Katolikana.com, China — Dari sebuah laporan pemerintah AS terungkap bahwa pelanggaran hak asasi manusia di China telah memburuk pada tahun lalu. Secara khusus, laporan itu menyoroti meningkatnya penganiayaan terhadap umat Katolik China setelah perjanjian Vatikan-Cina tahun 2018.
“Selama tahun pelaporan 2019, Komisi Eksekutif-Kongres untuk China menemukan bahwa situasi hak asasi manusia telah memburuk dan supremasi hukum terus memburuk, karena pemerintah dan Partai China semakin menggunakan peraturan dan hukum untuk menegaskan kontrol sosial dan politik,” sebut laporan yang dirilis pada hari Rabu, 8 Januari 2020, seperti dilansir dari catholicnewsagency.com.
Pada laporan itu juga terungkap bahwa setelah Kementerian Luar Negeri Republik Rakyat China menandatangani perjanjian dengan Tahta Suci pada September 2018 membuka jalan untuk menyatukan komunitas Katolik bawah tanah yang disetujui negara.
Otoritas Tiongkok setempat menjadikan umat Katolik di China sebagai obyek penganiayaan dengan menghancurkan gereja-gereja, menghapus salib, dan terus menahan rohaniwan bawah tanah.
Rentang waktu pengamatan atas laporan tersebut dimulai sejak Agustus 2018 hingga Agustus 2019. Komisi ini dibentuk oleh Kongres pada tahun 2000, ketika Tiongkok ditetapkan masuk Organisasi Perdagangan Dunia, untuk melaporkan hak asasi manusia di negara itu dan untuk memelihara basis data tahanan politik.
Di laporan tersebut juga tercatat munculnya kamp-kamp pengasingan massal di provinsi barat Xinjiang, penganiayaan brutal terhadap orang-orang Kristen, Muslim, dan gereja-gereja atau kelompok-kelompok agama lain yang tidak terdaftar, dan penindasan terhadap demonstran pro-demokrasi di Hong Kong.
Selain itu, rencana lima tahun sinasisasi Partai Komunis Tiongkok sedang berlangsung untuk membangun kontrol negara atas agama.
“Para ahli dan kelompok hak asasi internasional telah menggambarkan penganiayaan agama di Tiongkok selama tahun lalu sebagai intensitas yang tidak terlihat sejak Revolusi Kebudayaan,” sebut laporan itu.
Kontrol Ketat Mulai Februari 2020
Negara ini juga dilaporkan akan meningkatkan kontrol yang lebih ketat pada kelompok dan acara keagamaan pada tahun 2020.
Pembatasan baru tersebut ditetapkan untuk diberlakukan pada bulan Februari termasuk mandat bahwa kelompok-kelompok agama mematuhi arahan tentang agama di China, menerapkan nilai-nilai sosialisme dan mempromosikan prinsip dan kebijakan Partai Komunis Tiongkok.
Artikel lain mensyaratkan bahwa otoritas pemerintah terlibat dalam pemilihan pejabat agama dan terlibat dalam perselisihan. Keberadaan gereja-gereja bawah tanah juga dilarang.
Perjanjian Vatikan-China 2018 tentang penunjukan para uskup bertujuan untuk mewujudkan penyatuan Asosiasi Patriotik Katolik China yang disetujui negara dan Gereja bawah tanah dalam persekutuan dengan Roma. Sebaliknya, penganiayaan terhadap Gereja bawah tanah terus berlanjut dan diintensifkan.
Dalam laporan itu juga mencatat, jumlah umat Katolik di China diperkirakan lebih dari 10 juta. Dengan statistik resmi mengatakan bahwa 6 juta umat Katolik adalah bagian dari gereja yang telah disetujui negara.
Para pengamat dan umat Katolik menyatakan keprihatinannya bahwa perjanjian itu tidak memberikan dukungan yang cukup bagi komunitas Katolik China, dengan menunjukkan bahwa penganiayaan pihak berwenang terhadap komunitas Katolik bawah tanah dan resmi telah benar-benar meningkat selama setahun terakhir.
Pada musim semi 2019, diketahui bahwa pihak berwenang menahan tiga imam bawah tanah Keuskupan Xuanhua di Provinsi Hebei.
Salah satu rekomendasi pada laporan tersebut kepada Kongres adalah bagi anggota agar mengadvokasi “hak umat Katolik untuk dipimpin oleh rohaniwan yang dipilih dan melakukan pelayanan mereka sesuai dengan standar yang diminta oleh umat Katolik.

Wartawan Katolikana.com