Felix Nesi dan Kemarahan Yesus

Catatan reflektif tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi sebuah kasus.

4 4,352

Katolikana.com — Yesus pernah marah. Ia marah karena Ia mendapati orang-orang berjualan di dalam dan halaman sekitar Bait Suci. Ia lalu membuat cambuk dari tali, dan mengusir para pedagang.

Tak hanya itu, Yesus pun menghamburkan uang-hasil dagang ke tanah, membalikkan semua barang seperti meja jualan dan bangku-bangku.

Dalam aksinya itu, Yesus pun bersabda-meminta agar rumah Bapa-Nya tidak dijadikan sebagai tempat ‘berjualan’. Berikut, sabda Yesus dimaksud yang termaktub dalam tiga Injil berbeda:

“Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” (Matius, 21:13).

“Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!” (Markus, 11:17).

“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan.” (Yohanes, 2:16).

Yesus bertindak, Yesus bersabda. Yesus pun membuat mukjizat-mukjizat, orang-orang buta datang kepada-Nya, dan mereka disembuhkan.

Di lain pihak, orang-orang Yahudi yang turut menyaksikan aksi dan mendengar sabda Yesus, mulai menentangnya. Begini kata mereka: “Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?” (Yohanes, 2:18).

“Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali,” jawab Yesus (Yohanes, 2:19). Pernyataan Yesus ini merujuk pada peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya.

Mendengar tentang segala aksi Yesus, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat sangat jengkel dan benci. Lalu mereka berusaha untuk membinasakan Yesus. Mereka takut, kalau semua orang takjub dan mau ikut ajaran Yesus.

***

Yesus, Putera Allah. Orang-orang yang beriman kepada-Nya, meyakini-mengimani bahwa Ia adalah Juruselamat.

Ia diutus Allah Bapa ke tengah-tengah dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari segala wujud dosa. Bahwa manusia yang berdosa itu, memang perlu diselamatkan!

Yesus yang adalah Putera Allah itu, punya sisi manusiawi. Ia bisa marah, takut, sedih, sakit, bahkan jatuh air mata. Ketakutan, kesedihan, dan air mata-Nya bisa kita baca dalam Kitab Suci yang mengisahkan sengsara dan wafat-Nya. Dengan kata lain, ke-Allah-an dan ke-manusia-an Yesus, diyakini-diimani: 100 persen Putera Allah dan 100 persen manusia.

BACA JUGA: Felix Nesi Novelis Timor yang Dipenjara Karena Protes Pastornya

Marah Karena Cinta

Motif dari kemarahan Yesus itu cinta. Ia mencintai orang-orang yang bersalah dengan menegur-menyadarkan dan mengajarkan kepada mereka perihal kebenaran.

Kemarahan Yesus tidak bisa dimaknai sebatas arti kata marah itu sendiri, tetapi lebih dari itu perlu direfleksikan sebab-akibatnya. Kemarahan menjadi ‘media’ untuk menjembatani kesalahan/dosa menuju kebenaran.

Bukan berarti, kemarahan itu dihalalkan untuk segala peristiwa. Kemarahan baru akan menjadi suatu kebenaran kalau actus didasarkan pada motivasi dan situasi yang tidak egoistik. Dalam arti, kemarahan sebagai ‘media’ menemukan jalan kebenaran yang universal.

Saya marah demi kepentingan popularitas pribadi, di isi kepala umat dan publik, itu salah. Itu egois. Tetapi saya marah kepada para koruptor, predator seksual, pelindung predator seksual, dan sesama pendosa lainnya demi menemukan-menegakkan keadilan dan kebenaran, itu baik adanya.

Marah Lalu merusak?

Kembali kepada motivasinya. Dalam kasus ini, kita bisa belajar dari actus Yesus di Bait Allah. Perlu diingat bahwa actus Yesus bukan merupakan pembenaran terhadap segala bentuk perusakan. Kita tidak bisa hanya melihat segala yang ‘rusak’ tanpa menggali-mendalami sebab dan motivasinya.

