#TanyaRomo: Anulasi Perkawinan Tidak Sama dengan Perceraian
Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan perceraian dan tidak pernah mendukung dan mengakuinya.

0 29

Katolikana.com—Ijin bertanya mengenai anulasi pernikahan. Saat ini saya memiliki hubungan dengan pria Katolik dengan status duda cerai hidup, status pernikahan di copy surat perkawinan gerejanya mixtas religionis, pasangan menikah secara Katolik pada 12 Juni 1998, resmi babtis menjadi Katolik pada 3 April 1999, tetapi resmi diputuskan bercerai secara sipil di 2007.

Sebelumnya sudah mendapatkan formulir untuk pengajuan anulasi, tetapi ternyata semua berkas kependudukan (KTP,KK,akte cerai, dll untuk pendukung pengajuan anulasi) tidak ada, jadi pengajuan anulasi tidak berlanjut, dan sempat bertemu dengan romo di paroki yang bersangkutan juga.

Saat ini kondisi mantan istri telah menikah sebanyak 2x dengan pria lain, baik menikah secara Kristen Protestan lalu kembali bercerai, dan saat ini masuk Islam dan menikah dengan pria muslim, tetapi pasangan saya belum menikah sama sekali, dan kami sudah bersama sejak 2 tahun setelah ybs bercerai.

Kondisi yang seperti ini apakah anulasi bisa didapatkan oleh pasangan saya sehingga saya dan pasangan bisa menikah secara katolik ya?

Terima kasih atas bantuan jawabannya.

Berkat Dalem

Dari Emanuella

Pastor Postinus Gulö, OSC:

Ibu Emanuella yang diberkati Tuhan, terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam email susulan, Anda mengatakan bahwa Anda menganut agama Katolik. Namun, sangat disayangkan bahwa tidak ada informasi apapun mengenai apa sebenarnya agama calon Anda itu sebelum dia menikah dengan (mantan) istrinya yang sudah cerai dengannya itu.

Tidak ada informasi juga apakah calon pasangan Anda itu sudah dikaruniai anak dengan mantan istrinya atau tidak punya anak dengannya. Dalam memberi tanggapan dalam terang Hukum Gereja, sangat menentukan “agama orang-orang yang sedang punya masalah perkawinan”.

Sebagai umat Katolik mesti mengetahui dan sadar bahwa Gereja Katolik tidak pernah mengajarkan perceraian dan tidak pernah mendukung dan mengakuinya.

Maka, sebelum melangsungkan perkawinan, umat Katolik perlu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam waktu yang memadai.

Ingatlah janji perkawinan Katolik yang kudus itu: “Di hadapan Allah, imam dan para saksi, saya (nama mempelai), memilih engkau (nama mempelai) untuk menjadi istri (suami) saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, saat sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormatimu seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Suci ini”.

Janji perkawinan ini terinspirasi dari Sabda Yesus dalam Injil Matius 19: 5-6 dan Injil Markus 10: 7-9. Melalui janji ini, pasutri hendak mengatakan bahwa mereka akan setia dalam ikatan perkawinan dalam kondisi dan situasi apapun. Benarkah?

Bagaimana jika ternyata pasangan tidak sempurna yang dibayangkan? Bagaimana jika pasangan jatuh dalam dosa perselingkuhan, apakah tetap dibuka pintu pengampunan baginya? Bagaimana jika pasangan tidak mampu menafkahi secara ekonomi karena kehilangan pekerjaan? Apakah hanya menuntut pasangan lebih baik, dan Anda tidak mau menyesuaikan diri? Bagaimana jika ternyata ada kakarter pasangan yang tidak Anda sukai?

Apa itu Mixta Religio?

Ada yang perlu diselidiki dari kisah di atas, yakni dalam surat perkawinan calon pasangan Anda itu ternyata ia melangsungkan perkawinan “mixta religio” pada tahun 1998. Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 1124, yang disbeut “mixta religio” adalah  perkawinan campur beda Gereja antara seorang Katolik dengan seorang Protestan.

Namun, kemudian ia menjadi Katolik dan dibaptis Katolik (tahun 1999). Ini menarik. Sebab, umumnya umat Protestan yang mau menjadi Katolik, jika baptisan yang pernah ia terima di Protestan itu diakui sah oleh Katolik, ia tidak perlu dibaptis ulang.

