Sareng ing sontenipun, wonten tyang sugih sing kithanipun, ing arimatea, Yusuf kang wewangi, ingkang ugi inggih sampun, umanjing siswa sayektos.
Nggih siswane Sang Kristus, Seba ing ngarsane Sang Pilatus, Nedya nyuwun Layonipun Kanjeng Gusti, Gya pinetak punang layon.
Klayan mori resik mungguh, sarta dipunpetak ing pepunthuk, ingkang dipuntatah akanthi prayogi, dalah kubur wau durung, nate kangge ngubur layon.
Ini adalah lirik tembang Macapat berjudul “Gusti Yesus Kasarekake” yang diambil dari Injil Matius 27: 57-61. Lirik ini menceritakan tentang seorang murid Yesus, Yusuf dari Arimatea yang meminta mayat Yesus untuk dikuburkan dalam bukit batu dengan batu besar yang menjadi pintunya.
Tembang Macapat tersebut bisa didengarkan pada Podcast berikut:
Lewat seni Macapat inilah, Fendi Susanto, pendeta di Gereja Kristen Jawa di Yogyakarta menyebarkan nilai-nilai agama dan menjadi cara untuk menyampaikan sabda Tuhan. Kecintaannya terhadap budaya Jawa dijadikan sebagai langkah menyebarkan nilai agama, khususnya Kristen.
Belajar Pedalangan Sejak SMA
Saat duduk di bangku SMA, Fendi mulai belajar seni pedalangan. Sejak itu, Fendi mulai mengenal tembang macapat yang merupakan dasar dari pertunjukan dalang.
“Awalnya belajar dalang. Lalu belajar macapat. Dari situ mulai biasa dengan dua seni itu,” ungkapnya.
Pertemuannya dengan tembang macapat akhirnya melahirkan kecintaan tersendiri dan menjadi kebiasaan yang tidak bisa dipisahkan lagi.
Kebiasaan tersebut sengaja tak dihilangkan oleh Fendi, bahkan setelah menjadi pendeta.
Baginya, macapat dan pedalangan dapat digunakan sebagai selingan di kala bosan dengan cara penyampaian nilai-nilai Kristen yang monoton.
Karena itu, lirik tembang yang digunakannya kemudian berbeda dengan tembang pada umumnya. Untuk tembang agama, lirik diambil dari Injil atau ajaran-ajaran Kristen.
Memang tak mudah jika menyoal penggunaan bahasa Jawa. Apalagi, jika dipentaskan di luar Jawa. Namun, Fendi tak terlalu memegang erat peraturan yang sudah ditetapkan.

Inovasi Menjadi Kunci
Selalu berinovasi menjadi kuncinya dalam menyampaikan firman Tuhan. Salah satu caranya adalah menyesuaikan bahasa dan gaya penuturan dengan audiens.
Ia menggunakan bahasa Jawa ngoko alus ketika penontonnya adalah anak kecil atau remaja. Bahasa Jawa kromo inggil digunakan ketika audiensnya berisi orang tua. Untuk membantu penonton yang tak memahami bahasa Jawa, Fendi selalu menterjemahkan isi dari liriknya.
Dona Windasari, warga Gereja Kristen Jawa (GKJ) Gondokusuman mengaku sangat antusias dengan cara yang dilakukan Fendi. Menurut Winda, langkah ini merupakan media yang kreatif sehingga lebih mudah dipahami oleh orang lokal Jawa.
“Agama jadi lebih cepat dimengerti karena menggunakan perantara budaya dan kesenian asli suatu daerah. Kalau terlalu Inggris, orang Jawa tidak paham dan tidak mau mendalami agama itu pastinya,” ujar Winda ketika ditemui Dona Sandra, kontributor Katolikana.com
Soal waktu penggunaan macapat, Fendi tak pernah berusaha membatasi. Ia kerap menyanyikan tembang di radio, kunjungan sarasehan, kegiatan pendalaman alkitab, bahkan saat tengah bersantai ditengah waktu senggangnya.
“Penggunaan tembang macapat itu bisa di mana saja. Yang penting audiens itu tahu,” ujar Fendi.
Fendi mengungkapkan dirinya mengikuti langkah para leluhur yang menggunakan tembang macapat untuk menyebarkan nasehat atau petuah kehidupan.
Dengan motivasi melestarikan budaya yang diwariskan oleh para leluhur, Fendi terus berusaha menggunakan macapat dan dalang sebagai media menyampaikan pesan.
Inkulturasi untuk Menyebarkan Injil
Ia melakukan inkulturasi budaya di mana budaya lokal digunakan untuk memberitakan kabar baik dan nilai-nilai Kristiani.
Terbukti, langkahnya membuahkan hasil positif dari orang-orang sekitar. Cara penyampaiannya yang berbeda menjadi daya tarik tersendiri agar orang mendengar. Tak jarang, orang meminta lirik tembang yang dipentaskannya.
Agar tidak dinilai terlalu kuno, Fendi mengungkapkan, macapat dapat digabungkan dengan alat-alat musik modern. Macapat dapat melebur dengan aliran musik yang lebih modern seperti keroncong atau campur sari.
Dengan sikap setianya melestarikan budaya Jawa, Fendi berharap akan tetap ada generasi penerus yang mengerti dan menghargai warisan leluhur, serta ikut melestarikan agar macapat tidak mati. []
Kontributor: Dona Sandra, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Yohanes Widodo alias masboi. Guru jurnalisme di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ayah dua puteri: Anjelie dan Anjani. Bisa dihubungi melalui fb.com/masboi, Twitter @masboi, atau IG @idmasboi.