Otto Gusti, SVD tentang Kekerasan Seksual Klerus: “Dulu Selamatkan Panggilan, Sekarang Selamatkan Korban”
Surat Apostolik Vos Estis Lux Mundi (VELM) membongkar klerikalisme dengan pembentukan tempat pengaduan yang diisi orang independen yang berintegritas.
Katolikana.com — Pada majalah ROHANI edisi April 2019, Romo Franz Magnis Suseno, SJ menulis bahwa Gereja Katolik Indonesia tengah menghadapi berbagai tantangan. Banyak umat yang mulai berpikir untuk meninggalkan gereja karena skandal seksual yang melibatkan klerus.
Dalam situasi seperti ini, bagaimana hidup selibat dihayati? Bagaimana umat terlibat untuk ikut memperbaharui? Surat Apostolik Vos Estis Lux Mundi (VELM) Paus Fransiskus mengajak semua terlibat mencegah semakin berlarutnya pembusukan di gereja Katolik.
Kilas balik yang dipaparkan oleh moderator, LY Dedy Kristanto, atas tulisan Franz Magnis Suseno dan semangat VELM tersebut membuka sesi daring ke-5 Komunitas Katolik Indonesia Hong Kong (KKIHK). Sesi yang bertajuk Serunya Hidup Selibat dan Tantangannya itu digelar pada Kamis, 3 September 2020.
Suster Aprilia Untarto, SSpS hadir berbagi dari Amerika Serikat (AS). Lahir dan tumbuh di metropolitan Jakarta, usai kuliah Teknik Informatika, Aprilia menghabiskan waktu bekerja sekitar 12-14 jam di kantornya. Tapi kenangan masa kanak-kanaknya tentang sesosok suster yang unik dan spesial terus menyalakan panggilan di hatinya, beriringan dengan ucapan sang mama, “Kalau Tuhan panggil, jalan akan selalu ada.”
Pada 2006 setelah masa pergulatan selama dua tahun, Aprilia memutuskan untuk menjadi biarawati. Putusan yang tidak dipercaya kawan-kawannya di Hewlett Packard tim Asia-Pasifik di Singapura. Kawan-kawannya yakin bahwa Aprilia pasti akan kembali ke Singapura. “Sudah 14 tahun dan saya tidak Kembali,” ujar Aprilia.
Postulan Aprilia ditugasi Kongregasi Abdi Allah Roh Kudus AS untuk mendalami pastoral counseling di S2 pada Loyola University. Kemudian oleh kongregasinya ia mendapat tugas untuk memulai sebuah misi di Chicago, yakni misi untuk perempuan imigran Meksiko. Selanjutnya ia pergi ke Chili untuk belajar bahasa Spanyol sekaligus menjalani misi, yakni bekerja dengan perempuan imigran di Santiago, perempuan penyintas KDRT dan anak-anak mereka, juga perempuan napi serta orangtua anak-anak homoseksual.
Setelah menerima kaul kekal ia mendapat tugas sebagai promotor panggilan. Namun ia juga tetap bekerja juga untuk penanganan kasus pedofilia, menemani pelaku dan korban. Ihwal yang terakhir itu jugatermasuk korban termuda yang berusia tiga tahun.
Klerus, Tantangan Selibat, dan VELM
Apa tantangan yang suster alami? “Belajar bahasa asing itu seru, tapi tetap susah untuk mengekspresikan perasaan. Tantangan lain hidup selibat adalah rasa kesepian. Itu berat. Biarawan-biarawati pun manusia normal, perlu teman. Sebagai misionaris, hidup tergantung misi, tidak menetap, teman datang dan pergi.”
Suster Aprilia menambahkan, “Posisi saya figur publik. Yang saya buat dan ucapkan pun cara berpakaian diamati orang sekitar. Saya dilihat sebagai sosok yang tidak boleh melakukan kesalahan. Harus jaga image. Kadang capek,” kata Suster Aprilia.
Suster Aprilia mengungkapkan bahwa AS punya kebijakan ketat. Biarawan-biarawati tidak boleh pergi berdua saja dengan anak-anak, harus ada orang dewasa lainnya. Jika melakukan konseling maka jendela harus transparan. Memeluk anak-anak pun dengan posisi sejajar dan formal. Selain itu mereka juga tidak boleh menginap di rumah keluarga-keluarga. Kalau mau menginap, mereka harus menginap di hotel.
Dari NTT, Dr. Otto Gusti, SVD, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, menekankan semangat VELM sebagai panduan gereja Katolik untuk menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja Katolik. VELM berbicara tentang sistem untuk melapor di setiap keuskupan. Sistem harus bisa diakses oleh publik dan berpihak kepada korban.
Paus, lanjut Otto Gusti, mewajibkan pembentukan tempat pengaduan pada tiap keuskupan di seluruh dunia selambat-lambatnya pada Juni 2020. Selain itu dokumen VELM juga menyebutkan kewajiban untuk melapor jika terjadi kasus pelecehan seksual. “Jika dulu ada kecenderungan menyelamatkan panggilan, sekarang yang harus diselamatkan adalah korban,” kata Romo Otto.
Menurut Romo Otto, VELM menekankan perlindungan yang rentan dan keharusan menaati hukum negara. Keuskupan harus proaktif memfasilitasi korban untuk mengakses hukum sipil. Gereja tidak berada di atas hukum sipil. Hal yang juga tidak boleh diabaikan adalah pentingnya perlindungan korban dan pelapor. “Keuskupan dan konggregasi wajib melindungi korban,” katanya.
