Santa Claus Palsu versus “Advent Angel”

0 21

Oleh Febry Silaban

Katolikana.com—Dengan napas tertahan, seorang ayah miskin memandang putri-putrinya yang tertidur. Hati hancur, pilihan terakhir yang mengerikan menghantui pikirannya: menjual mereka ke pelacuran. Esok hari, saat fajar menyingsing, hidup mereka akan berubah selamanya.

Namun, di tengah malam yang pekat, sesuatu ajaib terjadi. Tanpa suara, tanpa pengumuman, sebuah kantong emas mendarat di lantai rumah mereka. Kantong itu terlempar melalui jendela, jatuh ke dalam kaus kaki yang digantung dekat perapian untuk mengering. Sebuah anugerah yang menyelamatkan. Satu kantong untuk sang putri tertua, memberinya masa depan.

Keesokan malamnya, kantong kedua muncul. Pada malam ketiga, sang ayah yang penasaran berjaga. Ternyata dia menyaksikan sosok yang kemudian dikenal dunia sebagai Santo Nikolas (atau Nikolaus) dari Myra, seorang uskup yang diam-diam menjadi malaikat pelindung bagi keluarga yang putus asa.

Dari kisah inilah, dari cerobong asap dan kaus kaki, benih ide “pemberi hadiah rahasia” pertama kali bersemi. Tapi benih itu, setelah berabad-abad, telah tumbuh menjadi pohon raksasa yang sama sekali tak dikenali oleh sang Uskup itu sendiri: Santa Claus versi mall, iklan minuman bersoda, dan film Hollywood. Siapa sebenarnya yang kita rayakan?

Dari Altar ke Pasar

Santo Nikolas bukanlah dongeng. Ia adalah sosok sejarah, Uskup dari Myra (sekarang Demre, Turki) pada abad ke-4, yang dihormati Gereja (Katolik) setiap tanggal 6 Desember. Bahkan, ia hadir di Konsili Nicea, pertemuan yang melahirkan Kredo Nicea yang masih kita daraskan setiap hari Minggu dalam ibadah.Nama “Nikolas” berasal dari bahasa Yunani: nike (kemenangan) dan laos (rakyat). “Nikolas” adalah “kemenangan rakyat”.

Ia adalah pelindung anak-anak, pelaut, dan orang yang tertindas—bukan karena ia terbang dengan rusa, tetapi karena ia dengan berani membela orang tak bersalah di pengadilan dan membagikan kekayaannya yang besar kepada kaum miskin. Spiritualitasnya adalah spiritualitas kasih yang nyata dan berani, bukan sekadar senyum genit di tengah mainan plastik.

Lalu, bagaimana wajahnya yang keras sebagai seorang gembala umat berubah menjadi pipi tembam dan perut buncit Santa Claus? Jalurnya berliku, dimulai dari Eropa. Di Belanda, ia dipanggil Sinterklaas (kependekan dari Sint-Nicolaas).

Setiap awal Desember, ia “tiba” dengan kapal dari Spanyol, sebuah referensi pada masa kekuasaan Moorish di Spanyol dan relikui Santo Nikolas yang dibawa ke Italia—dengan jubah uskup merah, tongkat gembala, dan topi mitra. Ia adalah figur religius yang serius, didampingi Zwarte Piet, asistennya.

Imigran Belanda membawa Sinterklaas mereka ke dunia baru, ke koloni bernama New Amsterdam (kini menjadi New York). Di sinilah transformasi kunci terjadi. Telinga orang Inggris mendengar “Sinterklaas” sebagai “Santa Claus.” Kata “Santa” adalah kecelakaan linguistik; ia berasal dari “Sinter” (Santo) dalam bahasa Belanda, bukan dari gelar feminin “Santa” dalam bahasa Italia atau Latin.

Dalam melting pot Amerika yang sekuler, sosok uskup ini perlahan dicabut dari konteks religiusnya. Ia kehilangan tongkat gembala, mitra, dan kapal. Jubah uskupnya tetap merah, tetapi sekarang lebih mirip baju tidur. Namanya mulai diasosiasikan dengan Natal (25 Desember), bukan lagi pesta peringatan Santo Nikolas (6 Desember) dalam kalender liturgi Katolik.

Pukulan terakhir yang membentuknya menjadi ikon global datang dari puisi dan pemasaran. Pada 1823, puisi “A Visit from St. Nicholas” (lebih dikenal sebagai “Twas the Night Before Christmas”) memberikan detail rusa bernama, kereta luncur yang terbang, dan sosok “gemuk dan ceria”.

