
Labuan Bajo, Katolikana.com — Sebuah rekoleksi rohani yang sarat refleksi digelar di Aula Youth Center Paroki Katedral Roh Kudus Labuan Bajo, Jumat (25/7/2025).
Acara ini menjadi awal tahun ajaran baru bagi para guru dan tenaga kependidikan yang bernaung di bawah Yayasan Sukma Manggarai Barat (Yasukmabar) Keuskupan Labuan Bajo.
Mengangkat tema “Peran Guru dalam Evangelisasi Baru di Sekolah dan Beban Kota Super Premium,” kegiatan ini menghadirkan Romo Laurensius Sopang, Pr., pastor paroki sekaligus pengurus yayasan, sebagai pemimpin rekoleksi.
Acara ini juga melibatkan seluruh tenaga pendidik dari tiga unit sekolah Katolik: SDK Wae Medu, SMPK St. Ignatius Loyola, dan SMKS Stella Maris Labuan Bajo.

Guru sebagai Pewarta Injil di Era Digital
Dalam pemaparannya, Romo Laurens Sopang, Pr., menekankan pentingnya peran guru sebagai ujung tombak dalam gerakan evangelisasi baru di dunia pendidikan. Guru bukan sekadar pengajar, tetapi pewarta Kristus yang diutus untuk menyampaikan Injil melalui bahasa dan pendekatan yang dipahami generasi masa kini.
“Guru hari ini harus mampu menghubungkan iman dengan realitas hidup anak muda, mulai dari isu sosial hingga budaya populer. Pewartaan tidak lagi hanya lewat buku ajar atau ceramah, tapi lewat dialog, kesaksian hidup, serta pemanfaatan media digital,” tegas Romo Laurens.
Ia juga menggarisbawahi perlunya para guru menjadi pribadi yang memberi teladan dalam kasih, kerendahan hati, pelayanan, dan kegembiraan iman. Guru yang sabar dan empatik dapat menjadi jembatan bagi siswa yang tengah berjarak dengan Gereja.
“Evangelisasi baru membutuhkan guru-guru yang berani, inovatif, dan sungguh-sungguh hidup dalam Roh,” tambahnya.
Kota Super Premium dan Beban Moral
Labuan Bajo yang kini menyandang predikat sebagai kota destinasi super premium membawa banyak tantangan tersendiri.
Di satu sisi, infrastruktur terus berkembang, wajah kota menjadi semakin modern, dan pariwisata bertumbuh pesat. Namun, di balik kemajuan tersebut, Romo Laurens juga menyingkap sisi gelap yang mulai menyusup ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Ia mengingatkan tentang berbagai dampak negatif dari arus modernisasi: mulai dari krisis tata krama di kalangan anak muda, meningkatnya konsumtivisme dan gaya hidup pesta pora, hingga kasus-kasus moral seperti perselingkuhan, perceraian, dan eksploitasi anak perempuan di bawah umur.
“Banyak guru agama mengeluh karena anak-anak zaman sekarang susah diatur, tidak peduli, dan minim spiritualitas. Bahkan keteladanan dari guru pun mulai tergerus,” ujarnya dengan prihatin.
Kondisi tersebut, menurutnya, menuntut kerja keras bersama antar pendidik dalam membangun pendidikan yang menyentuh hati dan membangkitkan iman.
Guru harus menjadi model nyata dari nilai-nilai Kristiani yang diajarkannya—jujur, bertanggung jawab, bekerja keras, dan penuh kasih.

Rekoleksi untuk Menyegarkan Panggilan
Melalui rekoleksi ini, Yasukmabar ingin menghidupkan kembali semangat panggilan para guru sebagai pendamping rohani yang setia. Kegiatan rohani seperti ini menjadi sarana untuk memulihkan semangat, menjernihkan motivasi, dan mempererat persaudaraan antar pendidik.
“Kita semua harus dipenuhi Roh Tuhan agar bisa sungguh-sungguh mewartakan kabar baik. Maka diperlukan rekoleksi berkala, retret tahunan, dan persahabatan sejati di antara para guru,” ajak Romo Laurens.
Kegiatan ini menjadi pengingat bahwa evangelisasi bukan tugas khusus para imam atau biarawan-biarawati saja, tetapi juga misi utama para pendidik Katolik. Di tengah godaan zaman dan beban kota wisata premium, para guru tetap dipanggil untuk menyalakan cahaya Injil—mulai dari ruang kelas, hingga ke ruang hati murid-murid mereka. (*)

Penulis adalah kontributor Katolikana.com di Labuan Bajo.