Dalam keseharian kita dihadapkan pada berbagai peristiwa yang memungkinkan kita marah dan merusak. Dalam situasi demikian, kemarahan dan perusakan sekali lagi harus diekspresikan secara benar dan tepat. Kita hidup dalam sistem yang mengatur segala tindak-tanduk.

Marah dan merusak secara hukum positif itu salah sebagaimana diatur dalam Pasal 406 KUHP. Akan jadi bijak kalau kesalahan itu diakui. Pelaku dalam status dan motifnya memang perlu disalahkan.

Tetapi jangan lupa untuk melihat dan menilai sebab-akibat dari kemarahan dan perusakan yang dilakukan. Di mata hukum, saya kira hal itu dapat dipertimbangkan dan/atau dipertanggungjawabkan oleh pihak-pihak terkait termasuk pelaku.

Kasus Felix K. Nesi

Felix melalui aksi teatrikal yang kemudian dinarasikan kembali melalui akun facebooknya telah menarik fokus perhatian publik, tidak hanya umat Keuskupan Atambua.

Di berbagai media daring/media sosial, kasus Felix menjadikan orang-orang berargumentasi, baik secara lisan maupun tulisan.

Sejauh ini, ‘diskusi lepas’ yang terjadi secara alami di berbagai media terkait kasus Felix, menjadikan sebagian orang seperti terjebak dalam ‘sesat nalar, sesat nurani’.

Penggiringan opini publik ‘sengaja’ difokuskan pada pengrusakan. Orang-orang mulai lupa, mulai alpa atau memang ‘sengaja’ untuk menutup motif di balik teatrikal Felix.

Sebagian lagi bahkan berkomentar dan menilai aksi Felix itu sebagai ajang popularitas agar publik bisa menjangkau mahakaryanya seperti Usaha Membunuh Sepi dan Orang-Orang Oetimu dan/atau salah satu karya terbarunya: Tua Kolo; sopi Timor, khas Insana.

Tanpa harus merusak kaca dan kursi Pastoran SMK Bitauni, tanpa harus dipolisikan, tanpa harus dipenjara, saya kira Felix punya cara sendiri untuk memopulerkan karyanya yaitu dengan mencipta karya-karya yang bagus, bernas, dan berkesan.

Bicara soal popularitas (positif), sekali lagi saya kira Felix melalui karya-karyanya sudah sampai pada tahap itu. Dan tidak penting, karya Felix itu harus dibaca masyarakat pada umumnya.

Bagi mereka yang melek baca, termasuk karya-karya Felix, tentu tahu karakter tulisan yang di dalamnya termaktub perjuangan yang ditempuhnya.

Namun demikian, aktivitas membaca ini jadi peranan penting dalam memampukan seseorang untuk menilai seseorang yang lain.

Dalam kasus Felix, selain bersuara bahwa perusakan yang dilakukannya itu jelas salah, melanggar hukum dan harus dihukum, seseorang yang tidak dungu pun akan (seharusnya) bersuara untuk kasus di balik perusakan tersebut.

Dugaan terhadap kasus Romo A misalnya, atau adanya sosok perempuan yang menjadi ‘korban’, harus diselamatkan dari berbagai tekanan.

Sampai di sini, kepada semua korban kekerasan seksual di mana saja berada, saya dan orang-orang berdosa lainnya mendoakan kalian. Tetap semangat, tetap kuat!

Mengapa Felix Merusak?

Felix sudah menjelaskan secara detail dalam postingannya. Beberapa tahap komunikasi sudah ia lakukan.

Felix punya keterbatasan, ia pun bisa habis batas kesabaran. Ia marah, kecewa, dan merusak. Dipolisikan, dan ia menyanggupi itu (kooperatif) sebagai wujud tanggung jawab hingga akhirnya dibolehkan pulang ke rumah.

Namun laporan Polisi belum dicabut bahkan statusnya telah ‘naik’ jadi tersangka (Tirto.id, 6 Juli 2020). Felix baru mengetahui statusnya itu lewat jurnalis Tirto, bukan dari kepolisian atau pihak-pihak terkait.

