Oleh Ani Paga
Katolikana.com—Di sebuah sudut kecil di Ruteng, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, berdiri sebuah rumah kayu yang nyaris lapuk dimakan usia. Dari balik dinding sederhana itu, terdengar suara lirih doa yang dipimpin dengan lantang oleh seorang bocah lelaki.
Usianya belum genap enam tahun, namun suaranya penuh keyakinan, seolah-olah ia sedang berdiri di altar suci, memimpin doa bagi seluruh keluarganya. Ia adalah Gregori Onli Mulyadi—seorang anak yatim yang kini menjadi “imam kecil” di keluarganya.
Gregori kehilangan ayahnya, Ely Mulyadi, pada Maret 2024. Sang ayah pergi lebih cepat akibat komplikasi diabetes yang tak tertangani.
Di tengah duka yang masih membekas, bocah mungil ini tidak hanya belajar menerima kenyataan pahit itu, tapi juga bangkit mengambil peran yang biasanya diemban oleh sosok ayah: memimpin doa harian bersama ibu dan adik perempuannya, Ghea, yang baru berusia dua tahun.

Doa dari Rumah yang Renta
Setiap pagi pukul enam, siang pukul dua belas, dan sore pukul enam, lantunan doa Angelus mengalun dari rumah kecil mereka. Bukan dari mulut seorang imam atau biarawati, tapi dari bocah berusia lima tahun sebelas bulan yang memegang Rosario dengan khusyuk.
Di belakangnya, sang ibu dan adik kecil ikut melafalkan doa dengan penuh iman. Momen ini telah menjadi rutinitas, sakral dan tak tergantikan.
Foyan Gambut, sang ibu, adalah sosok yang penuh keteguhan. Sejak kepergian suaminya, ia harus merangkap peran sebagai ibu dan ayah. Ia tahu benar bahwa iman adalah satu-satunya kekuatan yang tak bisa diambil oleh siapa pun, dan karena itulah ia menanamkannya sejak dini kepada kedua anaknya.
Ia mendampingi Gregori belajar membaca doa, mengenal Rosario, dan memahami waktu-waktu doa harian. Bahkan, meskipun Gregori belum mengenyam pendidikan formal, ia sudah belajar membaca, menulis, dan berhitung di bawah bimbingan ibunya.
“Dia sudah bisa hitung-hitungan kecil, jawab pertanyaan saya dengan benar,” ujar Ani Paga, jurnalis Katolikana yang sempat berkunjung ke rumah mereka.
“Tapi yang paling mengharukan adalah saat Gregori memimpin doa. Ada kekuatan yang mengalir dari suara kecilnya.”
View this post on Instagram
Membantu dan Belajar dari Hidup
Gregori dan Ghea bukan anak-anak yang hanya menunggu bantuan datang. Mereka aktif membantu sang ibu membersihkan lantai, mencuci alat makan, dan membereskan rumah.
Meski permainan khas anak-anak tak pernah absen dari hari-hari mereka, kedua bocah ini tumbuh dalam semangat kerja keras dan pelayanan yang tak diajarkan di sekolah manapun.
Foyan sendiri dulunya bekerja sebagai Sales Promotion Girl di sebuah toko busana di kota Ruteng. Namun, sejak ditinggal suami dan harus membesarkan dua anak tanpa bantuan siapa pun, ia memilih untuk berhenti bekerja.
Kini, ia bertahan hidup dengan menjual kue kecil-kecilan. Hasilnya tak menentu, namun ia percaya bahwa kasih Tuhan dan kebaikan sesama akan cukup untuk menopang hari esok.

Doa yang Membangkitkan Harapan
Cerita Gregori bukan hanya tentang seorang anak kecil yang memimpin doa. Ini adalah kisah tentang iman yang bertumbuh di tanah sederhana, tentang cinta seorang ibu yang tak menyerah, dan tentang harapan yang menolak mati bahkan ketika semua tampak rapuh.
Ketika banyak orang mencari Tuhan di tempat megah, Gregori menemukannya dalam ruang sempit rumah kayu mereka, dalam suara doa yang jujur, dan dalam pelukan ibunya yang hangat.
Hari ini mungkin mereka hidup dalam keterbatasan, tapi siapa yang tahu? Bisa jadi, suatu hari nanti Gregori akan memimpin misa sungguhan, tak lagi hanya dari ruang tengah rumah lapuk, tapi dari altar Gereja, membawa serta semua kenangan iman yang ia pupuk sejak kecil.
Dan untuk semua dari kita, Gregori telah memberi teladan: bahwa menjadi imam dalam keluarga bukan tentang usia atau gelar, melainkan tentang keberanian untuk percaya—dan terus berharap. (*)
Kontributor: Ani Paga, warga paroki St Yohanes Penginjil Blok B.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.