Katolikana.com — “Mohon doa untuk Bambang Alriyanto. Sudah resmi mundur dari imamat. Walaupun belum mendapatkan dispensasi, beliau tetap setia dalam selibat tidak nikah dan tekun dalam hidup. Misa Requiem tgl.12 Jan, jam 12. Dan pemakakaman di Krapyak Yogya di samping ibunya. Romo G. Guido Suprapto akan hadir mewakili kita.” (Mgr. Aloysius Sudarso SCJ).
Saya menerima pesan WA itu dari Billy Jaya, aktivis di Palembang yang pernah satu rumah dengan saya dan Romo Bambang. Pesan ini saya konfirmasi ke Romo Vincentius ‘Avin’ Setiawan Triatmojo Pr.
“Ini memang dari Monsinyur. Beredar di grup Dekanat 1 Palembang.” Pesan dalam versi lain juga beredar di Facebook.

Tiba-tiba tenggorokan saya seperti tercekat. Ingatan saya mundur ke bulan November 1999. Waktu itu saya ketemu Romo Bambang (saya dan teman-teman biasa memanggil beliau RB) di Kantor Komsos Sanggar Prathivi Palembang. Saya mengenakan kaos putih dengan logo R besar. Di bawahnya tertulis: Rakyat Kuasa.
“Wah…, Rakyat Kuasa”
“Betul, Romo!”
“Mantap!”
Saya memperkenalkan diri sebagai karyawan baru Radio Atmajaya, radio keuskupan yang berafiliasi dengan Radio Sonora Jakarta. Saya sampaikan pesan Bapa Uskup bahwa saya diminta tinggal bersama Romo Bambang di rumah Jalan Bangau.
Rumah Jalan Bangau adalah rumah Bapak Sucipto, bekas karyawan Seminari Santo Paulus Palembang. Setelah direhab, rumah tersebut menjadi tempat tinggal Romo Bambang.
Sejak awal 2000, saya tinggal bersama Romo Bambang di rumah itu, yang kemudian dikenal dengan Rumah Belajar Banjar Bangau. Nama Banjar Bangau sendiri diberikan oleh Agus Mochamad, seniman musik dari ISI Yogyakarta yang pernah tinggal beberapa bulan bersama kami.
Selain Romo Bambang dan saya, ada beberapa orang muda Katolik yang pernah tinggal di Banjar Bangau, antara lain: Billy Jaya, Benedictus Effendi, Mateus Sunoto, Herman Sunu, Ino Prabowo, dan lain-lain.
Banjar Bangau menjadi semacam markas bagi orang-orang muda Katolik, anggota dan alumni PMKRI dan aktivis OMK. Di situ kami berdinamika, berdiskusi, dan misa bareng bersama Romo Bambang.
Karena satu rumah, saya sering berdiskusi dan mendengarkan keluh kesahnya. Salah satu yang cukup membuat Romo Bambang emosional ketika bercerita tentang kondisi Romo Harjo Pr, dedengkot Romo Projo yang tinggal di Mojosari BK 9 Belitang, jatuh sakit. Romo Bambang merasa Romo Harjo kurang mendapat perhatian. Romo Bambang sendiri waktu itu juga dalam kondisi sakit-sakitan.
Beberapa waktu setelah itu, Romo Bambang mengundurkan diri dari Keuskupan Palembang dan pindah ke Jakarta.
‘Anak Nakal’ Masuk Seminari
Ignatius Bambang Alriyanto Vigba berasal dari Sedayu, Yogyakarta. Ketika awal tahun 1980-an tinggal di Belitang, Sumatera Selatan dan sekolah di SPG Xaverius Blitang.
Menurut Paulus Sutedja, Bambang pernah tinggal di Paroki Bidaracina. “Di era itu sopir dan kernet Bus jurusan Cililitan-Grogol sangat segan dengan beliau. Preman Bakauheni dan Kertapati gak berani mencoleknya. Romo Sondermeijer SCJ berhasil membuatnya mengalami metanoia.”
Bambang kemudian masuk ke Seminari Menengah Santo Paulus Palembang di Kelas Retorika Baru tahun 1980/1981 pada usia 29 tahun.
Karena begitu bahagianya sang Bapak melihat anaknya yang dikenal ‘nakal’ akhirnya mau masuk Seminari, sang Bapak pun ingin menemuinya. Namun naas, dalam perjalanan Yogyakarta-Palembang, sang Bapak meninggal di perjalanan.
Setelah itu, Bambang menjadi Frater Diosesan Keuskupan Palembang. Tahun 1981, Bambang menjalani studi Filsafat dan Teologi di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta bersama dua Frater Projo dari Tanjungkarang, salah satunya Natha Utama.
Mereka bertiga adalah Frater Projo asal Sumatera bagian Selatan terakhir yang ‘dititipkan’ studi di IFT Kentungan. Setelah itu, frater-frater Projo Sumatera menjalani studi di Sinaksak, Pematang Siantar, Sumatera Utara.

