Rumat Retret Wisma Salam dan Pusat Spiritualitas Girisonta Mencoba Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19

Jualan Sambal dan Kripik ‘Serba Salam’

0 3,750

Katolikana.com—Rumah retret menjadi tempat sekelompok orang berkumpul dan sejenak menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan untuk merenung dan mencari ketenangan batin.

Bagaimana kondisi Rumah Retret Wisma Salam dan Pusat Spiritualitas Girisonta ‘berjuang’ di tengah gempuran pandemi Covid-19?

Wisma Salam

Wisma Salam yang terletak di daerah Magelang, Jawa Tengah, dulunya dijuluki ‘seminari awam’.

Rumah retret ini didirikan pada 1975 oleh Romo YB. Mangunwijaya untuk memfasilitasi pendampingan serta pembenihan awam agar dapat tumbuh untuk mendukung pastoral Gereja Keuskupan Agung Semarang.

Ketika itu banyak imam misionaris dari luar negeri yang berkarya di Keuskupan Agung Semarang. Tahun 1978 pemerintah mengambil kebijakan membatasi tenaga pastoral dan pendanaan dari luar negri.

Untuk memunculkan tunas-tunas baru, Gereja Keuskupan Agung Semarang mendorong awam untuk terlibat dalam karya pastoral.

Katolikana berbincang dengan Elisabeth Prita Rianditaswari, akrab disapa Tata, salah satu pekerja Wisma Salam yang sejak 2012 menjadi sekretaris Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang sekaligus sekretariat Rumah Retret Wisma Salam.

Menurut Tata, dahulu Wisma Salam hanya menjadi rumah retret biasa untuk umum.

“Sejak 2003 menjadi youth centre karena lebih banyak kegiatan orang mudanya,” jelas Tata kepada Katolikana, Kamis (18/3/2021).

Dalam dinamikanya, kata srawung tampak sangat diamini Romo Mangun sebagai caranya untuk lebih dekat dengan masyarakat.

Hal ini lambat laun menjadikan masyarakat tergerak untuk dekat dengan Wisma Salam.

Menurut Tata, di Wisma Salam terdapat area yang dinamakan ‘area batu’. Dulu ini dibangun oleh masyarakat sekitar yang mengumpulkan batu-batu dari Kali Krasak yang dinaikkan ke Salam.

Pengunjung bisa menemukan bangunan dari bebatuan Kali Krasak yang melambangkan kokohnya keberagaman masyarakat sekitar dengan Wisma Salam.

“Kami terbuka bagi siapa pun yang mau berkegiatan, kami akan layani dengan baik,” tambah Tata.

Peserta retret berasal dari berbagai daerah: Jakarta, Surabaya, Malang, Purwokerto, Bogor, dan Bandung.

“Tujuh keuskupan di Jawa juga sudah pernah berkegiatan di sini,” kata Tata.

Wisma Salam bahkan terbuka bagi kegiatan pelatihan yang biasa diperuntukan bagi para pekerja.

Wisma Salam pernah kedatangan kelompok asal Kalimantan Timur yang berasal dari suatu perusahaan kelapa sawit pada 2014.

Sambal dan Kripik

Seperti halnya berbagai tempat lain, Wisma Salam terkena pengaruh dari Pandemi Covid-19. Mencoba bertahan dengan kembali merancang solusi menjadi jalan yang diambil oleh Wisma Salam.

Kala pandemi membatasi berbagai ruang gerak masyarakat, Wisma Salam membuat terobosan dengan tetap melakukan kegiatan yang melibatkan pekerjanya.

Direktur Wisma Salam Romo Heribertus Budi Purwanto memiliki misi besar dan sisi kemanusiaan yang luar biasa dengan memilih untuk tidak merumahkan para pekerja melainkan mencari alternatif.

Sejak April 2020, Wisma Salam memulai suatu usaha dalam bidang makanan yakni memproduksi bermacam sambal dan keripik yang dinamai ‘Serba Salam’.

“Penjualannya lumayan karena sudah tersebar ke berbagai wilayah seperti Surabaya, Bogor, Bandung, Bali, bahkan Kalimantan dan Lampung,” jelas Tata.

