Santo Damianus dari Molokai

Ketika Kasih Mengalahkan Takut dan Kusta

0 66

Katolikana.com – Di Molokai, pulau kecil di Hawaii yang pernah menjadi tempat pengasingan para penderita lepra, sejarah mencatat hadirnya seorang pria berjubah yang tak hanya merawat luka tubuh, tetapi juga mengobati luka batin.

Namanya Santo Damianus, lahir sebagai Joseph de Veuster pada 3 Januari 1840 di Tremelo, Belgia. Ia adalah imam dari Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SSCC), yang menyerahkan hidupnya untuk satu misi: mencintai yang ditolak, dan hadir di tengah mereka yang dikucilkan.

Damianus bukan sekadar datang sebagai pelayan sakramen, tetapi menjadi saudara sepenanggungan. Ia tidak menjaga jarak dari penyakit dan penderitaan; justru ia membiarkan dirinya terhisap ke dalam kehidupan kaum terbuang, hingga akhirnya tertular penyakit lepra itu sendiri.

Ketika orang-orang menghindari Molokai, Damianus justru memilih tinggal selamanya di sana. Hingga wafat pada 15 April 1889, ia hidup sepenuhnya untuk komunitas yang dikebiri hak-haknya dan dicabut martabatnya sebagai manusia.

Pastor Damianus de Veuster SSCC. Foto: https://catholicgentleman.com

“Kita Orang Kusta”

Kalimat itu, yang terus dikenang umat Molokai, menjadi puncak identifikasi total Damianus dengan orang-orang yang ia layani. Ia tidak menyebut “mereka”, tetapi “kita”.

Bagi Damianus, menjadi imam berarti menjadi satu tubuh dengan yang menderita. Ia tak hanya menyentuh luka orang lain, tetapi membiarkan dirinya terluka bersama.

Dalam Kristus yang menjelma menjadi manusia dan memikul salib, Damianus menemukan panggilan untuk menjadi imam yang hadir, bukan hanya hadir secara fisik, tetapi hadir dengan segenap hatinya.

Tanpa perlu semboyan yang dipahat di dinding atau gelar yang dielu-elukan, seluruh hidup Damianus adalah tafsir dari sabda Yesus sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).

Kepemimpinan Kristen bukan soal status, tetapi keberanian untuk hadir di tengah luka umat.

Antara Altar dan Dapur

Di tengah masyarakat yang melihat penderita lepra sebagai najis, Damianus justru membalik perspektif itu. Ia membangun gereja, rumah sakit, sekolah, bahkan peternakan, agar komunitas itu dapat menjalani hidup dengan martabat.

Ia mengatur misa, memberi pengakuan dosa, namun juga membantu membangun rumah, menggali makam, dan menjahit pakaian. Kepemimpinan seperti ini tidak mengenal batas antara altar dan dapur, antara sakramen dan sekop.

Ia tidak berhenti pada pelayanan rohani; Damianus juga menulis surat ke otoritas gereja dan pemerintah, meminta perhatian internasional bagi kondisi Molokai.

Ia menjadi nabi bagi yang bisu, juru bicara bagi yang dikucilkan. Banyak yang mencemoohnya. Bahkan, pada masa hidupnya, ada gerejawan yang menyangsikan pendekatannya. Tapi Damianus tak gentar.

Seperti dikatakan dalam Dei Verbum, tugas pewarta bukan untuk menyenangkan telinga, tetapi untuk menyampaikan kebenaran yang menyelamatkan.

Mau Menyentuh Luka

Apa yang membuat seorang pemimpin menjadi gembala sejati? Bukan kata-katanya yang fasih, bukan jubah atau gelarnya. Tetapi keberaniannya untuk mencintai, bahkan saat cinta itu menuntut luka.

Santo Damianus tidak hidup untuk menjadi terkenal. Bahkan, ia wafat dalam keterasingan. Tapi hari ini, Gereja Katolik dan dunia mengakuinya sebagai teladan keberanian, belas kasih, dan integritas iman.

Ia dikanonisasi oleh Paus Benediktus XVI pada 11 Oktober 2009, dan kini dikenang sebagai pelindung para penderita lepra, HIV/AIDS, dan semua orang yang ditolak.

Damianus mengajarkan kita bahwa kasih sejati bukanlah belas kasihan dari kejauhan, tetapi solidaritas yang berjalan bersama.

Kepemimpinannya tidak dibentuk oleh sistem, tetapi oleh cinta yang mengakar dalam Injil. Ia tidak datang sebagai penyelamat dari luar, tetapi menjadi bagian dari tubuh yang diselamatkan.

Pesan dari Molokai

Dalam dunia yang semakin terbiasa mencintai dengan syarat, memilih yang bersih, dan membangun pagar antara “kita” dan “mereka”, kisah Damianus dari Molokai adalah tamparan sekaligus undangan.

Ia mengajarkan bahwa kekudusan bukanlah hasil kontemplasi semata, tetapi keberanian untuk hadir di tengah luka dunia. Ia bukan hanya imam, tapi juga saudara, sahabat, dan pejuang kemanusiaan.

Gereja tidak hidup dari seremoni atau struktur, tetapi dari pribadi-pribadi yang berani turun ke dasar penderitaan dan menyalakan harapan di sana.

Santo Damianus adalah satu di antara mereka—dan semangatnya tetap menyala di setiap pelayan Gereja yang berani mencintai, sekalipun harus terluka.

“Mereka menyebutku kusta. Aku menyebut mereka saudara.”Santo Damianus dari Molokai (*)

Kontributor: Elia Gita Br Ginting, Mahasiswi Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura KAM.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.