Katolikana.com — Apakah pernah mendengar kutipan ayat, ”Untuk segala sesuatu ada waktunya”? Atau “Waktu Tuhan selalu tepat, tidak lebih cepat, dan tidak terlambat”?
EXACTLY!
Waktu Tuhan selalu dan akan menjadi yang terbaik untuk kita. Akan tetapi manusia (terutama saya), kalau sudah punya mau, pengennya secepat-cepat nya. Kalau bisa habis doa langsung terkabul deh. Hingga, duhai manusia yang tidak suka menunggu (saya), pada suatu saat kena getahnya.
Jadi ceritanya saya punya cita-cita kepengen jalan-jalan ke Venice, kota apung yang sebenernya mirip kaya bantaran kali di Jakarta. Tapi yah, itu lah Venice punya daya tarik special untuk saya. Saya juga ingin ziarah ke Vatican, Roma, dan Lourdes. Intinya saya kepengen ke Eropa.
Dan as usual, tahapan selanjutnya saya gembar gembor ke seluruh dunia, ngajak- ngajak satu planet siapa yang mau ke Eropa juga.
Ga ada Tanggapan. Meski seluruh keluarga dan teman sudah tahu impian saya ini.
Ya udah, saat itu sekitar Februari 2016, kebetulan juga uangnya belum terkumpul. Saya perkirakan di bulan September atau Oktober 2016, dana saya cukup.
Selain itu ada kendala lain, tur yang menyediakan jasa ziarek Katolik masih terbatas, kalaupun ada, yah enggak ke Venice. Saya kan maunya ‘harus ada Venice’. Apalah daya, saya ini manusia dengan tyrant of should-nya.
Maka saya mulai rajin berdoa dan berdevosi.
Di awal Maret 2016, setelah merenungi kisah Zakheus yang berusaha keras bertemu Yesus dengan naik pohon. Saya jadi mikir nih, kayaknya harus berusaha keras juga untuk menemui Tuhan supaya permohonan ziarah ini pasti dikabulkan. Atau mendapatkan kepastian.
Saya bertindak lebih agresif mendekati Tuhan (mungkin permohonannya masih pending). Di minggu kedua bulan Maret 2016, saya berziarah ke Goa Maria Ambarawa, Goa Maria Sendangsono dan Gereja Hati Kudus Ganjuran.
Isi permohonan sama. Mau ziarah sekaligus jalan-jalan, yang ada Venice-nya.
Ga nyangka ya? Pulang dari ziarah, dapat pesan dari salah satu tante saya, yang mau ziarah ke Eropa. Pas ada Venice-nya, ada Lourdes-nya, dan tur katolik.
Dan….
Berangkat dua minggu lagi.

Take it! Or leave it! Is now or never decision!
Itu kata tante saya. karena mau dibayar saat itu juga, on the spot (saya ditanggung, bayar nanti).
Ya Tuhan! Express banget yaaa? (I smile from ear to ear. So happy I could die)
And you see what happened?
Saya stres banget! Semuanya begitu mendadak. Begitu cepat. Saya gak sempat beli baju autumn, karena pergi di awal April artinya Eropa baru bebas dari winter. Dalam satu hari semua urusan berkas-berkas untuk pengurusan visa harus langsung dikirim ke agen.
Di hari kedua saya sibuk nyari pinjeman koper, karena saya juga gak siap koper besar.
Di hari ketiga, saya sakit. Tiba-tiba pilek, batuk and worst! Satu badan saya bentol-bentol seperti digigit nyamuk. Tiap hari bukan berkurang tapi bertambah. Makin lama makin gatal. Tidak hilang minum obat gatal, tidak berkurang meski sudah diberi salep antibiotik dan atau minum jamu-jamuan herbal super pahit.
Semua benda-benda di kamar sudah dibersihkan dari debu, bantal guling sudah di jemur. Ya Tuhan bahkan gak ada nyamuk di rumah.