Sambal yang diproduksi juga beraneka ragam. Mulai dari sambal pecel, sambal balado teri kentang, dan lain sebagainya.

Mereka juga menjual keripik dengan bahan dasar ketela dan pisang. Wisma Salam bekerjasama dengan petani sekitar yang tidak dapat menjual hasil kebun karenapandemi.

Usaha ini menjadi semcam simbiosis mutualisme di mana Wisma Salam dan masyarakat petani.

“Para petani bingung hasil panennya dikemanakan. Ya sudah kita beli lalu diolah menjadi keripik. Petani senang karena bisa bertahan hidup, Wisma Salam juga menerima pendapatan dari situ,” tutur Tata.

Produksi makanan akhirnya menjadi jawaban untuk dapat bertahan di situasi pandemi.

Faktor kemanusiaan juga dipupuk oleh pihak Wisma Salam. Mereka tak hanya memikirkan pekerja saja, melainkan juga nasib anggota keluarga.

“Kalau karyawan dirumahkan kasihan, kan. Mereka juga punya keluarga. Dengan ini mereka bisa tetap dipertahankan untuk menghidupi keluarganya juga,” tambah Tata.

Rencana ke Depan

Wisma Salam juga mempersiapkan rencana bukan hanya untuk masa kini melainkan jangka panjang.

Mulai 2021, Keuskupan telah menggagas hal besar yakni menetapkan Kevikepan sebagai pusat pastoral sehingga segala kegiatan pastoral gerejawi akan dipusatkan pada kevikepan.

Komisi-komisi di tingkat keuskupan telah dilebur karena akan hidup di kevikepan. Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Semarang akan menjadi sebuah unit pengembangan pastoral kaum muda.

Area Wisma Salam akan menjadi tempat berkegiatan bagi kaum muda, untuk mendukung riset-riset yang dilakukan kaum muda, pelatihan, sampai seminar workshop akan dilakukan di Wisma Salam. Tak salah jika sebutan ‘Rumahnya Orang Muda’ tepat disandang.

“Ini sudah deal dan sekarang masih melakukan penataan. Tinggal menunggu waktunya saja tinggal eksekusi,” tutup Tata.

Infografis: Tim

Pusat Spiritualitas Girisonta

Pada 3 Oktober 1930, lahir sebuah rumah retret dengan nama “Kristus Raja” di Semarang. Nama ini sesuai dengan adanya semangat misioner yang luar biasa dan pengabdian kepada Kristus Raja Semesta Alam.

Masyarakat sekitar lebih akrab menyebut tempat ini dengan sebutan Girisonta yang juga memiliki arti “Gunung yang Suci”.

Awalnya, tempat ini melayani retret berbagai macam kelompok. Tahun 1976 didirikan pusat spiritualitas yang merupakan pengembangan dari Rumah Retret Girisonta.

Tempat ini kemudian menjadi tempat studi latihan rohani serta kerohanian Serikat Jesus yang memberikan pelayanan yang lebih luas dari pada hanya sekadar tempat retret.

Tahun 1984 rumah retret dan pusat spiritualitas ini diserahkan kepada satu direktur dan tergabung menjadi sebuah rumah retret sekaligus pusat spiritualitas yang disebut sebagai Pusat Spiritualitas Girisonta atau PUSPITA.

Pusat Spiritualitas Girisonta merupakan suatu tempat pelayanan kerohanian Serikat Jesus Provinsi Indonesia bagi gereja-gereja yang menyelenggarakan karyanya dalam bentuk retret dan kursus-kursus kerohanian.

Karya pelayanan berupa kursus ini diperuntukkan bagi kaum religius melalui Pedadogi Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola untuk membantu peserta kursus sekaligus peserta retret terbimbing dalam belajar merefleksikan hidup berlandaskan spiritual Santo Ignasius yakni mengarahkan diri kepada Kristus sebagai Tuhan, penebus, dan sahabat.

