Antologi Secarik Kisah: MENYELAMI ‘SOCRATES’ DI TANAH JAMBI – 5

Kisah dan pengalaman unik seorang seminaris live in di Muara Bungo, Jambi.

0 252

Aku bukan seorang pejuang, apalagi pujangga, dan juga bukan

sastrawan termahsyur.

Aku adalah seorang pejuang, pejuang dalam

diri dan hidupku sendiri.

Matias Dwi

 

Setiap tahun yang kelas Poesis (tingkat III di Seminari Palembang) pasti mengalami live-in. Kegiatan live-in berarti hidup atau tinggal di suatu tempat dengan maksud tertentu. Itu menjadi kesempatan yang sangat bagus sekaligus menarik perhatian kami, terutama aku untuk mengenal suatu tempat dan juga masyarakat. Diandaikan bahwa, kami yang live-in sudah dianggap matang dan dewasa untuk terjun ke dalam masyarakat yang memiliki latar budaya dan perbedaan kondisi. Khususnya bagi masyarakat Katolik di regio Sumatera ini.

Aku mendapat kesempatan untuk merasakan pengalaman di Stasi Santa Maria Tebo. Dengan jarak tempuh 14 jam, aku semakin tertantang untuk menggali pengalaman di sana. Kami menggunakan angkutan khusus seminari yaitu mobil Mitsubishi Starwagon L300 berwarna putih. Aku dan teman-teman yang lain mesti menahan panas, gerah dan harus berselonjor di lantai dalam mobil.

Perjalanan menuju ke Muara Bungo ini begitu banyak dengan cerita dan pengalaman. Mulai dari tempat yang panas, sesak sampai cerita tentang kelompok dari mobil saya yang tersesat. Hal tersebut dikarenakan Romo Sepiono, SCJ (pembimbing kami) mengikuti arahan Google Maps. Tidak hanya itu, beliau juga sempat meneriaki seorang pengendara motor berbonceng saat menyalip mobil kami dengan sangat nekat dan hampir bersenggolan.

Singkat cerita, aku ditempatkan dalam keluarga yang bisa kubilang “berada”. Keluarga pertama memiliki dua mobil yaitu satu mobil Terios putih, Strada dan juga dua buah motor. Selain itu rumah yang mereka miliki pun sangat besar dan bertingkat. Tak kalah hebatnya, keluarga kedua yang aku tempati pun juga dapat dibilang “berada”. Keduanya sama-sama pemilik kebun yang sangat luas sawit.

Dari keluarga Pak Manullang (salah satu keluarga yang aku tempati), aku benar-benar dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Begitu pun dengan Bu Nadeak, istri beliau. Pernah suatu ketika saat sedang makan malam si ibu berkata kepadaku, “Kalau makan ndak pakai tangan, orang Batak bilang ndak sedap nak.

Di rumah yang cukup besar dan tinggi itu hanya berpenghuni dua orang saja, ditambah aku menjadi tiga orang. Maklum saja, ketiga anak mereka (satu perempuan dan dua orang anak laki-laki) menempuh pendidikan di luar Muara Bungo. Mereka pulang kalau libur. Mungkin itu yang membuatku dianggap seperti anak sendiri oleh Pak Manullang dan Bu Nadeak. Kebutuhan makanan, minum dan lain sebagainya sangat terjamin. Ini semakin membuatku kerasan dan nyaman tinggal.

Selain itu pengalaman-pengalaman yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya pun aku dapatkan lewat keluarga ini. Misalnya saja, ikut panen dan mengenal tentang kelapa sawit, belajar bahasa Batak, ikut ke pabrik pengolahan kelapa sawit dengan medan dan jarak yang ekstrim, makan makanan orang Batak, perkumpulan orang Batak.

Suatu saat, setelah rapat stasi tentang pembangunan kapel orang Batak, kami tidak langsung pulang. Kami beramah-tamah. Yang menjadi permasalahan adalah obrolan mereka bawakan dalam bahasa Batak. Pengetahuanku akan bahasa Batak sangat minim. Aku hanya mengetahui arti angka dalam Bahasa Batak. Selebihnya aku tidak tahu. Sada (satu), dua, tolu, opat dan seterusnya sudah aku pelajari beberapa waktu sebelum live in.

