Kebaya Menari di KBRI Takhta Suci: Pengejawantahan Bhineka Tunggal Ika

0 20

Roma, Katolikana.com — KBRI Takhta Suci menggelar pentas budaya bekerja sama dengan Komunitas Kebaya Menari, di aula KBRI Takhta Suci, Roma, Sabtu (24/10/2025).

Pentas Budaya ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan ulang tahun ke-75 Hubungan Diplomatik Republik Indonesia dan Takhta Suci.

Pengejawantahan Bhineka Tunggal Ika
Menteri Agama Nassarudin Umar yang hadir dalam Pentas Budaya itu mengungkapkan bahwa apa yang ditampilkan Komunitas Kebaya Menari mencerminkan semangat kemanusian dan keragaman budaya dan agama Indonesia.

“Pentas budaya Ini merupakan pengejawantahan dari motto bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika,” kata Nasaruddin Umar.

Sebelumnya, Duta Besar LBBP RI untuk Takhta Suci, Michael Trias Kuncahyono mengatakan sangat mengapresiasi Komunitas Kebaya Menari yang merupakan komunitas perempuan interfaith. “Ini mencerminkan realitas Indonesia yang beragam agama,” katanya.

Kebaya simbol identitas kultural
Komunitas Kebaya memiliki misi mempopulerkan pemakaian kebaya ke masyarakat dengan menggunakan tari sebagai medium. Kata Trias, kebaya adalah simbol identitas kultural yang powerful.

Tari Legong Bapang Durga tampil dalam Pentas Budaya Kebaya Menari di KBRI Takhta Suci, Roma (Foto KBRI Takhta Suci Roma)

Selain Menteri Agama Nasaruddin Umar, hadir pula sejumlah duta besar (antara lain Jepang, Lithuania, dan Angola) diplomat, pejabat Vatikan, anggota IRRIKA (Ikatan Rohaniwan-Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi–Roma), diaspora Indonesia, hadir menyaksikan dan menikmati berbagai tarian dari beberapa wilayah Indonesia, dan fashion shows kebaya.

Para tamu undangan dan penonton juga disuguhi makanan Indonesia: rawon, mi goreng, tempe goreng, martabak, dan sebagainya.

Misa Syukur di Basilika St. Petrus Vatikan
Ulang tahun hubungan diplomatik ini sebelumnya sudah diperingati dengan Misa Syukur di Basilika St. Petrus, Vatikan dengan selebran utama Secretary of State Kardinal Pietro Parolin didampingi lebih dari 50 pastor Indonesia.

Sebelumnya, sebanyak 200 warga Indonesia di Roma–Keluarga Besar KBRI Takhta Suci, IRRIKA dan Rehat– beraudiensi khusus dengan Paus Leo XIV. Audiensi diselenggarakan di Sala Clemente (Aula Klementina), Istana Kepausan.

Selain pentas budaya dan Misa, masih ada beberapa kegiatan untuk memperingati ulang tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Takhta Suci, hingga akhir tahun ini.

Kegiatan itu antara lain peluncuran perangko Indonesia-Vatikan dan pentas budaya seni angklung.

Kebaya Menari
Komunitas Kebaya Menari dipimpin Yanti Muljono. Kelompok pegiat budaya dan penari tradisional ini berhasrat untuk menyiarkan, menyosialisasikan, dan mengedukasi pemakaian kebaya kepada masyarakat luas.

Mereka menggunakan tarian sebagai media untuk mengedukasi masyarakat luas–kaum ibu dan kaum muda puteri–tertarik mengenakan kebaya; berbusana kebaya.

Kebaya yang hadir dari masa lalu dan lestari hingga masa kini, bukan sekadar pakaian. Melainkan simbol dari nilai-nilai kehidupan dan identitas budaya.

Sebab, kebaya memiliki nilai-nilai luhur yang melekat di dalamnya. Selain itu, kebaya dimaknai sebagai kesederhanaan, kesabaran, keanggunan, dan penghormatan pada budaya.

Melestarikan kebaya
Untuk melestarikan kebaya sebagai pakaian nasional, pemerintah menetapkan 24 Juli sebagai Hari Kebaya Nasional. 