Felix dipolisikan. Saya kira ini akar-awal masalah muncul ke publik. Felix menulis dan membagikan tulisannya di facebook. Ribuan warganet menanggapi dengan berbagai cara hingga muncul di media-media pemberitaan.

Terlepas dari kebenaran dan keadilan yang ingin diperjuangkan, Felix melalui karya-karyanya telah menggambarkan pribadi dan perjuangannya.

Felix, sosok yang tanggap dan sigap, apalagi terkait hal-hal prinsipil seperti kebenaran dan keadilan. Ia bisa melakukan apa saja yang bisa membawa suatu perubahan atau keadilan dan kebenaran yang harus ditegakkan. Ia bahkan mengorbankan segala yang ada padanya. Ia melakukannya secara spontan.

Konon, untuk mengetahui dan memahami karakter seorang penulis tanpa relasi secara personal, bacalah karya-karyanya. Masyarakat yang melek baca, tentu paham.

Felix dalam statusnya sebagai seorang penulis secara tidak langsung mengajarkan dan menyadarkan kita untuk lebih banyak membaca; termasuk bagaimana seharusnya kita membaca kasus yang tengah dihadapi dan diperjuangkan olehnya.

Kalaupun tidak membaca karya Felix yang bisa menjangkau semua kalangan-lintas keyakinan, minimal sebagai orang yang beriman Katolik—mengakui diri sebagai pengikut Yesus—mampu membaca luapan amarah Felix dalam kisah Yesus Menyucikan Bait Allah.

Adalah konyol kalau mengaku sebagai pengikut Yesus, tetapi alpa terhadap kisah-kisah inspiratif-Nya. Kalau malas baca buku fiksi ataupun non-fiksi, rajinlah membaca Kitab Suci.

Memang, sebagian besar orang sepertinya sudah sesat nalar dan nurani. Sebagian orang Katolik yang membaca kasus perusakan tanpa sebuah refleksi.

Bicara soal kasus dalam Gereja Katolik, semisal skandal seksualitas itu sangat sensitif. Sayangnya, Gereja (mungkin) sebagai institusi dan Gereja universal, secara tidak sadar telah melindungi para pelaku kejahatan itu tanpa berpihak kepada para korban. Sedih!

Lima hari, umat dan publik menanti pernyataan dari pihak Gereja. Rentang waktu yang lumayan panjang untuk meredam berbagai tanggapan publik. Tanggapan dari pihak Gereja memang tak semudah mengkonfirmasi pihak kepolisian.

Dalam kasus Felix, kita tidak bisa sesegera mungkin mendapat pernyataan sikap dari pihak Pastoran SMK Bitauni—yang secara institusi berada di bawah naungan Keuskupan Atambua. Segala bentuk pernyataan kepada publik, tentu harus sepengetahuan pihak Keuskupan.

Patut diapresiasi pihak Keuskupan melalui Komisi Keadilan dan Perdamaian dan Vicaris Yudicial Keuskupan Atambua pada 8 Juli 2020 memberi tanggapan terkait kasus yang dimunculkan Felix.

Beberapa poin tanggapan dan penegasan dari pihak Keuskupan cukup menjawab pertanyaan umat dan publik. Kedua belah pihak (tim mediator Felix dan tim Keuskupan), tengah berusaha menempuh jalur kekeluargaan. Itu mediasi yang kiranya makin memperjelas status dan arah penyelesaian kasus dimaksud.

Melihat Kasus Felix Secara Reflektif

Umat Katolik hendaknya menyikapi kasus Felix secara reflektif. Kemarahan Yesus perlu dihubungkan dengan kasus Felix, dalam arti: umat perlu memosisikan diri dalam kisah Yesus ketika merespon kasus Felix.

Andai Yesus hidup pada zaman kita dan melakukan pengusiran di seputar tempat ibadah dan dilaporkan ke pihak berwajib, tentu Yesus pun bukan tidak mungkin akan diproses hukum.

Andai pada zaman Yesus, ada perangkat hukum yang mengatur berbagai tindak pidana (ringan sampai berat) seperti saat ini, pasti Yesus akan berhadapan dengan hukum positif.

