Katolikana.com—Berawal dari mimpi pergi ke pedalaman setelah membaca buku tentang Indonesia di perpustakaan SMA, Andrena Monica Widiyawati (29) berangkat ke Kecamatan Serawai, Kalimantan Barat, sebagai edukator dan social volunteer tahun 2018.
Selain dari buku bacaan, Monic juga terinspirasi sosok Butet Manurung yang membuka sekolah rimba.
“Ditambah aku pernah nonton di televisi tentang sekolah anak rimba yang dibuat oleh Butet Manurung di pedalaman Jambi,” ujar Monic.
View this post on Instagram
Untuk merealisasikan mimpinya saat SMA, Monic mencari komunitas yang dapat memfasilitasi pergi ke pedalaman Indonesia.
Ia menemukan satu komunitas untuk menjadi voluntir di Papua. Namun sayang, ia telat saat mendaftar.
“Ternyata ada kesempatan lain. Kebetulan temanku bergabung dengan Misionaris Awam Vinsensian Indonesia (MAVI) yang didampingi romo dari Kongregasi Misi dan awam,” jelas Monic.
Ada dua alasan yang membuat wanita kelahiran Madiun ini yakin untuk bergabung dengan MAVI.
Pertama, ia ingin mengeksplore Indonesia di luar Jawa. Kedua, ia ingin memberi diri mengajar di daerah-daerah pedalaman.
“Saat mahasiswa aku tertarik pada isu-isu sosial. Dari situ aku sadar ada ketimpangan pendidikan dan banyak hal antara Jawa dan luar Jawa,” terang Monic.

Bermisi ke Kalimantan
Sebelum berangkat ke Pulau Kalimantan, ia mencari informasi sebanyak mungkin dari internet dan mengikuti formatio oleh tim MAVI.
“Saat mengikuti formatio, aku makin mengetahui apa yang nantinya aku kerjakan di Kalimantan. Hal ini makin meyakinkan aku untuk memberikan diri dan membantu anak-anak supaya belajar hal-hal baru,” tambah Monic.
Kalimantan menjadi tujuan Monic memulai pelayanan. Ia melihat bahwa di Jawa, akses lebih mudah didapatkan dibanding daerah di luar Jawa. Latar belakang budaya yang berbeda menuntutnya untuk cepat beradaptasi.
Ia bersyukur ia tipe orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
Kendati demikian, ia masih menemukan kesulitan, misalnya soal makanan dan bahasa.
“Budaya yang menurutku masih perlu adaptasi setiap hari adalah makan. Orang Serwai memiliki cita rasa masakan gurih, asam, asin dan pedas. Aku sebagai orang Jawa kadang makanannya ada tambahan gulanya sedikit. Bahasa juga menjadi faktor yang sulit untuk dipelajari,” jelas Monic.

Banyak Job
Di Serawai, Monica mengerjakan banyak hal. Selain menjadi tenaga pendidik di sekolah formal, ia juga memiliki tanggung jawab di luar sekolah.
Ia menjadi kakak pendamping Asrama Putra Santo Antonius Serawai, melatih koor, dan mendampingi anak-anak muda di Gereja.
Monic juga berinisiatif untuk membentuk kelompok belajar usia dini.
“Setiap 17 Agustus saya membantu melatih anak-anak melakukan aubade siswa SMP sekecamatan. Biasanya membantu WKRI Latihan koor di gereja, mengajar anak-anak bahasa Inggris secara gratis untuk anak TK-SD. Yang ikut lumayan banyak, tidak hanya anak Katolik. Menjelang Natal dan Paskah saya membuat event-event yang mengasah kreativitas anak-anak,” tambah Monic.

3 Fenomena Baru
Selama menjalani tugas dan mendampingi anak-anak di pedalaman, ia menemukan tiga fenomena yang tidak pernah ia temukan di Jawa.
1. Banyak anak SMP kelas VII belum bisa membaca dengan lancar.
“Aku tidak habis pikir bagaimana mereka bisa lulus SD dengan kondisi membaca yang masih terbata-bata. Tentunya hal itu menyulitkan mereka dalam mengikuti proses belajar. Apa lagi mata pelajaran di SMP sangat kompleks,” jelas Monic.
2. Kasus pernikahan usia dini.
Banyak anak putus sekolah dan akhirnya berkeluarga. Hal ini dilatarbelakangi faktor keluarga, ekonomi, dan pendidikan.
“Ketika seorang anak tidak bisa melanjutkan pendidikan, menikah menjadi solusi terakhir yang diambil”, tambah Monic.
3. Banyak anak usia dini mengalami putus sekolah akibat bekerja.
Pertambangan emas tanpa ijin menjadi faktor banyaknya anak tidak melanjutkan pendidikan. Ketika libur dan pulang ke kampung, mereka bekerja sebagai penambang emas tanpa ijin dengan dalil membantu orang tua.
“Ketika mereka sudah tahu betapa enaknya mendapatkan uang, mereka memutuskan untuk berhenti melanjutkan sekolah,” ucap perempuan bersuara merdu ini.
Dengan situasi seperti itu, Monic makin semangat untuk mengabdikan diri di dunia pendidikan secara formal maupun informal di pedalaman.
Ia kerap kali mengunjungi keluarga murid-murid dan anak asrama sekadar berbincang dengan orang tua mereka.
Pendekatan seperti ini dilakukan agar orang tua memiliki wawasan terhadap pentingnya pendidikan.

Pelajaran Berharga
“Selama di pedalaman aku belajar tentang kesederhanaan dan bagaimana kita harus belajar bertahan hidup dalam situasi apapun,” jelas Monic.
Ia sering berjumpa dan mengenal orang-orang yang memiliki kesederhanaan luar biasa.
“Orang-orang yang kutemui kebanyakan hidup dalam kesederhanaan luar biasa. Bahkan, kadang yang penting mereka bisa hidup saja udah cukup,” ujar Monic.
“Seringkali kita melihat kebahagiaan hanya soal materi belaka. Ketika aku di sana bukan jadi nomor satu. Ternyata hidup berdampingan dengan alam, makan hasil bumi secara langsung itu juga bikin bahagia,” tambahnya.
Dari pengalaman menjadi social volunteer dan edukator di pedalaman Kalimantan, Monic berharap anak-anak di mana pun berada khususnya pedalaman Indonesia tidak berhenti untuk belajar.
“Belajar bisa dilakukan di mana saja dengan cara apa saja,” tambah Monic.
Bai orang muda Katolik, Monic berharap sebagai generasi gereja dan bangsa kita mesti punya kepekaan lebih terhadap lingkungan sekitar dan lingkungan sosial.
“Mari kita berjumpa dengan Tuhan dalam setiap karya dan pelayanan yang kita lakukan serta dalam setiap perjumpaan kita dengan orang lain yang membutuhkan. Finding God in all things!” tutupnya.
Kontributor: Gladiyo (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.