Ia diterima secara resmi ke dalam Gereja Katolik setelah ia mengikuti masa katekumenat (masa belajar Katolik) selama 1 tahun. Jika baptis yang diterima di Protestan itu tidak diakui sah oleh Gereja Katolik, barulah ia wajib dibaptis secara Katolik setelah mengikuti dan dinyatakan lulus katekumen.

Oleh karena itu, silakan mengetahui dengan benar latar belakang “denominasi” calon pasangan itu sebelum ia menjadi Katolik. Telusuri apakah dalam kepercayaan sebelumnya tidak justru memperbolehkan perceraian.

Selidiki juga bagaimana “hidup imannya”, dan bagaimana pemahamannya mengenai ajaran Katolik. Mengenal calon pasangan dengan baik, benar dan bijaksana tentu sangat membantu Anda untuk memutuskan secara dewasa ke jenjang perkawinan.

Apa itu Anulasi?

Sekali lagi ditegaskan bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan dan tidak mendukung perceraian. Orang Katolik yang melakukan perceraian tentu melanggar Sabda Tuhan sendiri (bdk. Matius 19: 5-6; Mrk 10: 7-9; Maleakhi 2: 16) dan juga ajaran resmi Gereja, terutama bertentangan dengan hukum moral kodrat.

Hal itu ditegaskan di dalam Katekismus Gereja Katolik no. 2384: “Perceraian adalah satu pelanggaran berat terhadap hukum moral kodrat  […] Ia beranggapan dapat memutuskan perjanjian untuk hidup bersama sampai mati, yang telah dibuat dengan sukarela antara suami-isteri. Perceraian menghina perjanjian keselamatan, yang tandanya adalah perkawinan sakramental. Pihak suami atau isteri, yang menikah lagi, berada dalam perzinaan yang tetap dan publik”.

Umat Katolik mesti setia menaati kebenaran yang bersumber dari Kitab Suci dan ajaran resmi Gereja, seperti dalam Katekismus Gereja Katolik tersebut (bdk. kanon 750).

Namun, dalam Gereja Katolik ada ajaran mengenai “anulasi”. Tentu, kita mesti paham betul apa itu anulasi. Jangan sampai disamakan perceraian dengan anulasi. Anulasi perkawinan adalah pembatalan perkawinan yang sejak semula tidak sah (void ab initio). Artinya, sebelum melangsungkan perkawinan, ada hal-hal yang membuat perkawinan tidak sah. Penyebab perkawinan tidak sah, ada tiga kategori:

Pertama, terkena salah satu halangan perkawinan. Halangan perkawinan ada puluhan, antara lain: kurang usia, impotensi (tidak bisa melakukan persetubuhan), beda agama,  hubungan darah/perkawinan incest, ikatan terdahulu, hubungan adopsi, hubungan semenda, dll.

Kedua, cacat kesepakatan perkawinan, antara lain: penipuan, pura-pura menikah, ketakutan, terpaksa, tertipu, pembunuhan, gila, idiot, cacat dalam diskresi, punya masalah psikologis yang berat, keliru mengenai kulitas orang, keliru mengenai diri orang, dll.

Ketiga, cacat bentuk perayaan perkawinan secara kanonik (forma canonica). Misalnya melangsungkan perkawinan tidak secara Katolik, menikah di KUA, menikah di luar Gereja Katolik, menikah di hadapan satu orang saksi saja, dll.

Jadi, kalau melihat kisah Anda di atas, kita belum menemukan secara terang benderang dasar anulasi dari calon pasangan Anda tersebut.

Lalu apa yang mesti dilakukan? Calon pasangan Anda itu perlu datang ke Pastor Paroki. Ia ceritakan semua yang ia alami dengan mantan istrinya. Yang ia kisahkan terutama:

