Dari Homo Consumerens ke Homo Spiritualis

Peran Iman Katolik dalam Membangun Budaya Moderasi

0 15
Hari Sucahyo

Oleh T.H. Hari Sucahyo

Katolikana.com—Di tengah hiruk-pikuk dunia yang dikuasai oleh semangat konsumtif, manusia perlahan kehilangan dirinya sendiri.

Orientasi hidup tak lagi berpijak pada pencarian makna, melainkan pada perburuan barang, layanan, dan citra.

Kita diseret masuk dalam arus deras budaya konsumen, di mana identitas bukan lagi dibentuk oleh nilai, tetapi oleh kepemilikan. Kita tidak lagi bertanya siapa diri kita, melainkan apa yang kita punya.

Dalam konteks ini, manusia direduksi menjadi homo consumerens, makhluk yang ada untuk membeli, memakai, dan membuang.

Yang lebih menyedihkan, budaya ini tidak hanya menguras isi dompet, tetapi juga mengikis relasi antarmanusia, merusak bumi, dan menumpulkan dimensi spiritual kita.

Potensi Penawar

Dalam kondisi inilah agama, khususnya tradisi Kristen dan Katolik, hadir sebagai potensi penawar.

Ia bukan hanya sekadar sistem kepercayaan yang berkutat pada ritus dan dogma, tetapi memiliki daya transformatif sosial yang sangat besar.

Spiritualitas Kristen sesungguhnya mengandung nilai-nilai luhur yang berseberangan dengan budaya konsumerisme. Ajaran tentang penguasaan diri, kesederhanaan, pengorbanan, serta solidaritas dengan yang lemah adalah fondasi kuat untuk membangun budaya konsumsi yang berkelanjutan.

Dalam bahasa Paus Fransiskus, iman tidak boleh menjadi “lampu kecil yang menyala untuk menghias,” melainkan harus menjadi terang yang menerangi dunia dan memulihkan arah hidup manusia.

Budaya konsumerisme telah melahirkan neofilia, ketergantungan akan hal-hal baru. Produk yang masih layak pakai tergantikan semata-mata karena model terbaru muncul. Dalam situasi ini, relasi antarpribadi juga ikut tercemari.

Manusia mulai memandang sesamanya seperti barang: dinilai dari kemasan, diganti jika tidak lagi memenuhi ekspektasi. Hubungan menjadi dangkal, ikatan sosial melemah, dan masyarakat kian teratomisasi.

Di tengah kebisingan iklan, hasrat manusia dibentuk, dipoles, dan diarahkan untuk menjadi mesin konsumsi yang tak kenal puas. Agama dalam hal ini kekristenan, mengajarkan sebaliknya.

Injil menawarkan narasi tandingan: manusia dipanggil bukan untuk mengumpulkan harta di bumi, tetapi untuk menjadi pribadi yang utuh, terbuka pada sesama dan semesta.

Kekristenan tidak anti kemajuan, tetapi menempatkan kemajuan dalam kerangka keutuhan martabat manusia.

Model Kemajuan Baru

Maka, dalam menghadapi budaya konsumtif, iman Kristen mengusulkan sebuah model kemajuan baru: sebuah paradigma yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga mempertimbangkan pertumbuhan spiritual, keseimbangan ekologis, dan keadilan sosial.

Dalam kerangka ini, pembangunan ekonomi tidak boleh merusak bumi, melukai relasi sosial, atau menumpuk kekayaan pada segelintir orang.

Model kemajuan baru ini mensyaratkan mentalitas persekutuan, sebuah kesadaran bahwa manusia tidak hidup sendiri.

Dalam teologi Kristen, manusia diciptakan dalam relasi: dengan Allah, sesama, dan ciptaan. Ketika relasi ini terputus, kerusakan ekologis dan sosial pun tak terelakkan.

Oleh karena itu, budaya moderasi bukanlah semata-mata pilihan gaya hidup, tetapi juga pemulihan relasi yang rusak akibat mentalitas individualistik dan eksploitatif.

