Sepotong Cerita Pastor Indonesia Saat Roma Lockdown

Bagaimana seorang pastor jalani hidup saat Roma lockdown?

0 527

Katolikana.com – Tulisan berikut terinspirasi dari pesan Paus Fransiskus pada Hari Komunikasi Sedunia ke-54 yang kita rayakan pada tanggal 24 Mei 2020. Paus mengawali pesannya untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 demikian, “Saya ingin mengabdikan Pesan tahun ini dengan tema mendongeng, karena saya percaya, agar tidak kehilangan arah, kita perlu membuat kebenaran kita sendiri yang terkandung dalam cerita-cerita bagus. Cerita yang membangun, bukan meruntuhkan; cerita yang membantu kita menemukan kembali akar kita dan kekuatan yang dibutuhkan untuk maju bersama.”

Pendasaran Paus jelas bahwa manusia adalah mahkluk naratif, pencerita dan pendongeng. Beliau menulis, “apapun bentuknya, dongeng, novel, film, lagu, berita …, cerita memengaruhi hidup kita, bahkan jika kita tidak menyadarinya. Kita sering memutuskan mana yang benar atau salah berdasarkan karakter dan cerita yang telah kita asimilasi. Cerita menandai kita, membentuk kepercayaan dan perilaku kita, mereka dapat membantu kita memahami dan mengatakan siapa kita.” Meskipun demikian, Paus tidak lupa mengingatkan bahwa cerita yang kita dengar, tidak melulu cerita yang baik dan positif. Adapula cerita negatif yang merusak hidup pribadi dan komunitas kita.

Jadi saya mau cerita. Cerita tentang masa lock down di Italia hingga fase kedua pada tanggal 04 Mei 2020 ketika beberapa kegiatan public pelan-pelan diperbolehkan termasuk Perayaan Ekaristi di paroki-paroki secara publik pada tanggal 18 Mei 2020. Tentu cerita ini berbeda dengan cerita teman-teman di Indonesia dengan kebijakan PSBB yang ditetapkan oleh pemerintah. Semoga cerita ini bisa memberi makna pada situasi pandemi ini.

 

Situasi wisata tempat-tempat rohani masih sepi, Romo Anar Bani berfoto di depan Colloseo Vatikan, 22 Mei 2020. Foto: Alexandro

Jika hendak jujur, kebijakan lockdown khususnya karantina #stayathome #stareacasa bukanlah hal yang begitu mengerikan bagi kaum religius, apalagi dengan tugas perutusan studi. Toh rute sehari-hari kami ialah kamar-kapela-kampus-kamar makan-kapela-kamar. Perubahan yang paling kentara ialah berkaitan dengan proses perkuliahan yang serba online. Mungkin hanya sekali dua kali dalam seminggu jalan-jalan keluar rumah. Artinya ada Covid-19 atau tidak, pola dan rutinitas hidup kami ya memang begitu-begitu saja. Dengan alasan itu, masa karantina selama hampir tiga bulan di kota Roma bukanlah cerita yang luar biasa. Lalu apa efek terbesar kebijakan lock down bagi kami?

Tanpa bermaksud mengeneralisasi pengalaman kaum religious student yang lain, saya hendak menyebut dua efek terbesar lockdown. Pertama, menebalkan sikap individualistik. Setiap orang makin merasa nyaman di kamarnya sendiri. Dengan studi, buku-buku, tugas kampus, kuliah online, dan lain sebagainya. Dengan kritik yang makin besar pada efek media digital berupa koneksi virtual online yang mengeser koneksi real onlife, lockdown sesuai arti katanya makin memenjarakan serta mengisolasi individu dalam tempurungnya sendiri. Akan tetapi sikap individual ini tidak mesti dibaca secara negatif. Mengapa? Karena tugas mahasiswa ialah belajar, ‘tanam pantat’, kerja tugas, dan lain-lain.

Maka aspek positifnya ialah makin cepat rampungnya tugas-tugas kuliah, hemat pengeluaran uang saku untuk transportasi, pulsa data, membeli buku cetak (diberi buku pdf oleh dosen) dan fotokopi bahan kuliah. Selain itu jadi punya cukup waktu untuk telpon atau sekedar chatting dengan keluarga di tanah air, diskusi di grup-grup WhatsApp, mengembangkan hobi atau kesukaan lain seperti menulis, membaca novel, menyanyi, menari dan lain sebagainya.

Kedua, meningkatnya masalah mental psikologis. Hal ini disebabkan oleh kebosanan dan kejenuhan tetapi juga terutama oleh depresi pada konsumsi berita negatif di media sosial. Kok bosan? Katanya rutinitas hidup begitu-begitu saja? Iya rupanya jalan-jalan keluar rumah satu dua kali dalam seminggu itu penting.

Pada bulan pertama lockdown, kami masih merasa biasa. Memasuki bulan kedua lock down kami mulai merasa jenuh luar biasa. Alhasil kami sering kumpul-kumpul sekedar untuk bernyanyi atau bercerita lepas. Depresi diakibatkan oleh stress dalam arti terbentangnya jarak antara keinginan dan realitas.

Membaca berita negatif tentang Covid-19 dan efeknya yang masif di seantero Italia dan dunia, kami ingin berbuat sesuatu; tetap melayani perayaan ekaristi di biara-biara maupun di paroki-paroki week-end, namun kami tidak bisa berbuat apa-apa sebagai bentuk solider dengan semua orang lain (karena pada masa ini untuk berbuat sesuatu bagi orang lain ialah dengan tidak berbuat apa-apa).

Yang bisa kami buat (hanyalah) berdoa dan taat asas untuk tinggal di rumah serta memberikan terapi internal bagi yang mengalami depresi. Selain itu karena kami hidup dalam komunitas religius, maka efek dilarangnya misa bersama umat tidak terlalu kami rasakan sebagiamana para pastor paroki yang tentu merasa bukan lagi seorang imam (jika refleksinya ialah tanpa umat, imam(at) tiadalah artinya).

Demikianlah cerita yang bisa saya sharingkan selama masa karantina lockdown di Italia. Mengutip pesan Paus Fransiskus tentang “Bercerita”, semoga cerita ini (dan cerita anda yang sudah dan hendak disharingkan) membuat “Kita tidak lagi terikat pada penyesalan dan kesedihan, terkait dengan ingatan sakit yang memenjarakan hati kita, tetapi, dengan membuka diri kepada orang lain, kita membuka diri terhadap visi Narator…, menenun kembali jalinan kehidupan, memberi jeda pada sobekan dan air mata.” Karena “dalam setiap kisah hebat, cerita kita masing-masing berperan.”

Semoga dengan saling berbagi cerita kita menemukan kembali akar kita dan kekuatan yang dibutuhkan untuk maju bersama dalam masa sulit ini.

Salam hangat ke seluruh pelosok Tanah Air.

 

*) Kisah ini bagian Project Katolikana, “BERCERITALAH SAAT PANDEMI”  yang berlansung selama beberapa bulan ke depan. Project Berceritalah ini didedikasikan untuk menggalang kekuatan dan harapan bersama saat pandemi Covid-19.

Imam Fransiskan, lahir di Mataloko, Flores pada 1987. Sebelas tahun bertugas di Papua. Kini sedang studi di Roma, Italia. Menulis buku Fenomena Papua: Esai-esai Sosial (2018, SKPKC Fransiskan Papua).

Leave A Reply

Your email address will not be published.