Katolikana.com—Hari ini, dua belas tahun silam, satu gereja muda berdiri di timur Jakarta. Uskup Agung Jakarta meresmikan Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang, tepat pada tanggal 29 Juni 2011. Sebagai paroki yang lahir sejak tahun 1995, penantian selama enam belas tahun adalah harga yang harus dibayar oleh umat Pulo Gebang untuk dapat memiliki sebuah gereja.
Aplikasi navigasi adalah kunci utama untuk menemukan keberadaan Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang. Sebab lokasinya tidak berada di tepi jalan raya, melainkan di dalam komplek perumahan. Tepatnya, di salah satu sudut Perumahan Pulo Gerbang Permai. Berbatasan tembok dengan komplek Rusunawa Pulo Gebang.
Menilik dari lokasinya yang menyempil di dalam komplek perumahan, tampak jelas gereja ini adalah salah satu gereja yang berdiri pasca pergantian milenium. Kelahirannya seiring dengan fenomena tumbuh suburnya pemukiman-pemukiman baru di pinggiran Jakarta.
Berbekal bantuan navigasi dari Google Maps, saya arahkan kendaraan untuk mencari jalan menuju ke gereja ini. Memasuki komplek Perumahan Pulo Gebang Permai, saya coba melemparkan pandang ke sekitar, mencari sekiranya ada petunjuk yang menunjukkan arah ke gereja.
Hasilnya? Nihil. Tak ada satu petunjuk pun di dalam komplek perumahan yang dapat dijadikan ancar-ancar untuk menuju gereja ini. Untunglah, Google Maps sudah cukup untuk memandu saya hingga sampai ke tujuan.
Bukan hanya ketiadaan penunjuk arah yang membuat gereja satu ini terkesan tersembunyi. Sesampai di lokasi, penanda identitas gereja pun hanya diwakili oleh satu papan nama di gerbang masuk. Papan tersebut bertuliskan “Gereja Katolik Santo Gabriel Paroki Pulo Gebang” disertai jadwal misa dan alamat gereja.
Gereja Fungsional
Semisal tiada papan nama, wajar belaka jikalau ada yang menyangka bangunan ini adalah gudang. Bagaimana tidak, bangunan ini menolak bentuk gereja yang lazim dikenal publik. Penampakannya jauh dari gereja pada umumnya.
Tampilannya justru sangat kental dengan nuansa industrial. Kalau mau berimajinasi sedikit lebih jauh, wajah gereja ini laiknya sebuah galeri seni kontemporer.

Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang tak berhiaskan kubah berdiameter raksasa atau atap menjulang tinggi, laiknya gereja-gereja kuno bergaya barok atau gotik nan grandeur. Terlahir dengan konsep modern minimalis, desain gereja ini menitikberatkan pada aspek fungsional. Ia tak banyak bergenit-genit dengan ornamen simbolik.
Bahkan, gereja ini dibangun tanpa salib yang terpacak di bubungan atap atau menempel di bangunan utamanya. Tak terpampang pula atribut kristiani lainnya demi menandakan bangunan ini adalah sebuah gereja.
Setelah melangkahkan kaki memasuki komplek gereja, barulah terlihat beberapa elemen khas yang menunjukkan identitas bangunan ini sebagai gereja.
Terdapat patung Malaikat Agung Santo Gabriel setinggi kurang lebih tiga meter yang terpacak gagah diantara dua bangunan utama di Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang: gedung gereja itu sendiri dan gedung karya pastoral. Kedua gedung ini memiliki bentuk balok yang senada. Warna monokrom putih dan abu-abu menjadi kelir yang mendominasi keseluruhan komplek gereja ini.
Bentuk gereja yang hanya serupa balok seakan ingin menunjukkan kesahajaan gereja di tengah masyarakat Jakarta Timur. Adapun kesan blatant dari bentuknya yang masif coba diperlembut dengan selubung fasad sekunder berwarna putih. Permainan pola lingkaran dan garis-garis vertikal pada fasad sekunder juga mampu menambah kesan agung pada bangunan balok yang sederhana ini.
Tak hanya mempercantik estetika bangunan, fasad sekunder berguna pula untuk mengurangi paparan sinar matahari berlebih yang masuk ke dalam gereja. Mengingat lokasi gereja berada di tengah kawasan Pulo Gebang yang kerap terpapar panas terik di siang hari.
Adapun perhentian jalan salib tertata rapi di sekeliling sisi dalam tembok komplek gereja. Senada pula, ornamen Via Crucis di tempat ini juga turut memiliki nuansa modern minimalis. Empat belas peristiwa jalan salib tidak divisualkan melalui ukir-ukiran rumit. Mereka cukup tergambarkan dalam siluet simpel berkelir putih dan abu-abu.