Dalam menilai kasus Felix, perangkat mana yang mau dipakai? Bila acuannya hukum positif, toh Felix sudah mengakui tindakannya dan sangat kooperatif ketika dijemput hingga ditahan aparat Polsek Insana.

Jika acuannya ajaran Katolik, silakan masing-masing melihat kembali apa yang menjadi titik tolak tindakan Felix sambil merenungkan lagi apa yang dulu pernah diperbuat Yesus.

Layakkah Yesus marah melihat rumah Bapa-Nya menjadi tempat jual beli? Layakkah Felix marah melihat (petinggi) Gereja yang dicintainya terkesan keliru menyelesaikan persoalan yang sempat dipertanyakan sebagian umat dan publik?

Menyikapi kasus Felix, kita memilih ada pada posisi siapa: Yesus? Orang-orang Yahudi? Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat? Semoga semua pihak lebih rendah hati dalam menyikapi segala kasus yang setiap saat akan melanda kita.

Timor Barat, 6-9 Juli 2020

 

Koordinator Komunitas Leko Kupang.

4 Comments
  1. Tanesi.Jr says

    Layakkah Yesus marah melihat rumah Bapa-Nya menjadi tempat jual beli?
    Apa Yang dilakukan Yesus adalah membersihkan bait Allah dan tidak ada konteks marah tapi apa yang Dilakukan Yesus telah memenuhi nubuat para nabi yakni sebagai UTUSAN. Ia datang untuk membuka dan memurnikan era baru Agama dan gereja.

    Layakkah Felix marah melihat (petinggi) Gereja yang dicintainya terkesan keliru menyelesaikan persoalan yang sempat dipertanyakan sebagian umat dan publik?

    Apa yang dilakukan Felix adalah mempertanyakan apa yang menjadi pertanyaan publik tentang sebuah kasus. Apakah layak Felix marah ? Iya..layak dia marah sebagai manusia.

  2. RD. Gading Johannes Sianipar says

    Salam utk Sdr. Herman Efriyanto.
    Saya hendak mengkritisi pemikiran dan argumen saudara dalam tulisan ini. Saya melihat logika yang aneh dan berkebalikan, ketika menyejajarkan kemarahan Felix Nesi dengan kemarahan Tuhan Yesus; atau menyejajarkan perusakan yang dilakukan Felix Nesi di pastoran Bitauni dengan penjungkirbalikan meja-meja penukar uang di Bait Allah.

    Ketika Yesus marah, dan menjungkirbalikkan meja penukar uang dan melepas hewan-hewan kurban, Yesus berseru kepada pemimpin-pemimpin Yahudi, “Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”
    Ucapan Yesus ini konsisten dengan ajaran dan sikap yang diambilNya. Sebelum dan sesudah peristiwa di Bait Allah tersebut, Yesus telah menyampaikan pada murid-muridNya tentang jalan salib, jalan Hamba Yahwe, jalan penderitaan, kematian, hingga kebangkitan yang akan dilaluiNya.

    Yesus siap dengan semua resiko dan konsekwensi dari pilihan sikap serta tindakanNya, termasuk resiko penderitaan salib dan kematianNya.

    Sejauh saya cermati, sangat berbeda dan berkebalikan dengan sikap Sdr Felix Nesi. Ketika Felix berani mengambil tindakan temperamen dan melakukan pengrusakan di pastoran Bitauni, dan kemudian diproses BAP sesuai hukum yang berlaku, Felix bersama teman-teman jaringannya segera menyuarakan ‘Save Felix Nesi’. Baru di BAP saja sudah berteriak-teriak.. Padahal BAP itu prosedur yang normal untuk mengklarifikasi benar tidaknya atas laporan terhadap tindakan yang dilakukannya.