VELM juga memberikan apresiasi atas keterlibatan awam. Awam, kata Romo Otto, didorong untuk aktif dalam penyelesaian, pelaporan kasus, dan tidak boleh berpikir untuk melindungi gereja dengan menutup-nutupi kasus. Alih-alih, berubah menuju gereja yang mengalami pembebasan dan berpihak kepada keadilan. Semua pihak diajak menjunjung azas praduga tak bersalah, tidak bergosip namun aktif menyajikan bukti.
“VELM membongkar klerikalisme dengan mewajibkan pembentukan tempat pengaduan yang diisi oleh orang independen yang berintegritas,” tegas Romo Otto.
Sementara Suster Aprilia menambahkan bahwa di AS pelaku kekerasan seksual mendapat sorotan public. Mereka yang sudah terbukti sebagai pelaku namanya muncul ke publik. , Nama dan kasusnya dapat dicari melalui googling (internet.
“Di USA sangat terbuka. Namun tidak hanya klerikalisme yang menjadi persoalan. Laki-laki yang merasa dominan juga jadi masalah. Laki-laki yang merasa berkuasa, melihat perempuan sebagai objek. Banyak kultur di dunia yang menempatkan perempuan sebagai objek,” kata Suster Aprilia.
Menanggapi kehadiran VELM, Damairia, salah satu partisipan mengemukakan dalam termin tanya jawab bahwa VELM belum sampai ke umat. “Belum dibicarakan, belum ada surat gembala, dan belum ada kotbah tentang itu. Ia ramai [diperbincangkan] di ruang online saja, umat belum tahu,” ujarnya mengingatkan.
Masih pada acara tersebut, William LA VD dari Chili mengemukakan pengalaman Chili. Ia mengungkapkan bahwa dua tahun lalu Gereja Katolik di Chili sempat menjadi berita internasional. Pemicunya adalah terungkapnya kasus pelecehan seksual di lingkungan gereja.
Besarnya masalah sosial dan psikologis yang berkaitan dengan kekerasan seksual ini mendorong Paus untuk memanggil semua uskup Chili ke Vatikan. Hampir semua uskup bersepakat untuk menyerahkan jabatan kepada Paus. Ada empat atau lima uskup dilengserkan dari jabatannya.
Namun William LA VD juga mengemukakan bahwa di Chili semua kasus ini ditangani dengan model kerja interdisipliner. Relasi sosial klerus dengan anak-anak diawasi. “Sebagai pencegahan, wajib ada satu orang dewasa pada setiap perjumpaan klerus dengan anak. Perjumpaan harus dilakukan di tempat terbuka. Langkah ini menumbuhkan kepercayaan kepada gereja karena gereja mengambil langkah nyata,” kata William.
Peran Media
Otto Gusti melihat adanya pertanda yang baik di Indonesia, yakni turunnya media massa untuk meliput kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Gereja. “Ini tanda baik. Media meliput. Kita harus mengapresiasi. Di Australia dan tempat lain, yang membongkar (kasus-kasus ini) adalah media. Kita perlu mendorong media untuk melakukan investigasi. Kita wajib menyampaikan ke pimpinan tertinggi gereja.”
Sri, salah satu partisipan acara mengingatkan hal yang terjadi di Keuskupan Boston, AS. Keempat jurnalis Spotlight di Boston Globe beririsan dengan latar Katolik. Menurutnya, lebih baik jika semua bagian gereja menyimak pesan yg disuarakan dan bukan menggugat atau membungkam si pembawa pesan yang menyuarakan korban.
“Semua pihak wajib menguatkan peran jurnalis dalam membongkar kejahatan, bukannya melihat pihak-pihak yang membela korban sebagai penyerang gereja. Kemanusiaan tidak melihat angka. Satu manusia korban pun wajib dibela.”
Langkah ke Depan
Pada akhir sesi Romo Otto Gusti, SVD menekankan bahwa sikap dasar Gereja (Katolik) itu umat dan klerus mengikuti Yesus yang berpihak kepada korban dan orang miskin. Kasus-kasus kekerasan seksual menjadi momen pertobatan Gereja.
Baginya, langkah konkret yang wajib dilakukan adalah setiap keuskupan membuat panduan penanganan kasus pelecehan seksual sebagaimana diwajibkan oleh Paus Fransiskus. Lembaga penerima pengaduan harus segera dibentuk agar kepentingan korban bisa segera difasilitasi.
Dari pengalaman di Amerika Serikat, Aprilia Untarto, SSpS berbagi praktik baik. Ia mengungkapkan bahwa semua anggota kongregasi ditekankan untuk bersuara jika ada penyimpangan, berbagi kepada pimpinan dan kawan komunitas. “Kami juga meminta awam untuk aktif membantu dengan doa dan mengawasi,” katanya.
Editor: Basilius
Biasa dipanggil Wiji. Alumna IHRTP 2008 dan warga RightsCon Community yang betah sebagai pekerja ornop. Pernah magang pemantauan media di LP3Y dan menekuni advokasi anggaran. Masih menjadi relawan komunitas pengendalian tembakau di JSTT, relawan komunitas literasi melawan misinformasi-disinformasi di Mafindo, dan turut peduli hak difabel. Sekarang sehari-hari berkarya menemani pencari suaka.