And still the day approaching…the clock is ticking…
Dan… sakit saya tidak berkurang. Padahal saya dokter, ayah saya dokter, tante yang ngajak saya dokter. Kami semua stress karena gak tahu apa sebabnya, karena gak sembuh-sembuh dan karena uang perjalanan sudah dibayar lunas (cancel is not an option).
Saya masih harus memenuhi janji temu untuk foto Visa Schengen, dan seluruh badan saya bentol, merah, gatal. Saya takut kalau batal, atau ditolak saat sampai di sana.
Akhirnya karena satu rumah sudah gak bisa mengobati, saya pergi ke dokter kulit. Trus dokternya bilang, “Oh ini, mbak nya cuman agak stress.”
Saya ternyata stres sodara-sodara…
“Oalah nik, nik, kamu itu loh mau diajak seneng-seneng, mau halan-halan ae kok ya pake sutriss to?” begitu kata ibu saya.
Akhirnya saya berangkat.
Selama dua minggu di sana, bukan hal yang mudah buat saya. Pertama karena saya tur bersama para ibu-ibu. Jadi, fokus utamanya adalah foto. Sementara tujuan utama saya adalah ziarah. Yang artinya, saya mau berdoa.
Begitu datang ke lokasi wisata, pertama-tama bukan doa, tapi foto. Habis foto, ada waktu untuk menjelajah, yang dilakukan adalah, belanja oleh-oleh. Lalu… foto lagi.
Dua minggu di sana, saya nggak ingat doa apa, tapi saya ingat saya banyak foto. Selain itu, yang Namanya tur itu always on schedule ya, jadi bangun pagi, packing-unpacking, naik bus pindah kota, ke sana-sini dibatasi waktunya.
Semuanya serba buru-buru, teratur dan terbatas. Tidak bebas. Gak bisa menentukan mau makan apa? Atau mau berapa lama. Termasuk berdoa.
Gimana ya? Bukannya gak bersyukur, hanya enggak enjoy aja. Gak puas rasanya. Dan mungkin saya juga merasa gak siap. Sepertinya terlalu cepat ya.
Jadi kalau ada yang bilang “Ih ngapain sih pergi sendirian? Enakan ikut tur. Terima beres.”
Inilah jawabannya.
Berangkat dari pengalaman ini saya memutuskan untuk pergi solo traveling pada September 2019. Dengan menyiapkan diri sebaik-baiknya, menentukan sendiri itinerarynya, dan melangkah ke mana pun, jam berapa pun. Suka -suka saya.
Ada lagi pelajaran berharga yang saya petik dari perjalanan pertama saya. Bahwa baik kita berdoa memohonkan sesuatu, tapi jangan memaksakan Tuhan untuk cepat-cepat.
Kadang saya mengeluh,” kok lama amat gak dikabulkan? Iya atau enggak sih, Bapa? Sudah 1000 hari nih devosi, kok masih belum dijawab?”
Lalu saya ingat, selama ini saya kesal karena harus menunggu lama. Padahal lihat tuh kalau dipercepat waktunya, malah jadi bingung sendiri, stres sendiri. Pusing sendiri. Dan belum tentu baik adanya.
Mungkin saya belum siap menerimanya. Saya gak tahu apa saya sudah siap atau belum. Sudah layak belum?
Maka di perjalanan yang kedua, September 2019, saya sudah mempersiapkan diri selama 6 bulan sebelumnya. Berdoa dan merencanakan dengan matang. Puji Tuhan, rencana saya diberkati dan bisa terlaksana dengan baik. Semua sungguh indah dan tepat pada waktu-Nya.
Sejak saat itu, setiap kali saya berdoa memohonkan sesuatu, selalu saya bilang, “Terserah waktunya Tuhan, saya bebas. Waktu Tuhan sudah yang paling baik deh dan pokoknya paling tepat.”
Namun saat terkenang masa itu, kadang hati ini bertanya, “Jadi, sebenarnya kepergian saya di tahun 2016, apakah tepat seturut waktu-Mu ya Tuhanku?”
Editor: Basilius
Dokter dan Peziarah. Istagram:@dokter.kopi