Pada 1930-an, kampanye iklan Coca-Cola mempopulerkan visual finalnya: Santa berjanggut putih, berpakaian merah-putih (warna merek Coca-Cola), yang kita kenal hari ini. Sang Uskup telah sepenuhnya direduksi menjadi merek dagang.

Mana Santa Claus yang asli?

Sinterklas vs. Santa Claus

Di Indonesia, kita mengalami kebingungan ganda. Kita mewarisi dua versi: Sinterklas (warisan kolonial Belanda) yang masih agak mirip uskup, dan Santa Claus (warisan globalisasi Amerika) yang pure ikon komersial.

Sinterklas, meski sudah dikomersilkan, setidaknya masih mempertahankan nuansa Eropa dan tanggal perayaan yang lebih dekat (pertengahan Desember). Ia adalah “sepupu” yang sedikit lebih dekat dengan sang leluhur.

Santa Claus, di sisi lain, adalah “palsu” sejati. Ia adalah karikatur. Ia mengaburkan makna Natal yang sesungguhnya. Natal adalah perayaan sabda yang menjadi daging, Allah yang merendahkan diri masuk ke dalam kemanusiaan yang rapuh untuk menyelamatkannya. Pesannya adalah pengorbanan, kerendahan hati, dan kasih ilami.

Pesan Santa Claus adalah konsumsi, hasrat, dan kepuasan instan. Ia mendorong anak-anak untuk “bersikap baik” demi imbalan materi, mengubah kebajikan menjadi transaksi. Ia mengalihkan fokus dari Palungan di Betlehem ke gunungan hadiah di bawah pohon cemara.

Yang lebih berbahaya, ia mencuri panggung. Di banyak rumah tangga, “Apa yang Santa bawa untukmu?” menjadi pertanyaan yang lebih menggembirakan daripada “Apa arti kelahiran Yesus bagimu?”.

Santo Nikolas yang asli selalu menunjuk kepada Kristus. Ia adalah reflektor, bukan sumber cahaya. Santa Claus yang palsu justru menjadi sumber cahaya itu sendiri, cahaya gemerlap neon yang membutakan.

Advent Angel: Semangat Santo Nikolas yang Masih Hidup

Di tengah arus komersialisasi ini, ada sebuah tradisi indah dalam Gereja (Katolik) yang justru dengan setia meneruskan semangat asli Santo Nikolas: “Advent Angel” (Malaikat Adven).

Tradisi ini, yang banyak hidup di kalangan muda Katolik, komunitas biara, dan kelompok-kelompok kategorial hingga keluarga, adalah bukti bahwa hati Santo Nikolas masih berdetak.

Apa itu Advent Angel? Selama empat minggu Masa Adven, setiap orang dalam komunitas secara diam-diam ditunjuk untuk menjadi “malaikat” bagi seorang teman.

Tugasnya persis seperti yang dilakukan Santo Nikolas: mendoakan dengan tekun, memperhatikan dengan kasih, dan sesekali memberikan dorongan atau kado kecil secara diam-diam—seperti kantong emas yang meluncur di malam hari.

Semua dilakukan tanpa ingin dikenal. Pada puncaknya, saat Natal tiba, barulah identitas “malaikat” ini disingkapkan, seringkali disertai pertukaran kado yang penuh makna.

Perhatikan kemiripannya yang menakjubkan! Santo Nikolas pada 6 Desember adalah “Advent Angel” pertama. Ia memulai tugasnya di tengah masa penantian (Adven) dengan tindakan kasih yang rahasia.

Tradisi Advent Angel mematenkan semangat ini ke dalam seluruh masa persiapan Natal. Ia mengubah Adven dari sekadar masa hitung mundur pasif menjadi sekolah aktif dalam kedermawanan dan perhatian nyata.

Namun, semangat ini tidak boleh berhenti di lingkaran kecil pertemanan kita. Jiwa Santo Nikolas, jiwa yang peka terhadap penderitaan mendesak, mendesak kita untuk memperluas lingkaran “malaikat” kita.

Bagaimana jika tahun ini, komunitas kita tidak hanya menjadi “Advent Angel” bagi sesama anggota, tetapi juga secara kolektif menjadi “Malaikat Adven” bagi saudara-saudari kita yang menjadi korban bencana besar baru-baru ini di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat?