 

Para penari Tari Zatin (Sumatera) berfoto usai menampilkan tarian Pentas Budaya Kebaya Menari di KBRI Takhta Suci, Roma (Foto KBRI Takhta Suci Roma)

Komunitas Kebaya Menari memilih tarian sebagai media edukasi. Dengan tarian, edukasi lebih hidup dan menarik. Sehingga masyarakat awam lebih tertarik untuk mengenal kebaya lebih jauh.

Pada akhirnya, jatuh hati pada kebaya, serta mengenakannya tidak seperti dahulu hanya dalam acara-acara resmi saja, seperti perkawinan atau wisuda, tapi juga dalam keseharian, semisal ke kantor.

Tarian sebagai Media
Tarian yang dipentaskan di KBRI Takhta Suci, antara lain tari Legong Bapang Durga (Bali), representasi agama Hindu.

Dalam sejumlah tulisan, Tari Legong Bapang Durga, disebut sebagai tari klasik. Tarian ini pada tahun 1933 ditarikan oleh Ni Ketut Polok, seorang penari legendaris palegongan dari Kelandis, Denpasar yang menikah dengan Le Mayeur–seorang pelukis dari Belgia.

Tarian ini, sarat makna. Antara lain, menggambarkan karakter ketegasan dan ketangkasan dari gerak legong yang tersirat dalam bentuk bapang.

Kata “Durga” bagi masyarakat Hindu, mengacu pada nama istri Dewa Siwa.

Durga juga dikenal dengan nama Uma atau Parwati. Durga adalah ibu dunia; yang bertugas melindungi manusia dari kesulitan yang ditimbulkan oleh serangan musuh atau orang jahat.

Dewi Durga disebut sebagai ibu alam semesta. Sebab, ia merupakan perwujudan dari kasih sayang serta kelembutan.

Sarat makna
Di berbagai kebudayaan, Durga digambarkan memiliki beraneka wujud dan rupa. Di India, misalnya, ia biasanya digambarkan sebagai wanita cantik berkulit kuning yang menunggangi seekor harimau.

Durga digambarkan memiliki banyak tangan yang memegang senjata berbeda, hadiah dari para dewa.

Tarian Legong Bapang Durga sarat makna, ditarikan dengan begitu atraktif–gerak kaki, tangan, jemari hingga sudut mata–sangat membuat penonton kagum. Tarian ini, menyampaikan nilai-nilai budaya, nilai-nilai kehidupan, dan mitologi yang juga mengandung sarat makna.

Tarian Jawa bagian dari Pentas Budaya Kebaya Menari di KBRI Takhta Suci, Roma (Foto KBRI Takhta Suci Roma)

Tari Bedhaya Ketawang tari kebesaran

Selain tari Legong Bapang Durga, ditampilkan juga tari Bedhaya Ura-ura (Jawa), representasi agama Katolik, dan Tari Zatin (Sumatera) representasi agama Islam. Tari Bedhaya pada awalnya difungsikan untuk sebuah pertunjukan atau ritual.

Tari Bedhaya Ketawang, misalnya, merupakan jenis tarian kebesaran yang memiliki nilai kesakralan tinggi dan hanya dipentaskan dalam momen-momen istimewa seperti penobatan serta peringatan naik takhta raja di lingkungan Kesunanan Surakarta. 

Hadirkan suasana meditatif
Tari Bedhaya Ketawang memiliki tempat khusus di hati masyarakat maupun keluarga keraton karena dianggap suci dan sarat makna spiritual.
Asal mula tarian ini berkaitan dengan pengalaman spiritual Sultan Agung saat menjabat sebagai penguasa Kesultanan Mataram pada tahun 1613 hingga 1645. 

Namun, di era kontemporer seperti saat ini, bedhaya sudah tidak lagi selalu dikaitkan dengan prosesi ritual melainkan hiburan dalam sebuah pertunjukan.

Meskipun ditarikan secara gemulai oleh tujuh perempuan penari, tetapi suasana meditatif masih sangat terasa, karena iringan gamelan minimal. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.