Mengampuni: Jalan Menikmati Sukacita Hidup

Belajar dari Sang Bapa

1 507

Ketika kita tidak mau mengampuni, sesungguhnya diri kita sendirilah yang rugi. Terus menerus menyimpan dendam kepada orang yang pernah menyakiti, hanya akan menyita sebagian dari energi, waktu, dan pikiran kita.

Saat kita menyimpan dendam pada orang lain, justru energi, waktu dan pikiran kita terkuras untuk memikirkan – misalnya – bagaimana caranya untuk membalas rasa sakit hati kita padanya. Hidup kita menjadi tidak bisa lepas bebas.

Maka ketimbang memikirkan cara membalas rasa sakit hati yang tak kunjung henti, bukankan lebih baik energi, waktu dan pikiran itu kita arahkan untuk sesuatu yang berguna bagi hidup kita?

Rasa dendam dan sakit hati membuat kita tak mampu menikmati indahnya hidup yang Tuhan berikan bagi kita.

Rasa dendam dan sakit hati itulah yang membuat kita tidak bersukacita. Itulah hambatan kita merasakan betapa indahnya kasih Tuhan.

Mengapa Harus Mengampuni?

Seorang penulis buku bernama Johan Arnold dalam bukunya Why Forgive memberi definisi yang menarik tentang pengampunan.

Ia menuliskan: “Mengampuni adalah pintu perdamaian dan kebahagiaan. Pintu itu kecil, sempit dan tak dapat dilewati tanpa membungkuk.”

Barangkali definisi ini mau menjawab apa yang selama ini dipahami banyak orang bahwa mengampuni itu sesuatu yang sulit.

Mengampuni memang tidak mudah dilakukan, apalagi kalau harus mengampuni orang yang pernah menyakiti hati kita.

Terhadap mereka yang pernah melukai hidup kita, entah dengan cara apapun (perkataan, tindakan, dll), secara manusiawi kita ingin membalas dendam.

Kita cenderung berpikir bahwa satu-satunya cara agar rasa sakit hati itu terobati adalah dengan membalas seperti yang mereka buat terhadap kita.

“Mata ganti mata, gigi ganti gigi,” demikian prinsip hukum yang termuat dalam Imamat 24:19-21, yang kemudian oleh Yesus diperbarui (lih. Mat 5:38-42).

Prinsip hukum tersebut dinamakan sebagai lex talionis, yakni sebuah asas bahwa orang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama.

Prinsip hukum inilah yang seringkali menjadi penghalang bagi kita untuk memberikan pengampunan.

Dengan tepat Johan Arnold menyatakan pada kita betapa sulitnya mengampuni.

Pengampunan itu ibarat sebuah pintu yang pendek dan sempit. Untuk melewatinya kita harus menundukkan kepala kita.

Dalam hal ini, “menundukkan kepala” berarti kita harus sungguh berani merendahkan diri dan berkorban.

Tindakan orang yang pernah menyakiti kita tentu saja menjadikan hidup kita terluka. Dan pengampunan menjadi cara yang tepat untuk menyembuhkan luka itu.

Itulah “perdamaian dan kebahagiaan” yang akan kita dapatkan bila kita rela mengampuni.

Mengampuni: Sebuah Pilihan

Sering kita berpikir bahwa untuk mengampuni seseorang berarti harus berdamai terlebih dahulu dengan orang tersebut. Atau menunggu orang yang menyakiti kita meminta maaf.

Idealnya memang demikian. Namun seringkali yang ideal itu sulit terwujud. Bisa terjadi bahwa orang yang menyakiti kita tidak mengakui bahwa mereka bersalah, atau bahkan tidak tahu akan kesalahan mereka.

Maka dari itu pengampunan itu merupakan sikap aktif kita agar kita dilepaskan dari derita yang membelenggu kita dari pelaku.