‘Pak Tua’
Natha Utama, teman seangkatan ketika studi di Kentungan, melihat Romo Bambang sangat menonjol di bidang seni.
“Sejak saya ketemu di Kelas Retorika di Seminari, setiap ada pentas beliau selalu bertindak sebagai sutradara yang mengatur dan mengarahkan temannya. Selan itu, beliau juga menonjol dalam bermain gitar.”
Menurut Natha Utama, Romo Bambang orangnya sangat kebapaan. “Mungkin karena usia jauh lebih tua daripada teman-teman seangkatan waktu itu khususnya di Kentungan. Maka, teman-teman dari Jakarta dan Kalimantan Barat memangilnya ‘Pak Tua’.” Sejak berpisah tahun 1987, dia tidak kontak lagi, sampai dia mendengar beliau dipanggil Tuhan.
Tahun 1987, Frater Bambang ditahbiskan sebagai imam diosesan Keuskupan Palembang di Stadion Bumi Sriwijaya—sekarang bernama PSCC Sriwijaya.
Setelah ditahbiskan, Romo Bambang bertugas di Paroki Katedral Santa Maria Palembang. Karena ketika itu, gereja belum punya pastoran, maka Romo Bambang mengusahakan untuk membangun pastoran sendiri.
Slamet Raharjo juga punya kenangan tersendiri tentang Romo Bambang. Pertama, ketika awal masuk Seminari tahun 1987, Romo Bambang ditahbiskan di Stadion Bumi Sriwijaya. “Itulah pertama kali saya melihat artis, yaitu Ian Antono dan bandnya.”
Kedua, ketika Romo Bambang mengajar Katekese di Seminari Santo Paulus Palembang. “Saya sampai saat ini masih teringat salah satu metode memahami Kitab Suci yang diajarkan Romo Bambang yaitu melalui teknik pencatatan dengan memperhatikan muatan bahasa.
Intinya, ketika membaca kitab suci, kita diminta mengindentifikasi jenis kalimat: berita, dialog, perintah, dan lain-lain. Ini juga lebih memudahkan, misalnya, bagi lector. Ketika membacakan kitab suci, lektor bisa menyesuaikan cara penyampaiannya. Metode ini saya tularkan bagi awam yang terlibat dalam pelayanan sabda saat saya masih di Bengkulu.”
Didik Akawanto adalah salah satu mantan anak buah Romo Bambang ketika di Komsos Keuskupan Palembang. Didik pertama kali mengenal Romo Bambang tahun 1986 ketika menjadi pengurus OMK Paroki Katedral Santa Maria, Keuskupan Agung Palembang.
“Saat itu Romo Bambang masih sebagai Frater di Paroki tersebut. Beliau sangat dekat dengan OMK dan sungguh sopan dan hormat kepada siapa pun, sehingga suasana OMK menjadi makin semangat.”
Setelah menjadi Imam Diosesan, beberapa tahun kemudian Romo Bambang diangkat menjadi Delegatus Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Palembang. “Beliau meminta saya pindah tugas dari Yayasan Xaverius Pusat Palembang ke Komsos untuk membantu beliau. Waktu itu saya ditunjuk sebagai Kepala Studio.”
Didik punya kesan mendalam terhadap pribadi Romo Bambang. “Beliau seorang yang santun penuh hormat kepada siapa saja, suka membantu orang yang kesusahan, dan pintar dalam menyemangati sebuah komunitas untuk bekerja dengan gembira tanpa pamrih.”