Bayangkan kekuatan transformatifnya: alih-alih semua energi dan dana diarahkan untuk bertukar kado di internal, sebagian bisa dialihkan menjadi “kantong emas” kolektif bagi mereka yang kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan orang yang dikasihi.

Doa harian kita sebagai “malaikat” bisa diperluas mencakup mereka yang terluka dan berduka. Perhatian kecil kita bisa berwujud penggalangan dana, paket bantuan, atau sekadar kepedulian yang tulus melalui media sosial. Inilah Adven yang hidup dan relevan: masa persiapan Natal dengan meneladani Kristus yang datang untuk menyembuhkan yang terluka dan mengangkat yang jatuh.

Dari Konsumsi ke Compassio

Lalu, apakah maksudnya kita harus mengharamkan semua kegembiraan, hadiah, dan Santa Claus ini? Sama sekali tidak. Tradisi memberi hadiah itu indah, asal kita mengembalikan jiwanya yang sebenarnya.

Santo Nikolas memberi hadiah diam-diam, kepada yang sangat membutuhkan, sebagai perwujudan kasih Kristus. Bukan secara spektakuler kepada semua orang, terlepas dari kebutuhan, sebagai alat pemuas keinginan.

Beberapa keluarga Katolik mulai mencoba “revolusi kecil”. Mereka merayakan Pesta Santo Nikolas pada 6 Desember. Mereka menceritakan kisah uskup dari Myra yang nyata, bukan dongeng tentang tokoh kartun yang gendut di Kutub Utara.

Mereka mungkin memberi hadiah kecil saat itu, sebuah buku atau kue special, sebagai pengingat akan kedermawanan. Lalu, pada Hari Natal, fokusnya sepenuhnya pada Yesus: Misa, doa bersama, dan mungkin mengalihkan anggaran hadiah mewah untuk disumbangkan sebagai wujud nyata menjadi “malaikat” bagi korban bencana.

Ini adalah cara merebut kembali narasi. Kita tidak perlu membunuh Santa Claus, tetapi kita perlu mengenali topengnya dan mengingat wajah asli di baliknya. Kita perlu memberitahu anak-anak kita: “Ada seorang santo yang sangat hebat, namanya Santo Nikolas.

Karena ia sangat mengasihi Yesus, ia sangat murah hati. Orang-orang lalu membuat banyak cerita tentangnya, sampai-sampai wajahnya berubah. Tapi kita, sebagai keluarga Katolik, tahu kisah aslinya. Dan kita ingin meniru dia, bukan karikaturnya. Tahun ini, selain jadi ‘malaikat’ rahasia untuk temanmu, bagaimana kita juga bersama-sama jadi ‘malaikat’ untuk anak-anak di pengungsian Sumatra?”

Berbela Rasa

Jadi, ketika Anda kembali melihat gambar pria berjanggut putih itu di mall atau di layar kaca, tanyalah pada diri sendiri: Sosok mana yang saya izinkan memasuki hati dan rumah saya menjelang Natal ini? Apakah “Santa Claus Palsu”, duta besar dari kerajaan konsumerisme yang bisanya hanya menagih daftar keinginan?

Ataukah Santo Nikolas yang asli, sang murid Kristus yang setia, yang mengajak kita dengan diam-diam menjadi “Advent Angel”—bukan hanya untuk saling memberi kado di antara kita yang sudah berkelimpahan, tetapi untuk mengulurkan tangan dan hati kepada mereka yang sedang berduka, yang rumahnya porak-poranda oleh banjir dan tanah longsor, yang Natalnya akan dihabiskan di tenda pengungsian?

Di situlah kita menyelipkan “kantong emas” harapan kepada mereka yang putus asa, untuk menjadi terang dalam kegelapan dunia, dan untuk mengarahkan semua sorak sorai Natal ini kembali kepada satu Titik Pusat: seorang Bayi yang terbungkus lampin, terbaring di palungan, yang adalah Allah sendiri datang untuk menyelamatkan.

Pilihan itu akan menentukan, bukan saja cara kita merayakan Natal, tetapi apakah kita benar-benar merayakan Natal atau sekadar pesta musiman lain yang dibalut mitos. Mari pilih yang asli. Selamat merayakan Peringatan Santo Nikolas, dan selamat mempersiapkan hati menyambut Natal yang sesungguhnya.

Catatan kecil,

Jakarta, 5 Desember 2025

Febry et Scientia

Leave A Reply

Your email address will not be published.