    Lebih jauh lagi, ketika Felix berani mengambil sikap menuntut sanksi yang tegas terhadap tindakan pastor yang dipersoalkan sesuai aturan dan hukum yang ada, terlebih sesuai Hukum Gereja; apakah Felix juga berani mengambil sikap tegas bertanggung secara hukum atas tindakan yang dilakukannya?
    Felix menolak jika persoalan yang sedang diangkatnya terkait pastor tersebut diselesaikan secara mediasi kekeluargaan. Dan terbukti berdasar klarifikasi dari Keuskupan Atambua, tanpa ada tuntutan dan tindakan pengrusakan dari Felix, bahwa pastor tersebut telah disikapi Uskup Atambua sejak 22 Oktober 2019 dengan Hukum Kanonik Gereja melalui keputusan Suspensi Pastoral/ dilepaskan dari kewenangan Imamatnya.

    Pertanyaan kritis saya kepada Sdr. Herman Efriyanto dan Sdr. Felix Nesi, “beranikah Felix Nesi menyambut konsekwensi dan resiko dari tindakan pengrusakan dan temperamen kemarahannya?”
    Jika Felix menuntut penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan pelanggaran seseorang, beranikah dia dituntut dengan hukum secara tegas atas tindakannya?
    Jika Felix mempersoalkan dan menolak mediasi kekeluargaan dalam penyelesaian persoalan yang diangkatnya, apakah sekarang Felix justru akan mengupayakan mediasi kekeluargaan atas tindakan yang dilakukannya; agar dilepas dan dihindarkan dari resiko sanksi hukum atas tindakan tersebut?

    Karena itulah di awal tanggapan ini saya menyatakan bahwa logika dan argumen yang disampaikan Sdr. Herman Efriyanto dalam tulisan ini sungguh aneh dan lucu jika disejajarkan dengan kemarahan Yesus; dan justru berkebalikan dengan sikap dan pilihan yang dijalani oleh Tuhan Yesus.

    Salam.
    RD. Gading Johannes Sianipar.

  3. Pudji Tursana says

    Dalam bukunya Orang Orang Oetimu Felix Nesi berkisah juga tentang insan korban kekerasan seksual oleh klerus Gereja Katolik. Sedemikianlah keberpihakan dia. Apalah kita semua ini dibandingkan Yesus. Maka saya mengerti rentannya diri ketika sudah dalam kemarahan, kesedihan, dan kecemasan yang besar. Harapan saya, karena semua sudah dalam koridor hukum positif, Felix Nesi bisa bertanggung jawab atas tindakan anarkisnya (yang saya pahami) sesuai koridor hukum yang adil. Tubuhnya mungkin bisa dipenjara tapi bela rasa, renjana, dan imajinasi yang berpihak pada kaum rentan tidak akan mampu memenjarakan Felix Nesi. Semoga Tuhan melindungi dia. 🍀
    Pudji Tursana – buruh.

  4. Adrianus.E.T.H.M.M says

    Sebagai umat, juga sebagai manusia awam. Saya hanya mau pertanyakan 1 pertanyaan sederhana, yang mana saya tau ataupun kita semua tau. Dalam dasar hukum pidana/KUHP, dan dasar Hukum Gereja..sangat jelas. Romo A dlm kasus ini pastinya sudah di proses oleh hukum Gereja, dan apakah beliau diserahkan Gereja ke pihak bewajip untuk diproses hukum ?
    Kasus Bung Felix, 1 dari sekian kasus dalam Gereja Katolik. Bung Felix pun mestinya menerimanya sampai tuntas, Yang mana umat awam pung megikutinya, dengan berjuta opini umat masing-masing. Sebab inilah jalan salip yg beliau tempuh.
    Saya pun demikian sempat beropini sendiri, tapi kembali tak ingin terikut dalam asumsinya. Doa saya, semoga kasus utama disini #Romo.A terjawab oleh Gereja. Yang mana kita tau Mahkamah Gereja Katolik ada. #Bung.Felix umat sejati yang mencintai Imam/Romo dan Gereja Katolik yang dia maupun saya percaya, bukan karna dasar saya ataupun Bung Felix seorang umat Katolik semata.
    Akirnya, salam Kasih penuh cinta dan damai dari saya 😇🙏
    @AdiTManuhua’Manuhutu

Reply To Tanesi.Jr
Cancel Reply

Your email address will not be published.