Bacaan-bacaan dalam Injil kerapkali menampilkan perempuan dalam situasi “terluka”. Mereka tersingkir secara sosial, bukan warga utama, sakit, berdosa, bahkan tak disebutkan namanya. Namun tak jarang, perjumpaan dengan Yesus mengubah dan mampu membangkitkan mereka menjadi perempuan-perempuan yang terhormat dan memiliki peran penting dalam karya keselamatan Allah. Tak jarang pula, mereka mengambil peran sebagai pemimpin.
Mari kita lihat seorang perempuan Samaria, yang tidak disebutkan namanya, yang ditulis Injil Yohanes (Yoh 4:1-42). Dari bacaan ini, kita bisa melihat bahwa kehidupan perempuan ini amat suram. Ia kawin-cerai sebanyak lima kali. Dikisahkan, ia pergi sendiri mengambil air di pinggiran kota. Penampilan perempuan ini melukiskan ekspresi sosial masa itu, yang ditandai dengan pemisahan dan pertentangan antara laki-laki-perempuan, berkuasa tak berdaya, superior-inferior.
Di bibir sumur, si perempuan ini seperti mendapat pencerahan setelah berjumpa dan bercakap dengan Yesus. Seolah dia mencairkan kebekuan strata sosial masyarakat. Ia berani menerobos budaya tabu. Bayangkan saja, seorang perempuan berbicara akrab dengan laki-laki yang belum ia kenal, di tempat yang sangat khusus. Ia berani mendobrak tatanan budaya kala itu. Di balik ketakberdayaan, ia tampil laksana seorang pemimpin.
Perempuan ini dengan sikap terbuka mendengarkan semua ucapan dan ajaran Yesus. Sikap terbuka telah mengubah hidupnya. Setelah pengalaman perjumpaan dengan Yesus, perempuan tak bernama ini pergi ke kota-kota, dan mulai mewartakan Kabar Gembira. Ada perubahan luar biasa dalam diri perempuan ini. Dia yang semula dikisahkan lemah, tak berdaya, langsung mengalami perubahan dan memiliki kekuatan.
Keberanian sang perempuan ini justru mengalir dari sikap rendah hati, terbuka, dan sederhana. Jiwa kepemimpinannya lahir dari kesadaran bahwa ia kuat dalam kelemahan. Sikap rendah hati, terbuka, dan sederhana justru mengalirkan semangat kepemimpinan yang kuat dalam diri sang perempuan.
Ia pun pergi dan berkata, bisa jadi di hadapan banyak kaum laki-laki, “Mari lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” Seketika itu banyak orang pergi ke luar kota untuk bertemu Yesus.
Di sini, perempuan itu mengambil sikap dan inisiatif untuk memimpin. Dia tidak menyuruh orang lain mengikuti dia, tetapi mengajak banyak orang melihat dan berjumpa dengan Yesus. Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu.
Kisah ini tentu memberi pelajaran, terutama bagi para perempuan Katolik yang menghidupi zaman ini. Banyak perempuan Katolik yang memainkan peran penting dalam masyarakat yang terkadang masih terbelenggu dengan budaya patriarkal. Mereka mampu dan berani menerobos tembok-tembok pemisah laki-laki perempuan, kuat-lemah, menindas-ditindas. Seolah membenarkan perempuan Samaria itu, mereka mampu, berani, dan kuat karena kelemahannya. Mereka kuat lantaran Yesus dan kebaikanlah yang sedang mereka perjuangkan.
Redaksi
Sumber artikel: http://majalah.hidupkatolik.com/2017/08/27/6730/perempuan-katolik/
Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.