Hal ini tidak bergantung pada apakah pelaku mengakui pelanggaran tersebut, mencari rekonsiliasi, atau masih hidup atau tidak.

Dalam suatu tindakan kriminal yang menyangkut masalah hukum, pengampunan juga tidak berarti si pelaku terbebas dari jerat hukum. Bagaimanapun hukum tetap ditegakkan demi keadilan di tengah masyarakat.

Kalau pihak korban bersedia mengampuni si pelaku, hal itu pertama-tama karena si korban mau menyembuhkan luka dalam dirinya.

Mengenai hal ini, kita bisa belajar dari pengalaman Santo Yohanes Paulus II sewaktu ia masih sebagai seorang Paus yang mengampuni penembaknya, Mehmet Ali Agca pada 13 Mei 1981.

Pengampunan itu merupakan sebuah pilihan.

Dalam memilih,  akan selalu ada hal yang mesti kita korbankan. Dalam hal ini, ketika kita memilih untuk mengampuni, barangkali kita memang harus mengorbankan perasaan dan keinginan kita untuk membalas dendam.

Bisa jadi pula kita merasa bahwa dengan mengampuni, kita membiarkan harga diri kita direndahkan.

Demikian juga sebaliknya, ketika kita memilih untuk tidak mau mengampuni, berarti kita masih terus menerus dilingkupi perasaan benci dan keinginan balas dendam.

Akan tetapi, meskipun sulit, pilihan terbaik bagi hidup kita adalah mengampuni.

Bagi kita, memiliki semangat pengampunan tidak harus menunggu ada masalah besar. Mengampuni juga tidak perlu menunggu orang lain memohon ampun.

Pengampunan itu pertama-tama adalah kebutuhan kita. Kita pula yang akan merasakan manfaatnya, bukan orang lain.

Belajar dari Sang Bapa

Kisah “Anak yang Hilang” dalam Injil Luk 15:11-32 menggambarkan betapa besar kerahiman sang bapa. Meski dikhianati oleh putra bungsunya, sang bapa tetap mau dan bersedia menerimanya kembali.

Bahkan tak hanya itu: hatinya penuh sukacita! Karena itu ia mengajak untuk berpesta sebagai ungkapan syukur.

Kerahiman sang bapa juga tampak dalam kesabarannya menghadapi putra sulungnya, yang diliputi rasa iri hati dan dendam pada adiknya.

Dengan sabar sang bapa menjelaskan pada putra sulungnya arti dari pengampunan.

Melalui perumpamaan “anak yang hilang”, Yesus mengajar kita betapa pengampunan itu adalah sifat dasar dari Allah yang maharahim. Allah selalu mengampuni dan memberi kesempatan bagi setiap orang yang berdosa.

Kita disadarkan pula bahwa buah dari pengampunan adalah sukacita.

Sebaliknya, ketika kita hidup kita diliputi rasa dendam, iri dan benci, perlahan-lahan hidup kita binasa, jauh dari Allah dan tak mampu merasakan betapa indahnya rahmat-Nya.

Mari belajar mengampuni. Itulah jalan menikmati sukacita hidup.

Imam SCJ kelahiran Marga Agung (Lampung). Ditahbiskan sebagai imam di Marga Agung 11 Agustus 2016 oleh Mgr Yohanes Harun Yuwono (Uskup Tanjungkarang). Tahun 2015-2017 berkarya di Komsos Keuskupan Agung Palembang. Dan sejak pertengahan 2017 diutus menjalankan studi lanjut di Yogyakarta.

1 Comment
  1. saya says

    saya sudah berdoa terus terus untuk minta bisa mengampuni. tapi sampai sekarang saya masih belum bebas. kenapa? saya tidak bisa mengontrol diri saya makanya saya berdoa memohon bantuan Tuhan. Tapi kenapa seolah Tuhan tidak mau membantu saya dan membiarkan saya terus di kekang perasaan ini

Leave A Reply

Your email address will not be published.