Kesadaran akan persekutuan makhluk hidup membawa manusia untuk memperlakukan sesama dan lingkungan sebagai mitra, bukan sebagai objek pemuasan. Tak kalah penting, budaya moderasi menuntut gaya hidup baru.

Ini bukan semata-mata soal diet konsumsi, tetapi tentang kesadaran baru untuk hidup dengan penuh tanggung jawab baik secara intragenerasi (terhadap sesama sekarang) maupun antargenerasi (terhadap generasi mendatang).

Gaya hidup ini bukan hidup dalam kekurangan, melainkan dalam kecukupan. Bukan hidup dalam ketakutan akan kehilangan, tetapi dalam kebebasan sejati yang hanya mungkin jika kita tidak diperbudak oleh hasrat memiliki.

Spiritualitas Kristen sangat menekankan nilai askese, yaitu penguasaan diri untuk mencapai kebebasan batin. Dalam kerangka ini, pengendalian konsumsi bukan tindakan menyiksa diri, melainkan bentuk kebijaksanaan.

Sumber: churchtimes.co.uk

Kontribusi Konkret

Agama Kristen juga telah memberi kontribusi konkret dalam merespons budaya konsumsi berlebih. Salah satu contohnya adalah kebijakan pembatasan aktivitas belanja pada hari Minggu di Polandia sejak tahun 2018.

Langkah ini bukan semata persoalan logistik, tetapi memiliki dimensi spiritual dan sosial yang mendalam. Hari Minggu dikembalikan pada makna asalnya: hari untuk istirahat, relasi keluarga, peribadatan, dan kontemplasi.

Dalam konteks ini, agama menjadi kekuatan sosial yang mampu mengintervensi kebijakan publik demi membangun budaya moderasi. Ini menjadi bukti bahwa argumen religius dapat menjadi dasar yang kuat untuk transformasi budaya.

Sayangnya, dalam banyak konteks, agama justru ikut terseret dalam arus konsumerisme. Ibadah berubah menjadi pertunjukan, penginjilan disulap menjadi pemasaran, dan komunitas iman menjadi pasar rohani.

Maka, yang dibutuhkan bukan hanya pewartaan nilai-nilai antikonsumerisme, tetapi juga pertobatan dari dalam tubuh Gereja sendiri.

Gereja mesti berani menjadi tanda yang menggugat di tengah dunia: tidak sekadar ikut arus, tetapi menjadi suara kenabian yang menantang cara hidup yang tidak manusiawi.

Budaya konsumsi berlebihan bukan hanya masalah ekonomi atau lingkungan, tetapi juga masalah spiritual. Di sinilah letak urgensi peran agama.

Iman Kristen memanggil umatnya untuk kembali dari memiliki menuju menjadi, dari kerakusan menuju pengendalian diri, dari keterasingan menuju persekutuan.

Spiritualitas Kristen mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada jumlah barang yang dimiliki, tetapi pada kualitas relasi yang dibangun dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta.

Teladan Budaya Moderasi

Untuk itu, setiap komunitas kristiani, setiap paroki, dan setiap pribadi beriman dipanggil untuk menjadi teladan budaya moderasi.

Bukan dalam bentuk khotbah yang moralistik, tetapi dalam kesaksian hidup yang nyata: memilih untuk hidup secukupnya, menghindari pemborosan, berbagi dengan mereka yang kekurangan, dan merawat bumi sebagai rumah bersama.

Iman yang diwujudkan dalam tindakan konkret jauh lebih lantang daripada seribu kata-kata.

Di tengah dunia yang kian riuh oleh seruan konsumsi, suara iman yang mengajak pada kesederhanaan dan tanggung jawab menjadi seperti bisikan. Namun justru dalam keheningan itu, ia menjadi terang.

Budaya moderasi bukan utopia yang mustahil, melainkan sebuah keniscayaan jika kita mau berjalan bersama.

Agama, dengan seluruh khazanah nilai dan spiritualitasnya, berpotensi menjadi kekuatan utama dalam membentuk masa depan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. (*)

Penulis: T.H. Hari Sucahyo, umat Gereja Santo Athanasius Agung, Paroki Karangpanas Semarang

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.