Dalam obrolan tersebut ada rasa jengkel dan bosan. Untuk beberapa saat, aku mencoba untuk sedikit “ meringis ” sok tahu. Agar dilihat mengikuti dengan seksama. Dapat dibilang menjadi audience yang baik.

Suatu malam saat berada didalam mobil bersama kedua orangtua angkat dan juga seorang ibu bersama anak gadisnya, mereka mengobrol dengan sangat aktif menggunakan bahasa Batak cukup lama. Hingga ibu angkatku sadar lalu menoleh kepadaku dan berkata “Ndak apa-apa ya nakku. Nanti lama-lama kau juga terbiasa dengan bahasa Batak.” Dalam hati aku hanya bergumam dan tertawa kecil.

***

Matias Dwi

Pengalaman baru lainnya sudah menungguku di sebuah keluarga yang bersuku Batak juga. Dibandingkan dengan keluarga Pak Manullang, keluarga pak Hutauruk memiliki anak yang sudah mapan semua dan telah menikah. Beliau menjabat sebagai ketua stasi Tebo. Memang tak jauh berbeda dengan pengalaman saat berada di keluarga pertama tadi. Hanya saja, di keluarga ini aku lebih sering jalan-jalan menggunakan motor.

Aku berkendara dengan tujuan mengunjungi seorang anaknya yang berada beberapa kilometer dari rumah bapak tersebut. Bahkan aku beberapa kali menginap dan mengadakan acara kecil-kecilan di rumah anaknya. Aku dan seorang teman seminaris, yaitu Tinon Bayu, sering bertemu dalam keluarga-keluarga tersebut. Pada intinya kami hanya bertukar rumah saja.

Dari pengalaman ini, saya mengajak kita semua untuk memupuk hidup sosial dengan baik. Kita diciptakan Tuhan untuk bisa hidup bersosial dengan orang-orang di sekitar kita. Misalnya saja suku Batak. Kita bisa mengambil contoh tentang rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang sangat erat dari para anggota suku ini.

Terkadang, kita hanya memandang dari perspektif masing-masing suku dan ras di sekitar kita. Kebudayaan mereka adalah kebudayaan kita semua. Terlebih sebagai umat Katolik, kita adalah saudara seiman dan setanah air. Setiap suku dan orang di sekitar kita memiliki adat, nilai dan budayanya masing-masing. Hal itu dapat menambah wawasan dan kekayaan bangsa Indonesia.

***

Proses demi proses telah kulalui, hingga pada tahap penempatan diri secara tegas di dalam kegiatan live-in. Sebuah ajakan bagi diriku untuk terus terlibat dalam pembentukan diri ketika berada di sebuah lingkungan yang baru.

Dari pengalaman tersebut, aku mencoba untuk memahami kata-kata seorang filsuf Yunani yang cukup terkenal, Socrates. Ia mengatakan, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dijalani”. Mungkin kalimat ini dapat menjadi sebuah sindiran bagi mereka yang memang tidak mau menggali nilai-nilai kehidupan yang sering dijumpai di masyarakat.

Dari tanah Bungo, aku semakin sadar akan begitu kuatnya harapan umat akan gembala masa depan. Menginjakkan kaki di bumi Jambi menjadi sebuah pengalaman yang membanggakan sekaligus mengesankan yang pernah aku alami.

Melalui pengalaman ini, semoga aku semakin dikuatkan untuk menjadi seorang gembala. Tentu umat Allah tidak hanya seluas lahan kelapa sawit di Muara Bungo. Demi pelayanan itulah aku hadir untuk menjadi abdi Allah dan umat-Nya.

Aku mencoba memahami kata-kata seorang filsuf Yunani yang cukup terkenal, Socrates, “Hidup yang tidak direfleksikan tidak layak dijalani.”

Penulis: Matias Dwi 

*Antologi Secarik Kisah adalah karya para seminaris St. Paulus Palembang kelas Rethorica A yang menyelesaikan studinya pada Mei 2019 ini.

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.