  1. Masa perkenalan: siapa yang memulai berkenalan, di mana, berapa lama, apa kesan pertama, bagaimana karakter masing-masing, apakah muncul kecurigaan tertentu, apakah muncul konflik, konfliknya apa, apakah diselesaikan konflik, siapa yang menyelesaikan, dst. Ini membantu kita menemukan apakah sebelum menikah ada hal-hal yang membuat perkawinan memang tidak sah.
  2. Masa pacaran: siapa yang berinisiatif berpacaran, berapa lama pacaran, apa yang sudah dilakukan, apakah muncul konflik, siapa yang memulai konflik, apakah konfliknya sama dengan konflik masa perkenalan, apakah sudah pernah berpikir mau putus saja, bagaimana tanggapan orangtua, bagaimana karakter masing-masing. Bagian ini mesti dikisahkan secara detail. Sebab, sangat membantu melihat “caput nullitatis matrimonii” (pokok perkara anulasi perkawinan).
  3. Menjelang perkawinan dan saat menikah: siapa yang lebih dominan memutuskan menikah, apakah ada persiapan memadai, adakah Kursus Persiapan Perkawinan, apakah muncul konflik, ada yang aneh, apakah di saat ini masih merasa ragu untuk menikahinya, bagaimana dukungan orangtua, apa komentar orang-orang dekat, dst. Mohon dikisahkan juga saat menikah: bagaimana perasaannya, apakah sadar ketika menyampaikan janji perkawinan, apakah ada peristiwa atau perasaan yang aneh, dst.
  4. Setelah perkawinan: di mana Anda tinggal, berapa bulan/tahun muncul konflik, apakah konfliknya itu masih sama dengan konflik pada masa pacaran, apakah dicari solusi atas konflik, apakah ada masalah dalam hal hubungan suami-istri, apakah orangtua atau mertua dominan mencampuri urusan rumah tangga Anda, dst.

Apakah dokumen seperti KTP, KK, Akte Cerai Sipil diperlukan dalam proses anulasi?

Dokumen-dokumen ini menjadi dokumen pendukung. Maka perlu diusahakan. Yang dibutuhkan hanya fotokopi, tidak perlu yang asli dari dokumen-dokumen ini.  

Dokumen yang sangat perlu adalah libellus atau surat gugat dari calon pasangan itu. Isinya seputar permohonan kepada hakim Tribunal Keuskupan untuk menyatakan anulasi atas perkawinan yang telah dilakukan.

Dalam libellus ini, mesti dikisahkan seperti yang sudah saya paparkan secara detail di atas seputar masa perkenalan, masa pacaran, menjelang perkawinan dan saat menikah, serta setelah perkawinan. Dokumen lain yang sangat perlu, antara lain: surat pengantar Pastor Paroki, Surat Perkawinan Katolik, Surat Baptis (minimal 6 bulan terakhir), dan fotokopi Akta Perkawinan Sipil.

Apakah anulasi bisa diterapkan untuk semua kasus perkawinan?

Tentu tidak! Jika diamati sungguh paparan di atas, maka anulasi hanya dapat diterapkan pada perkawinan yang “sejak semula tidak sah”. Jadi, kalau perkawinan itu sah, tentu tidak bisa dianulasi atau tidak bisa dibatalkan. Sebab, sekali perkawinan dilangsungkan secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, hanya kematian yang memisahkan (bdk. kanon 1141).

Sebenarnya, jika suatu perkawinan tidak sah, maka solusi utamanya adalah “perlu disahkan”. Hanya ketika perkawinan itu tidak bisa disahkan atau perkawinan tidak dapat diperbaiki atau kehidupan bersama tidak mungkin dipulihkan (bdk. kanon 1675), baru terbuka pada solusi anulasi perkawinan.  

Dari kasus ini, mantan istri calon pasangan Anda sudah dua kali menikah setelah bercerai dengan calon pasangan Anda. Artinya, ia telah 3 kali melangsungkan perkawinan. Ini bisa menjadi indikasi kuat bahwa mantan istrinya tidak bisa setia dengan seorang pria. Kemungkinan ia punya masalah dalam hal “cacat kesepakatan perkawinan”. Ini bisa menjadi “pintu” bagi proses anulasi perkawinan.

Calon pasangan Anda ini mesti datang lagi ke Pastor Paroki. Ia juga perlu menyerahkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Jika calon pasangan Anda cukup kooperatif, kemungkinan bisa diberi solusi, salah satunya, terkait anulasi perkawinan. Jika permohonan anulasi dikabulkan oleh hakim Tribunal Keuskupan, maka kalian berdua bisa melangsungkan perkawinan di dalam Gereja Katolik.

Demikian tanggapan saya, semoga membantu. Tuhan memberkati.

Roma, 8 September 2025

Pst. Postinus Gulö, OSC


Anda punya pertanyaan pribadi untuk ditanyakan kepada Romo? Kirimkan pertanyaan Anda melalui e-mail redaksi@katolikana.com dengan subjek “Tanya Romo”.

Leave A Reply

Your email address will not be published.