Pusat Spiritualitas Girisonta. Foto: Setyaning Dyah Saraswati

Rumah Retret untuk Biarawan-Biarawati

Berbagai dinamika sedikit banyak merajut sejarah bagi Girisonta hingga sekarang. Lewat kumpulan kisah yang dipaparkan oleh Setyaning Dyah Saraswati, Katolikana mengenal Girisonta dari berbagai sudut pandang di tengah pandemi yang menghadang.

“Girisonta itu lebih dikenal sebagai rumah retret untuk biarawan biarawati. Jadi lebih banyak peserta romo, suster dan beberapa frater serta bruder,” tutur Dyah kepada Katolikana, Kamis (18/3/2021).

Tak heran jika Girisonta didatangi rohaniwan Katolik dari seluruh Indonesia dan dari berbagai ordo serta tarekat juga keuskupan.

“Masyarakat awam juga tak kalah ramai datang untuk lebih mengenal diri dan kembali pada kedamaian di Girisonta.   Kebanyakan dari Jakarta, beberapa dari Surbaya, Bandung, Jogja, sampai Medan juga pernah,” ujar Dyah.

Tetap Membuka Diri

Girisonta sempat memutuskan untuk membatasi berbagai kegiatan secara ketat bahkan melakukan lockdown.

Segala program yang telah lama disiapkan pun terpaksa batal demi menjaga penghuni Girisonta.

Warga Girisonta menjaga satu sama lain dengan membatasi segala kegiatan yang biasanya dilaksanakan.

Pada awalnya, karyawan hanya dipekerjakan setengah hari dengan hanya petugas administrasi dan pekerja perpustakaan yang boleh masuk ruangan.

Pihak Girisonta tetap menjaga dengan baik para pekerjanya dengan tidak mengurangi atau memotong gaji.

“Puji Tuhan gaji kami, para karyawan, tidak berkurang. Justru beban kerja dikurangi agar tidak terlalu kelelahan serta tidak ada karyawan yang dirumahkan,” jelas Dyah.

Romo Markus Yumartana, SJ selaku direktur dari rumah retret tampak telaten menjaga arti kemanusiaan serta kepedulian di dalam organisasinya.

Berbagai usaha dan alternatif dikembangkan untuk kembali membangun Girisonta di tengah maraknya pandemi.

Lambat laun, rumah retret paling tua di tanah Jawa ini mulai membuka diri kembali. Terhitung sejak Agustus 2020, peserta retret terbimbing pribadi mulai diizinkan untuk berkunjung dengan syarat yang ketat, di antaranya swab PCR.

Meski retret secara kelompok belum diperbolehkan, Girisonta berusaha melakukan berbagai karya pelayanan dengan mengubah format kegiatan menjadi bentuk online.

Hal ini mengingat di kala pandemi banyak masyarakat yang rindu akan pembelajaran dan refleksi akan hidup. Girisonta memilih untuk melakukan alternatif cara agar mereka tetap dapat menyalurkan kerinduan kembali pada pembelajaran iman.

Tahun 2021, Girisonta mulai beradaptasi dan hendak membuka pintu lebih lebar dengan mengadakan program kelompok dengan pembatasan anggota maksimal 20 orang.

Mereka wajib melampirkan tes swab antigen dengan peraturan cukup ketat di dalam wilayah Girisonta yakni hanya boleh mengunjungi  area rumah retret, taman dan makam.

Kemanusiaan di Tengah Kesempitan

Apa yang dilakukan oleh pengelola Wisma Salam dan Pusat Spiritualitas Girisonta menunjukkan bahwa tempat pembinaan rohani tak hanya menjadi label ‘rohani’ semata.

Apa yang ditanam, dijaga, dan dirawat menjadi karya nyata dan suatu bentuk aksi pelayanan luar biasa dalam ranah kemanusiaan.

Di tengah kesulitan, mereka tak membiarkan para pekerja berhenti berkarya. Mereka memiliki cara dan alternatif untuk tetap bertahan hidup.

Tentu, mereka punya kerinduan untuk berjumpa dengan masyarakat dan melakukan berbagai aksi pelayanan pastoral untuk mewartakan kasih pada setiap ciptaan. Semoga. []

Kontributor: Anastasia Mellania Kartika P, Genoveva Sekar Jemparing, Cornelia Maria Radita, Ni Nyoman Vena R

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.