Negeri Religius, Integritas Kuntet
Panggilan Teologi Pembebasan Kontekstual di Indonesia

0 16
Susy Haryawan

Oleh Susy Haryawan

Katolikana.com—Dekade 1960-an, Teologi Pembebasan (TP) marak di Amerika Latin, lahir dari kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mencekik.

Di Indonesia, pada masa Orde Baru yang militeristik, para teolog juga berjuang menemukan ungkapan iman yang kontekstual terhadap cengkeraman kekuasaan.

Itulah hakikat Teologi Kontekstual: iman yang menjawab kecemasan dan keprihatinan spesifik pada zaman dan tempatnya.

Sesuai spirit Gaudium et Spes yang menegaskan bahwa kegembiraan dan kecemasan negara adalah kegembiraan dan kecemasan Gereja, lalu, apa keprihatinan mendalam Gereja di Indonesia saat ini?

Krisis identitas, krisis moral, integritas yang minim, dan kemampuan dasar sebagai manusia yang memprihatinkan. Ketika rata-rata intelektual bangsa berada di angka 78—di bawah standar manusia normal—kita dihadapkan pada kenyataan pahit tentang kemiskinan karakter.

Paradoks terbesar Indonesia hari ini adalah: Ingar-bingar ibadah, identitas agamis kencang, rumah ibadah setiap RT ada, tetapi korupsi merajalela, peringkat tinggi dunia. Sungai menjadi tong sampah terbesar dan terpanjang sedunia. Apakah ini gambaran orang beragama yang mendalam?

Gustavo Gutiérrez Merino–Bapak Teologi Pembebasan–adalah teolog Katolik yang pertama kali mengusung konsep “preferential option for the poor”. Foto: christianitytoday.com

Kemiskinan Bukan Lagi Ekonomi, Tapi Karakter

Dalam konteks kekinian, Teologi Pembebasan perlu menggeser fokusnya. Jika dahulu TP sangat berjuang melawan kemiskinan ekonomi struktural, kini tantangannya berbeda.

Kemiskinan dalam konteks ekonomi—meski masih jauh dari harapan—sudah mulai teratasi. Rakyat semakin mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang, bahkan papan; tidak banyak lagi yang hidup di bawah kolong jembatan seperti tiga atau empat dekade lalu.

Namun, kemiskinan yang sebenarnya mencengkeram adalah kemiskinan integritas.

Stunting integritas ini merasuk semua lini: dari suap-menyuap, menduduki jabatan tanpa kapasitas karena uang dan koneksi, hingga skandal keuangan dan arogansi yang tak terhindarkan dalam hidup Menggereja, bahkan melibatkan kaum tertahbis.

Orang Katolik, yang semestinya menjadi garam dan terang, tidak sedikit yang berperilaku sama. Koruptor kelas kakap menggunakan nama baptis di depan namanya, tanpa menjamin integritas sesuai tuntutan Injil.

Suara kenabian, yang seharusnya menjadi pedoman, seringkali lemah, teredam oleh rasa takut, jerih, dan khawatir hidupnya terancam. Di manakah keberanian Yohanes Pembaptis yang berani menegur Herodes?

Ketika Kardinal Ignasius Suharyo menyatakan Gereja tidak membutuhkan konsesi tambang, tetapi jaminan kebebasan beragama, kita melihat ironi.

Bagaimana bisa bebas, ketika ibadah dibubarkan, pembangunan tempat ibadat dihambat, dan pejabat kita—meski banyak orang Katolik di dalamnya—terkadang abai, memilih diam di tengah pembodohan massif.

Panggilan Teologi Pembebasan Kekinian

Teologi Pembebasan masa kini harus hadir di tengah masyarakat dengan menumbuhkan sikap kritis dan melawan irasionalitas yang berbungkus religiusitas.

Dogma iman haruslah menghidupkan, penuh harapan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan di atas segalanya, mengalahkan ketamakan dan kekerasan atas nama agama.

Ini dapat dicapai hanya jika kita mengutamakan pendidikan bermutu yang membangkitkan akal sehat dan moral.

Pengaruh Sekolah Katolik mungkin meluntur, tetapi pengaruh cara hidup semua orang Katolik harus tetap kuat. Menjadi garam dan terang bukan melalui khotbah di mimbar, melainkan melalui perilaku sederhana namun nyata:

  1. Disiplin: Tepat waktu di kantor, di pertemuan, di manapun, memberikan dampak profesional yang berbeda.
  2. Etika Lingkungan (Laudato Si): Menjaga kebersihan, membuang sampah dengan tertib, mengurangi sampah makanan dan plastik—melawan arus utama masyarakat yang acuh tak acuh.
  3. Integritas dalam Jabatan: Bagi pejabat, tantangannya berat. Tidak perlu menentang arus secara konyol, namun jangan pula ikut arus. Jadilah pembeda dengan cara sederhana: tidak mempersulit orang, tidak korupsi (minimal korupsi waktu), bekerja keras, profesional, dan penuh dedikasi.

Teologi sejati tidak hanya berada di mimbar atau ruang kelas kampus. Teologi berada di tengah masyarakat, menggarami dengan pas, menjadi terang yang nyata di manapun kita berada.

Panggilan kenabian saat ini adalah melawan kemiskinan karakter dan integritas, serta membangkitkan akal sehat di negeri yang terlampau religius namun irasional dan korup. (*)

Penulis: Susy Haryawan, bukan siapa-siapa.

Leave A Reply

Your email address will not be published.