Katolikana.com—Masa pandemi setahun belakangan ini membuat proses belajar mengajar secara tatap muka Sekolah Luar Biasa G-AB Helen Keller Yogyakarta, terpaksa berhenti.
Sejak 23 Maret 2020, pihak Sekolah Luar Biasa G-AB Helen Keller Yogyakarta memulangkan semua murid kepada orang tua atau panti asuhan. Tidak ada satu anak pun murid yang tinggal di asrama Helen Keller Yogyakarta.
“Kita kan bukan panti asuhan. Jadi yang membedakan kalau panti kan mereka tidak punya rumah, keluarga, sementara mereka punya, jadi kami kembalikan. Meskipun di papan tertulis Lembaga Kesejahteraan Sosial,” tegas Suster Patricia, PMY.
Di awal pandemi, semua pihak yang berada di Helen Keller merasa kebingungan untuk melanjutkan proses belajar mengajar. Sementara semua anak-anak pulang, guru-guru dan pendamping tetap masuk untuk melaksanakan pembelajaran daring kepada mereka.

Akibat sulitnya proses yang dilakukan secara daring kepada anak-anak berkebutuhan khusus, Helen Keller sempat memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa murid yang tinggal di Yogyakarta.
Suster Patricia, PMY menegaskan bahwa guru dan pendamping hanya akan mengunjungi murid yang tinggal di zona hijau, agar sama-sama aman.
“Tentu kami hanya datang ke wilayah zona hijau. Sempat kunjungan ke Semarang, Wonosari, Samigaluh dan daerah Jogja sekitarnya. Pokoknya yang zona hijau,” ungkap Suster Patricia, PMY.
Kunjungan yang dilakukan oleh guru dan pendamping tidak berlangsung lama, karena situasi makin tidak memungkinkan untuk datang ke rumah anak-anak. Suster Patricia mengatakan saat ini proses belajar mengajar Kembali dilakukan secara daring.
Durasi belajar online berkisar dua jam, pukul 07.30-10.00 WIB. Selain waktu yang terbatas, anak-anak juga merasa kesulitan dengan pembelajaran daring. Selain karena keterbatasan yang mereka punya, tidak adanya pendampingan menjadi anak-anak sulit untuk menerima materi.
“Orang tua mereka pasti tetap harus bekerja, sementara kalau tanpa orang tua mereka tidak bisa,” jelas Suster Patricia, PMY terhadap kesulitan yang dihadapi oleh anak-anak.
Awal Berdiri
SLB/G-AB Helen Keller Yogyakarta dimulai ketika para Suster Misionaris dari Kongregasi Suster Putri Maria dan Yosef (PMY) memulai karyanya untuk mendirikan pendidikan anak berkebutuhan khusus tunarungu di Yayasan Dena Upakara, Wonosobo.
Seperti dikutip dari buku berjudul Sapaan Senyap, tahun 2006 Yayasan Helen Keller Belanda bersama dengan Yayasan Dena Upakara membuka sekolah bagi anak-anak berkebutuhan khusus ganda tunarungu-netra-wicara yang diberi nama SLB/G-AB Helen Keller di Yogyakarta.
Kepala Asrama SLB G-AB Helen Keller Suster Patricia, PMY mengatakan SLB ini bukan hanya menyelenggarakan sekolah, namun juga asrama bagi murid-muridnya.
“Selain sekolah, di sini juga ada asrama. Kalau pagi mereka sekolah, setelah itu berkegiatan di asrama,” ujar Suster Patricia, PMY.
Kurikulum yang Digunakan
Menurut Suster Patricia, PMY, meskipun ini Sekolah Luar Biasa, namun tetap ada pembagian jenjang sekolah seperti SD, SMP, SMA.
Murid-murid terbagi menjadi dua kelompok, yaitu anak-anak yang mampu secara akademis (menurut berkebutuhan khusus) dan yang mengalami hambatan intelektual. Jadi tetap mempunyai kurikulum pembelajarannya sendiri.
Sebelum pandemi, di dalam satu kelas hanya terdapat dua hingga empat orang murid yang masing-masing didampingi oleh satu guru.