Politik Kemanusiaan
Sebagai imam, Romo Bambang juga punya intensitas keterlibatan di bidang politik dan kemanusiaan, terutama di era 1990-an.
Andi Arief, mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) menuliskan status di Facebook: “Turut berduka cita untuk wafatnya Romo Bambang Alriyanto Pr. Semoga almarhum memperoleh tempat terbaik di sisiNya. Dia punya banyak jasa terhadap perjuangan reformasi yang tidak banyak diketahui publik.”
Keterlibatan Romo Bambang di bidang politik dan kemanusiaan sangat terlihat terutama pasca aksi kerusuhan massa menjelang reformasi, 14 dan 15 Mei 1998.
Menyikapi kejadian itu, tanggal 1 Juli 1998, Romo Bambang dan kawan-kawan membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) Sumatera Selatan. Sebagai Koordinator TRUK Sumsel, Romo Bambang dan tim mendata korban pelecehan seksual dan mengumpulkan bukti-bukti kejadian tersebut.
Keterlibatan Romo Bambang di bidang politik dan kemanusiaan juga menarik bagi kalangan Seminaris. Salah satunya dirasakan oleh Petrus Suprapto.
“Saat itu Romo Bambang terlibat dalam diskusi-diskusi serius tentang situasi negeri ini di mana rezim kala itu memberikan tekanan lebih pada pegiat demokrasi dan aktivis kemasyarakatan. Sebagai seminaris, atas ijin Rektor, saya menyaksikan diskusi yang hangat,” ujar Prapto.
Suprapto menambahkan, “Saya melihat pelopor-pelopor reformasi berbicara tentang politik dengan bahasa yang asing di telinga saya. Ketika saya menjadi Frater Projo Keuskupan Palembang 1996-2004, saya punya kesan bahwa minat pastoral beliau berbeda. Entah ini karena dikondisikan oleh situasi atau pilihan pribadi.”

Sahabat bagi Semua Orang
Yustinus Joni SH, seorang advokat di Palembang mengenal Romo Bambang lewat TRuK, pasca tragedy Mei 1998. Menurut Joni, Romo Bambang lebih memperhatikan orang lain, bangsa, dan negara dibandingkan dengan dirinya sendiri.
“Walaupun kondisi sakit beliau tetap hadir setiap hari di Posko TRUK untuk memberikan pencerahan bagi semua relawan dan memantau setiap peristiwa dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Romo Bambang adalah guru yang tidak pernah menggurui. Sahabat yang setiap saat selalu hadir untuk mendengarkan setiap masalah dan peristiwa. Orangtua yang membagikan pengetahuan dan pengalamannya tentang hidup dan kehidupan secara bijak. Terkadang menjadi kritikus yang memberi masukan secara bijak ketika diketemukan kesalahan.”
Selain itu, menurut Joni, beliau adalah Romo yang sangat rendah hati dan tak pernah berhenti membagikan kasih dengan pola yang sangat sederhana dan membumi.
“Beliau adalah sosok yang sangat layak untuk dijadikan panutan. Beliau tidak hanya bisa berhomili tentang kasih, tapi membagikan kasih itu kepada setiap orang yang dijumpai. Romo Bambang layak disebut sebagai sahabat bagi semua orang yang pernah berjumpa dengannya,” pungkasnya.
Billy Jaya, seorang aktivis di Palembang yang pernah tinggal bersama di Banjar Bangau juga punya kesan mendalam tentang Romo Bambang.
“Beliau adalah pastor yang sungguh gembala dan membawa domba-dombanya. Selalu di depan memberi petunjuk, memberi diri dengan total, dan berani mengambil keputusan siap mengambil resiko,” ujar Billy.
Selamat jalan RB. Salam juang! Tetap dan terus menginspirasi kami!***

Yohanes Widodo alias masboi. Guru jurnalisme di Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ayah dua puteri: Anjelie dan Anjani. Bisa dihubungi melalui fb.com/masboi, Twitter @masboi, atau IG @idmasboi.