Katolikana.com, Australia — Aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta menggugah Donny Verdian pada satu sosok Sumarsih, perempuan yang berdiri di garda depan dan setia tiap kali aksi. Donny tergugah tiap kali mengikuti berita-berita Aksi Kamisan dari kota Sydney, Australia. Dan, lahirlah lagu Raja Singa, yang ia rilis pada Agustus 2020.
Sejak awal Donny menempatkan sosok Sumarsih dalam penjiwaan lagu “Raja Singa”. Baginya, sikap Sumarsih adalah sikap ibu yang tidak mau selesai dengan perjuangan. Ini wujud cinta yang lebih universal tak hanya cinta ibu-anak, tapi anak dengan nasib sama dengan Wawan. “Sikap Bu Sumarsih yang rela tidak selesai dengan dirinya sendiri demi menyelesaikan kasus anaknya,” ujar Donny.
Wawan atau Bernardinus Realino Norma Irawan – mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta, gugur tertembak dalam peristiwa Tragedi Semanggi 1 pada 13 November 1998.
Donny Verdian, seorang penyanyi dan pengamat musik, sejak 2008 menetap di Australia. Dalam keseharian ia bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi. Ia tetap bergiat di bidang seni dan sering menggelar workshop musik dengan para musisi Indonesia yang tinggal di Sydney, di antaranya Sawung Jabo.
Dari workshop bersama Jabo, Donny mulai menggarap lagu bertema sosial. Saat itu ia menggarap musiknya, namun belum menemukan lirik lagunya. Hingga ia tergugah dengan Aksi Kamisan yang menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Raja Singa adalah lagu kedua Donny. Lagu pertamanya bertajuk Suluh. “Sebetulnya saya rilis Raja Singa bulan Mei, itu bulan Maria, itu sosok keibuan dari bu Sumarsih, bukan membandingkan ya, cocok bulan Mei. Tapi karena teman saya yang memproduksi masih sibuk, jadi Suluh duluan.”
Pada pertengahan Agustus (18/8/2020) saya mewawancarai Donny Verdian. Obrolan kami berlangsung santai pada tengah malam, sesudah Donny selesai membawakan acara bincang-bincang di IG @baik.tv yang dikelolanya.
Berikut wawancara saya dengan Donny Verdian.
Apakah sering berkomunikasi atau ngobrol dengan Bu Sumarsih?
Sering ngobrol, tapi justru ngobrolnya setelah lagu itu jadi, November 2018. Jadi saya bikin lagu membayangkan sosok Bu Sumarsih dan teman-teman Aksi Kamisan, kemudian baru saya ngobrol dengan Bu Sumarsih.
Makanya di versi awal lagu Raja Singa di bait kedua itu awalnya “anak kami ada di mana” karena saya membayangkannya kurang teliti. Tapi, setelah saya ngobrol dengan Bu Sumarsih, saya ubah “anak kami yang bunuh siapa”.
Jadi, obrolan dengan Bu Sumarsih, lirik terasa lebih dalam ya saat dinyanyikan?
Iya betul.
Ketika menyanyikan Raja Singa, saya menghidupi lagu itu sebetulnya tidak dalam diri Bu Sumarsih, tapi saya mencoba menempatkan diri di sisi Wawan yang hanya bisa melihat ibunya berjuang di Aksi Kamisan.
Lagu ini saya bikin November 2018, baru saya rilis 2020, sepanjang dua tahun lagu ini sudah saya mainkan tiga kali. Pertama acara show dengan teman-teman seniman itu, 2018, di situ saya belum dapat soul-nya. Kedua saya nyanyikan acara Sumpah Pemuda di sini (Sydney), 2019, belum dapat soul-nya juga. Baru tahun 2020 ini, nggak tahu kenapa, saya baru dapat soul-nya.
Soul-nya di tahun 2020 baru dapat, bagaimana menghidupi dan menjaga agar lagu ini tetap diingat dan diselesaikan?
Caranya dengan terus berhubungan dengan Bu Sumarsih, ngobrol dengan beliau, ngikuti berita-berita Aksi Kamisan, berita tentang penyelesaian kasus HAM di tanah air, itu yang membikin relevan bagi saya mendapat soul dari lagu itu.
Bung terasa dekat karena iman Katolik yang juga dihidupi oleh Bu Sumarsih?
Oh pasti, jelas sekali, dan saya menyadari untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia itu adalah salah satu janji baptis. Dan perjumpaan saya dengan bu Sumarsih selama ini, saya melihat juga dari sisi religiusitas yang saya pahami. saya bisa melihat kekuatan cinta yang luar biasa, yang saya katakan di awal tadi, jadi bahan bakar untuk perjuangan dia.
Dan ada banyak perjumpaan dengan bu Sumarsih, beliau bilang, kadang capek juga tapi ketika melihat kawan-kawan menyemangati, dia jadi lebih semangat lagi. Ya ini pada akhirnya perkara kasih.
Mengapa menciptakan lagu Aksi Kamisan, judulnya Raja Singa?
Pertanyaannya menohok.
Sebetulnya bukan Kamisan dulu yang muncul di otak. Jadi lagunya dulu, waktu itu bikin workshop mas Sawung Jabo dan kawan-kawan. Kita diberi PR (pekerjaan rumah). Ayo bikin lagu, waktu itu saya bikin lagu, tapi belum ada liriknya. Ayo bikin apa yang cocok, waktu itu diminta mas Sawung Jabo, tema apa yang cocok, yang tema sosial. Lagu itu tema Aksi Kamisan. Kenapa judulnya Raja Singa? Supaya menarik aja sih.
Apakah Raja Singa untuk menggambarkan kasus-kasus Wawan dan situasi kemanusiaan?
Ya untuk menggambarkan perjuangan orang-orang yang menuntut penyelesaian kasus-kasus HAM berat di masa lalu, dan sebetulnya lagu ini saya buat konteksnya cukup universal sih. Memang saya meminjam sudut panjang Wawan dan bu Sumarsih, tapi yang saya harapkan itu orang bisa melihat di manapun ketika orang melihat di mana HAM dilanggar, dan seolah didiamkan, nyanyikanlah lagu itu.
Bagaimana komentar, lirik lagu raja singa dikirim ke Presiden Jokowi oleh Bu Sumarsih, Suciwati, dan kawan-kawan saat Aksi Kamisan?
Saya menghargai mereka untuk mengirimkan lagu itu.
Karena sudah dilempar ke pasar, lagu itu bisa jadi hak siapapun, dan untuk diintepretasikan seperti apapun juga.
Ini pertanyaan terakhir. Apa harapan untuk pendengar? Lagu ini ditujukan ke siapa?
Lagu itu ditujukan untuk perjuangan teman-teman, kasus pelanggaran HAM, penggambarannya jelas perjuangan mereka. Harapan pendengar supaya disukai dan pesanya bisa sampai, bahwa dengan kemajuan yang kita terima, kita dengan perlakuan baik yang kita dapatkan, masih ada orang yang memperjuangkan keadilan.

Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.