Hingga saat ini, total jumlah murid di SLB/G-AB Helen Keller sebanyak 33 orang, sementara Asrama Helen Keller dihuni sebanyak 25 anak.
“Murid yang lainnya ngelaju, karena rumahnya dekat,” ujar Suster Patricia, PMY.
Kesulitan Bagi Anak dan Pendamping
Tantangan yang sangat dirasakan guru, pendamping dan suster di SLB/G-AB Helen Keller Yogyakarta terkait pembelajaran daring adalah orang tua yang tidak punya perhatian khusus kepada anak dan hal tersebut akan berakibat pada mereka.
“Kesulitannya pasti luar biasa, apalagi mereka berkebutuhan khusus. Kalau orang tua tidak punya perhatian, ya kasihan anak,” tutur Suster Patricia, PMY yang juga mendampingi anak-anak.
Pendampingan orang tua pada saat pembelajaran daring memang menjadi kunci utama bagi proses perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus selama masa pandemi. Perhatian tersebut harus diberikan secara ekstra karena memang anak-anak tidak dapat belajar mandiri.
“Di sisi lain, ya kami tahu orang tua tetap harus bekerja, kakaknya yang mungkin masih sekolah dan adiknya yang belum tentu bisa,” ungkap Suster Patricia, PMY terkait tantangan yang harus dilalui oleh anak-anak berkebutuhan khusus.
Sementara, sebelum terjadi pandemi, kehidupan anak-anak sepenuhnya terjadi di SLB/G-AB Helen Keller Yogyakarta. Mulai dari pagi hari yang belajar akademis dan keterampilan di sekolah, lalu siang dilanjutkan aktivitas di Asrama.
Selain itu, kesulitan juga dijumpai melalui bahasa yang digunakan oleh anak-anak berkebutuhan khusus, yang tentunya sudah dipahami oleh guru dan pendamping. Sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik.
“Kesulitan utama mereka kan berada di komunikasi itu, jadi setelah pandemi, ya mereka kehilangan banyak sekali komunikasi dan interaksi,” tegas Suster Patricia, PMY.
Bahasa isyarat menjadi alat komunikasi bagi anak-anak yang berada di SLB G-AB Helen Keller, namun tidak semua orang tua memahami, sehingga komunikasi dengan anak pun akan makin sulit.
“Ada peristiwa, karena anak tidak bisa dimengerti ditambah orang tua yang tidak bisa memahami, jadi anaknya marah, stres dan orang tuanya juga ikut stres,” ungkap Suster Patricia, PMY tentang kesulitan yang dialami orangtua.
Hal yang terpenting di saat seperti ini adalah dukungan dari orang tua, ketika orang tua aktif, anak secara tidak langsung akan merasa didukung, dan sebaliknya.
Setiap Proses Sangat Berarti
Menurut semua guru, pendamping dan suster-suster di SLB/G-AB Helen Keller Yogyakarta, perkembangan sekecil apapun adalah sebuah kebahagiaan dan menjadi sesuatu yang berarti.
“Kami (guru, pendamping, suster) memperhatikan hal-hal kecil dan sederhana dari murid-murid kami, karena itu adalah sebuah pencapaian,” ucap Suster Patricia, PMY.
Mengenai rencana proses belajar mengajar ke depan, Suster Patricia, PMY mengungkapkan bahwa SLB/G-AB Helen Keller akan mengikuti segala hal yang pemerintah tetapkan. Jika sudah diperbolehkan, murid-murid tetap akan masuk dengan persyaratan yang ketat.
“Dari segi administrasi, tentu harus ada surat izin dari orang tua, surat keterangan sehat dari dokter. Kalau secara praktis, ya kita pasti sudah siapkan yang terbaik,” pungkas Suster Patricia, PMY.
Selain pembelajaran secara akademis melalui daring, kegiatan asrama juga dilakukan secara daring.
Saat ini yang menjadi concern sekolah maupun asrama adalah penggunaan masker kepada anak-anak berkebutuhan khusus, yang pasti diperlukan agar dapat beradaptasi di keadaan yang baru. []
Kontributor: Maria Nariswari, Laurencia Eprina Dian, Kevin Aditya (Universitas Atma Jaya Yogyakarta).

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.