingin mengubah kebiasaan marah, misalnya, bisa mulai dengan mengenali pemicunya, berlatih menarik napas dalam saat emosi muncul, atau menenangkan diri sebelum bicara. Di tengah tekanan, langkah kecil seperti itu adalah bentuk nyata pertobatan.

Latihan kesadaran (mindfulness) bisa membantu mengenali emosi sebelum ia meledak. Dengan lebih sadar akan pikiran dan emosi, kita dapat mengantisipasi situasi yang rawan menggoda untuk berdosa, sekaligus merancang respons yang lebih bijak.

Misalnya, jika stres pekerjaan sering menjadi pemicu, kita bisa mengatur waktu istirahat secara lebih teratur atau berdiskusi terbuka dengan pasangan tentang tekanan yang sedang dirasakan.

Begitu pula dengan keterbukaan untuk berdiskusi dengan pasangan, teman, atau pembimbing rohani. Komunitas iman memiliki peran vital dalam perjalanan ini: mereka memberi dukungan moral, akuntabilitas, dan penguatan spiritual dalam proses transformasi.

Misalnya, seseorang yang sedang berjuang mengubah kebiasaan buruk dapat berdialog dengan pemimpin rohani atau anggota kelompok doa untuk memperoleh pandangan baru serta pendampingan yang memperkuat langkah-langkah perubahan.

Dengan memadukan tindakan nyata, kesadaran penuh, dan dukungan komunitas, pertobatan kita dapat melampaui sekadar niat dan menjadi pola hidup yang lebih bermakna.

Kehadiran Gereja menjadi nyata melalui dukungan konkret dari komunitas sekitar, baik berupa nasihat rohani maupun solidaritas dalam iman. Pertobatan pun tak lagi hanya menjadi proses personal, melainkan diperkuat oleh semangat komunal yang menopang dan memperkaya perjalanan iman setiap pribadi.

Pekan Suci seharusnya tak sekadar menjadi rutinitas tahunan, tetapi momentum untuk melihat sejauh mana hidup kita benar-benar berubah. Paskah tidak hanya tentang Yesus yang bangkit, tetapi tentang kita yang bersedia “mati dari manusia lama” dan “dibangkitkan dalam hidup baru.”

Dari Ritual ke Transformasi

Pertobatan sejati bukanlah tentang berapa kali kita mengaku dosa, melainkan seberapa besar kita berusaha untuk tidak mengulanginya. Tentu, perubahan tidak terjadi seketika. Tapi tanpa upaya konkret, dosa akan selalu menjadi pola yang stagnan dan merusak.

Mari kita keluar dari jebakan pertobatan yang setengah hati. Jangan biarkan dosa menjadi kebiasaan yang akrab dan dimaafkan berulang kali tanpa pertobatan yang sungguh. Kita dipanggil untuk bertumbuh dalam kasih, kelemahlembutan, dan penguasaan diri—buah-buah roh yang sejati (Gal 5:22-23).

Masa Pekan Suci ini adalah panggilan untuk hidup baru. Dengan keberanian, kesadaran, dan dukungan komunitas, pertobatan kita bisa menjadi nyata. Kita semua mampu berubah—karena Paskah adalah kisah tentang hidup yang diubah oleh kasih yang tak berkesudahan. (*)

Penulis: Juster Donal Sinaga, Konselor, tinggal di Yogyakarta

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.