Katolikana.com—Bayangkan seorang uskup di abad ke-19 yang tak betah duduk manis di takhta katedralnya. Alih-alih nyaman dengan jubah kemegahan, ia justru sibuk menjual perhiasan gereja, bahkan kuda tunggangannya, demi membeli makanan untuk ribuan rakyat yang kelaparan.
Sosok itu adalah Giovanni Battista Scalabrini atau yang lebih kita kenal sebagai Santo Yohanes Pembaptis Scalabrini.
Lahir pada 8 Juli 1839 di Fino Mornasco, sebuah kota kecil di dekat Como, Italia Utara, Scalabrini adalah anak ketiga dari pasangan Luigi Scalabrini dan Colomba Trompeta. Sejak kecil, cita-citanya tak pernah goyah: ia hanya ingin menjadi imam.
Pada musim gugur 1857, di usia 18 tahun, ia melangkah mantap masuk seminari. Kecintaannya pada Ekaristi, Salib, dan devosi kepada Bunda Maria menjadi bahan bakarnya. Hingga akhirnya, pada 30 Mei 1863, ia ditahbiskan. Kariernya melesat, dari rektor seminari hingga menjadi Uskup Piacenza pada usia yang terbilang muda, 36 tahun, atas penunjukan Paus Pius IX.
Namun, bukan jabatannya yang membuatnya dikenang dunia, melainkan hatinya yang tak pernah berhenti berdetak untuk mereka yang tersingkir.

Uskup yang “Bangkrut” demi Rakyat
Scalabrini adalah antitesis dari pemimpin yang berjarak. Ia berjanji untuk selalu dekat dengan umat, tak mau jadi uskup yang “tak tersentuh”. Janji itu diuji ketika krisis ekonomi menghantam Italia pada 1879. Gagal panen meluas, ribuan buruh pabrik dan pengrajin kehilangan pekerjaan. Kemiskinan dan kelaparan merajalela.
Tak tega melihat umatnya menderita, Scalabrini melakukan tindakan radikal. Ia menjual apa saja yang bisa dijual: kuda-kuda, pakaian kebesaran, permata, hingga piala gereja. Hasilnya? Dapur umum yang didanainya sendiri mampu memberi makan seribu hingga tiga ribu orang setiap hari!
Uang habis, makanan ludes. Namun, kedermawanan Scalabrini tak pernah surut. Ia tak hanya membantu umat di Piacenza, tapi juga melebar hingga ke Como dan kampung halamannya. Baginya, harta gereja yang sesungguhnya adalah umat yang hidup bermartabat.
Menangis Bersama Para Migran
Krisis ekonomi memaksa jutaan penduduk Italia melakukan eksodus besar-besaran. Tujuan mereka: Amerika Serikat, “Tanah Terjanji” yang konon menawarkan susu dan madu. Mereka bermimpi tentang upah layak dan masa depan cerah bagi anak-anak.
Namun, realitas berkata lain. Perjalanan laut menuju Amerika adalah neraka. Berdesakan di dek yang pengap, kotor, dan berpenyakit. Tak ada privasi, makanan dijatah, dan jika ada yang meninggal, jenazahnya hanya dibungkus kardus lalu dilarung ke laut.
Sesampainya di Amerika, mimpi indah itu seringkali hancur. Bukannya kaya, mereka malah menghadapi diskriminasi, eksploitasi, dan kerja paksa. Para petani dan buruh Italia dipaksa bekerja 12 jam sehari di tambang atau rel kereta api dengan upah minim. Mereka menjadi korban sistem percaloan (padron) yang kejam.
Melihat penderitaan ini, hati Scalabrini hancur. Ia menyadari bahwa fenomena migrasi ini bukan masalah sesaat, melainkan tantangan zaman yang akan terus berlanjut.
Mendirikan “Pasukan Khusus” untuk Migran
Scalabrini tak tinggal diam. Ia menghadap Paus Leo XIII, meminta izin mendirikan sebuah kongregasi religius khusus. Misinya jelas: menemani, melindungi, dan melayani para migran, pengungsi, dan pelaut.
Pada 28 November 1887, lahirlah Kongregasi Misionaris St. Carolus Boromeus (Scalabrinian). Mottonya sederhana namun mendalam: “Humilitas” (Kerendahan Hati).
Visi Scalabrini sangat modern untuk zamannya. Ia tak ingin para migran kehilangan akar budaya, bahasa, dan iman mereka. Ia menolak asimilasi paksa. Baginya, martabat manusia dan kekayaan tradisi harus dijaga.
Ia ingin para imamnya hadir di setiap titik perjalanan migran yang berbahaya. Ia ingin imamnya ada di pelabuhan Genoa atau Naples, melindungi para petani lugu dari agen penipu. Ia ingin imamnya ikut berlayar di geladak kapal yang pengap, menjadi teman seperjalanan, dan memberkati mereka yang wafat di tengah samudra.
Dan ketika para migran tiba di tanah asing, Scalabrini ingin ada imam yang menyambut mereka dengan bahasa ibu mereka, melindungi mereka dari bos-bos jahat, dan memastikan mereka mendapat pekerjaan yang manusiawi.
Warisan Abadi Sang Bapa Migran
Scalabrini wafat pada 1 Juni 1905, namun visinya hidup melampaui zamannya. Pada 9 Oktober 2022, Paus Fransiskus mengkanonisasinya sebagai Santo, secara resmi memberinya gelar Pelindung Para Migran.
Kini, para Misionaris Scalabrinian—imam, bruder, suster, dan awam—tersebar di seluruh dunia. Di pelabuhan, di perbatasan negara, di kamp pengungsian, hingga di kota-kota besar, mereka hadir membawa semangat St. John Baptist Scalabrini: menjadi rumah bagi mereka yang jauh dari rumah.
Bagi kita di zaman ini, kisah Scalabrini adalah pengingat bahwa kesucian tak harus dicari di keheningan biara semata. Kesucian bisa ditemukan di pelabuhan yang riuh, di wajah lelah para pengungsi, dan dalam keberanian untuk “bangkrut” demi memanusiakan sesama. (*)
Kontributor: Wilfridus Fon, Calon Imam Misionaris St. Carolus-Scalabrinian, Mahasiswa IFTK Ledalero, Flores
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.