Satu hal yang patut diapresiasi, meski mengusung tampilan yang sederhana, Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang mengupayakan aksesibilitas yang maksimal di komplek gereja.
Dua gedung utama di komplek tempat ibadah ini turut dilengkapi lift dan ramp sebagai sarana memudahkan akses bagi lansia, ibu hamil, dan penyandang difabel. Ada pula toilet tersendiri untuk memfasilitasi umat yang memiliki kebutuhan khusus. Dua hal ini biasanya justru absen di gereja-gereja yang berusia jauh lebih tua.
Puas mengamati detail gereja ini dari luar, saya pun mencoba masuk ke dalam.
Menabrak Pakem
Memasuki bagian dalam gereja, segera saja altar gereja ini memantik perhatian saya dengan cara yang artistik sekaligus dramatik.
Seyogyanya sebuah Gereja Katolik, salib utama di atas altar adalah elemen utama yang semestinya diposisikan untuk menjadi pusat perhatian umat. Begitu pun dengan di gereja ini. Tak banyak detail ornamen yang menghiasi interior gereja. Sisi dalam gereja ini terkesan biasa saja. Dengan demikian, umat akan langsung tergerak untuk melemparkan perhatian langsung ke altar gereja.
Uniknya, salib utama di atas altar gereja ini tak terpacak di sisi tengah altar. Secara nyeni, salib utama sengaja digeser di sisi kiri altar. Bahkan, mungkin terasa agak tidak tepat menyebut “salib utama”, sebab Yesus di gereja ini tak tergantung di atas salib.

Penggambaran figur Yesus di altar gereja ini jelas menabrak pakem tradisional gereja pada umumnya. Akan tetapi, tentunya tindakan ini bukan gestur secara kurang ajar menyingkirkan figur sentral Yesus di atas altar. Melainkan ruang kosong di sisi tengah altar sengaja disediakan sebagai layar untuk menembakkan citra visual dari LCD proyektor.
Namun, saya sendiri tak menganggap figur Yesus “dikalahkan” oleh LCD proyektor. Posisi Yesus yang tergantung di sisi kiri altar, justru membuat seluruh umat yang berhimpun di gereja ini seakan berada di sisi kanan Yesus. Secara implisit, posisi itu mirip dengan posisi Santo Dismas—penyamun yang ikut disalib di sisi kanan Yesus.
Tak seperti Gestas—penyamun di sisi kiri Yesus, di akhir hidupnya Santo Dismas mengakui Yesus adalah Mesias dan memohon agar Yesus mengingatnya ketika Ia datang sebagai raja. Yesus sendiri seketika itu juga langsung bersabda kepada Santo Dismas, “Hari ini juga engkau akan bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” (Luk 23:43).
Bagi saya, itu makna tersirat yang subtil dan terasa indah. Meskipun umat menusia selalu berkalang dosa, tetapi—seperti Santo Dismas—kelak diharapkan kita semua dapat berjumpa dengan Yesus di Firdaus.
Ditambah lagi, Yesus tergantung dengan kedua tangan terentang tanpa kayu salib yang melatari. Cara penggambaran yang serupa dengan patung Corpus Christi di Gereja Anak Domba Cilangkap.
Tentu saja salib tetaplah tanda karya keselamatan Tuhan atas umat manusia. Akan tetapi, patung Yesus yang tergantung tanpa salib dapat pula dimaknai bahwa umat Pulo Gebang diajak ikut memanggul salibnya masing-masing.
***
Sehingga, bisa dibilang gereja ini merupakan saksi bisu pesatnya pertumbuhan komunitas Kristiani di tepian Jakarta. Eksistensi gereja ini selama satu setengah windu terakhir juga menjadi oasis spiritual bagi umat yang penat didera rutinitas urban. Ia menjadi sarana agar umat tetap mampu mendalami iman mereka di tengah hiruk pikuknya kehidupan di ibu kota.
Sebagai paroki yang telah lahir sejak tahun 1995, penantian adalah harga yang harus dibayar oleh umat Pulo Gebang untuk memiliki sebuah tempat ibadah. Enam belas tahun umat Pulo Gebang mesti bertekun dalam doa dan usaha demi mewujudkan keberadaan Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang.
Alhasil, gereja muda ini dituntut untuk adaptif. Ia mesti menghindari kesan eksklusif untuk tidak mempertajam perbedaan dan kesenjangan di tengah masyarakat. Maka, ia dirancang dengan wajah yang modern.
Bagi umat Katolik, ia mesti tumbuh seiring zaman. Ia harus hadir dengan wajah yang bersahabat sesuai dengan ekspresi iman umat hari ini. Sementara bagi masyarakat umum, ia menolak tampil sebagai menara gading yang penuh kemegahan. Sehingga tampilan bersahaja dipilih untuk membuat gereja ini mudah untuk mendekatkan diri dengan semua orang.
Sesuai dengan nama santo pelindungnya, Gereja Santo Gabriel Pulo Gebang tampaknya memang ingin kehadirannya bisa menjadi kabar gembira bagi siapa saja.
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha