Sesat Pikir Seputar Skandal Seks Kaum Klerus

Sesat pikir dalam diskusi tentang skandal seks di seputar Gereja Katolik

5 2,324

Katolikana.com – Sejak 27 Juli 2020, The Jakarta Post (TJP) bersama dengan Tirto memuat masing-masing dua laporan investigasi, dan satu editorial TJP tiga seri laporan investigasi tentang skandal seks yang dilakukan oleh sejumlah oknum klerus.

Laporan tersebut mengungkap sejumlah korban dan keluarganya yang selama bertahun-tahun berupaya memperjuangkan keadilan namun menghadapi tanggapan yang dingin dan abai dari sejumlah pejabat gereja terkait.

Seri laporan investigasi TJP dan Tirto dimuat lebih kurang sebulan setelah tenggat waktu oleh Paus Fransiskus melalui motu proprio berjudul “vos estis lux mundi” (VELM) yang mewajibkan semua keuskupan untuk mendirikan “satu atau lebih sistem yang terbuka, stabil, dan mudah diakses untuk penyerahan laporan tentang pelecehan seksual yang dilakukan para klerus dan religius, pornografi anak, dan tindakan penyembunyian pelecehan.

Menyikapi laporan investigasi TJP dan Tirto serta dilewatinya tenggat waktu VELM, pada tanggal pesta nama St Ignatius Loyola sejumlah pribadi mengambil inisiatif petisi online dengan judul “Jangan tutupi kejahatan seksual di Gereja Katolik Indonesia”.

Petisi online ini bersama dengan berbagai forum yang dilaksanakan berbagai pihak untuk membahas skandal seks telah menyebabkan kejutan dengan mengundang berbagai reaksi. Reaksi-reaksi tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga posisi.

Pertama adalah pihak yang mengecam diangkatnya berbagai skandal seks dan menuduh bahwa ada agenda dari pihak-pihak tertentu untuk merugikan Gereja Katolik.

Kedua adalah pihak yang mengetahui terjadinya skandal seks namun tidak ingin terlibat dan menginginkan isu ini tidak perlu diperpanjang serta segera berlalu.

Ketiga adalah pihak yang melihat skandal seks ini sebagai isu yang secara mendasar mengingkari martabat manusia, hak-hak asasi, keadilan, dan mencederai dasar-dasar iman Gereja Katolik sehingga perlu segera ditindaklanjuti.

Berbagai diskusi tentang skandal seks berpusat pada tujuh sesat pikir yang dapat dipersoalkan sebagai berikut.

1. Abnormalitas hidup selibat

Hidup selibat adalah hidup yang dianggap tidak normal sehingga jika ada kaum klerus yang terlibat dalam skandal seks harus dimengerti karena hasrat seks adalah normal. Terhadap argumen ini perlu dipersoalkan beberapa hal.

 Pertama, Gereja Katolik mengajarkan penyangkalan diri adalah salah satu kebajikan. Penyangkalan diri yang secara rutin dilatih melalui pantang dan puasa mendorong umat Katolik untuk menundukkan keinginan badan sebagai wujud iman. Penyangkalan diri dalam tradisi Gereja Katolik dimampukan melalui anugerah akal budi, suara hati, dan kehendak bebas.

Kedua, pernyataan bahwa hasrat seksual yang dilampiaskan melalui skandal seks sebagai kenormalan adalah perendahan martabat manusia sebagai citra Allah dan dalam dokumen VELM disebut sebagai “penyalahgunaan seksual”. Pernyataan kenormalan skandal seks juga berarti merendahkan kaum klerus sebagai pribadi dengan hasrat seks tak terkendali.

Ketiga, semua klerus sebelum mengucapkan kaul selibat telah melalui bertahun-tahun pendidikan, discernment, dan penyiapan diri sehingga kaul merupakan pilihan yang sadar, diinginkan, dan dipersiapkan. Setiap klerus sadar konsekuensi hidup selibat sebagai wujud penyerahan diri secara total ke dalam pangkuan Gereja Katolik. Menganggap normal skandal seks berarti desakralisasi kaul selibat sekaligus menyatakan kegagalan proses pendidikan seminari dan pendampingan para seminaris.

2. Seks

Sebagian pihak menganggap skandal seks para klerus tidak perlu diperbesar karena seks adalah hal yang manusiawi. Terkait argumen ini perlu diajukan pertanyaan, bagaimana Gereja Katolik melihat seks. Dalam tradisi Gereja Katolik, seks bersifat suci. Seks menjadi meterai sakramen perkawinan. Seks yang dalam rumusan lain disebut “bersetubuh”, menjadi satu tubuh, adalah pemberian diri yang utuh dan penuh dari suami dan istri.

Pemberian diri ini berdimensi ilahi karena setidaknya dua hal, yaitu melambangkan pemberian diri Kristus pada manusia sebagai wujud kasih tak bersyarat, dan seks adalah sarana Allah menyampaikan rahmatNya yaitu pribadi baru berwujud anak. Mengabaikan skandal seks karena menganggap seks sebagai sesuatu yang manusiawi adalah pengingkaran yang telanjang pada kesucian seks.

3. Perempuan dewasa bukan orang dewasa rentan?

Penjelasan dari beberapa pihak yang mewakili hirarki menyatakan bahwa VELM hanya menangani korban anak dan mereka yang cacat fisik atau mental, serta mengecualikan perempuan dewasa.

Penjelasan ini tidak sesuai dengan definisi pribadi rentan dalam VELM yang dalam terjemahan KWI didefinisikan sebagai “seseorang yang dalam keadaan sakit, kekurangan secara fisik atau mental, atau dirampas kebebasan pribadinya, yang pada kenyataannya – walapupun hanya sesekali – membatasi kemampuannya untuk mengerti atau untuk menghendaki, atau – yang tanpa itu – ia akan melawan pelanggaran itu.

Dari definisi hasil terjemahan KWI tersebut perlu diberikan tiga catatan. Pertama, kata “sakit” merupakan terjemahan yang tidak tepat karena menimbulkan pengertian adalah mereka yang sakit secara fisik. Dokumen VELM edisi Bahasa Inggris mempergunakan terminologi “a state of infirmity”, yaitu mereka yang dalam kondisi lemah secara umum.

Kedua, definisi VELM tidak menyebutkan sama sekali pengecualian perempuan dewasa sebagai orang dewasa rentan. VELM lebih menyebutkan kondisi-kondisi kerentanan yang bisa dialami oleh siapa saja termasuk perempuan dewasa.

Ketiga, definisi orang dewasa rentan bahkan menyebutkan kerentanan lebih dikaitkan dengan ketidakmengertian seseorang sehingga tidak mampu menolak atau bahkan justru menghendaki tindakan pelanggaran yaitu skandal seks.

Ketika ada argumen bahwa skandal seks terjadi karena ada pihak yang menghendaki atau secara vulgar dapat disebut “menggoda”, dokumen VELM menegaskan bahwa mereka yang menghendaki karena tidak mengerti bahwa tindakan itu adalah pelanggaran maka yang bersangkutan pada dasarnya adalah pribadi rentan. Upaya mengecualikan perempuan dewasa sebagai orang dewasa rentan dengan demikian merupakan upaya membebaskan pelaku skandal seks dari cakupan VELM.

4. Kerahasiaan Gereja

Beberapa orang menyatakan bahwa diungkapnya skandal seks adalah tindakan yang tidak etis. Tidak semua masalah khususnya skandal seks perlu disampaikan ke publik karena penyelesaian internal dianggap yang terbaik.

Terhadap argumentasi ini dua hal akan mengugurkan. Pertama, skandal seks telah terjadi bertahun-tahun demikian pula upaya penyelesaiannya. Berlarut-larutnya penyelesaian perkara ini menyebabkan sebagian pelaku telah wafat dan beberapa korban beserta keluarganya telah mengalami ketidakadilan serta penderitaan. Artinya, penyelesaian internal tidak pernah terlaksana secara memadai, yang terjadi adalah praktik impunitas dan ketidakadilan.

Kedua, mengenali urgensi masalah ini dan komitmen untuk menyelesaikan skandal seks dengan segera, Paus Fransiskus melalui instruksi berjudul “Instruction On the Confidentiality of Legal Proceedings” pada tanggal 17 Desember 2019 telah mencabut kerahasiaan dalam pelaporan, penanganan, dan pertanggungjawaban skandal seks. Dengan keberadaan instruksi dari Paus Fransiskus tersebut, upaya perahasiaan skandal seks adalah wujud ketidakpatuhan dan merusak legitimasi gereja lokal.

5. Relasi konsensual atau manipulatif?

Argumen lain untuk membela skandal seks yang melibatkan perempuan dewasa adalah sebagai kesepakatan kedua belah pihak atau konsensual. Terhadap argumentasi ini dapat disampaikan hal-hal berikut.

Pada sebagian besar kasus perempuan yang datang pada klerus tidak pada posisi setara karena yang bersangkutan datang untuk berkonsultasi tentang masalah kehidupan, keluarga, atau gereja. Klerus dianggap otoritas yang dapat membantu dan mencarikan jalan keluar. Dalam pola relasi seperti ini yang terjadi adalah komunikasi yang manipulatif oleh pihak klerus sehingga proses konsultasi dimanipulasi menjadi relasi najis berwujud skandal seks.

Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium (27) menyatakan “sebagai Wakil dan Utusan Kristus, mereka memerintah Gereja partikular yang dipercayakan kepada mereka dengan nasihat, ajakan, teladan, bahkan dengan otoritas dan kuasa, yang tentunya mereka gunakan hanya untuk pembangunan umat Allah dalam kebenaran dan kekudusan”.

Relasi antara klerus dan umat dipergunakan hanya untuk “pembangunan umat Allah dalam kebenaran dan kekudusan”. Relasi yang berujung pada skandal seks secara nyata adalah manipulasi dan merupakan pelanggaran dogma Gereja.

6. Martabat Gereja

Beberapa orang menyampaikan keberatan pengungkapan skandal seks oleh oknum klerus dan perlindungan oleh pejabat gereja karena dapat menjatuhkan martabat gereja. Terhadap argumen ini kita perlu membaca kembali Kitab Suci: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya, dan mengikuti Aku.” (Mat 16:24-28). Ayat ini tidak hanya berlaku bagi umat namun juga dan terlebih bagi para pejabat Gereja.

Martabat Gereja dibangun bukan dengan menyembunyikan skandal demi menjaga nama dan kehormatan. Martabat Gereja dibangun melalui pertobatan, kesediaan menanggung konsekuensi dan hinaan, serta terus mengikuti teladan Kristus.

Nama dan kehormatan dijaga melalui tindakan mengakui dan memperbaiki kesalahan, bukan mengingkari dan menyembunyikan. Menjaga martabat gereja melalui pengingkaran skandal seks, penyembunyian pelaku, dan pengabaian para korban adalah seperti membangun rumah dengan dasar pasir.

7. Gereja Katolik di Indonesia punya cara sendiri

Argumen ini secara terang benderang adalah sikap tidak patuh pada Vatikan karena lingkup penerapan VELM secara tegas adalah “Klerikus atau anggota Lembaga Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan”, tidak ada pengecualian apapun. Gereja Katolik di Indonesia sebagai bagian dari Gereja universal harus melaksanakan dogma Gereja tanpa dalih apapun. Inkulturasi dalam Gereja Katolik adalah cara menyampaikan sabda Allah, bukan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Argumen ini pada dasarnya merupakan upaya manipulatif yang didasari kerisauan para petinggi gereja terhadap implikasi VELM karena: (a) Membuka jalur pelaporan dan penanganan yang terbuka dengan tenggat waktu setiap tahap yang jelas, (b) Yang dapat menerima sanksi tidak hanya pelaku tapi juga para petinggi yg dianggap terlibat atau mendiamkan, (c) Tidak ada batas waktu sehingga kejahatan seksual di masa lampau bisa diungkap, dan (d) Terdapat potensi hukuman ganda dari gereja dan aparat hukum, serta hukuman sosial sejak awal proses.

Ketujuh sesat pikir yang sering disampaikan dalam forum-forum terbuka maupun tertutup selain tidak berdasar, juga menyesatkan dan merupakan pembangkangan terhadap Vatikan.

Menghadapi kondisi seperti ini kita semua dipanggil untuk dengan rendah hati dan penuh kecintaan memperjuangkan agar Gereja Katolik di Indonesia segera melaksanakan dokumen VELM secara utuh dan penuh; menangani berbagai skandal seks yang terjadi secara transparan dan konsisten termasuk mengungkapkan pelaku dan pelindung, juga sanksi yang diberikan; mengupayakan keadilan pada para korban.

Jika kita tidak mampu mewujudkan kasih dan keadilan bagi mereka yang rentan di dalam Gereja, apakah kita layak menyampaikan Kabar Gembira pada yang lain?

Ia bekerja sebagai peneliti, trainer, penulis pada isu-isu pembangunan sosial, tanggung jawab sosial. Ia salah satu inisiator petisi online Change.org “Usut Kejahatan Seksual di Gereja Katolik Indonesia.

5 Comments
  1. Masih belum lengkap karena hanya menyasar clergy. Padahal, Kejadian di gereja herkulanus adalah kejadian yang dilakukan okeh layperson

  2. Augustinus Widyaputranto says

    Problem yang harus segera mendapat perhatian adalah mutu terjemahan dokumen Gereja oleh Dokpen KWI yang menurut kesan saya kurang baik karena selain tidak enak dibaca, terjemahan sepertinya kurang mendekati makna aslinya dan bahkan memuat interpretasi daripada menterjemahkan dengan setia maksud dari kalimat-kalimat yang ada dalam dokumen. Oleh sebab itu saran saya, kita lebih baik berpegang minimal versi bahasa inggris dari website Vatikan. Terjemahan VELM adalah salah satu contoh seperti diungkap oleh penulis.

  3. Berthy B Rahawarin says

    Catatan Saya kepada Anda Riza Primadana:
    1). Anda sdh terlalu “jauh” MERAMPAS Kewenangan “mengajar Gereja”, Baikbida bidang Pastoral, Maupun bahkan Tafsir atas Dokumen Gereja, bahkan TAFSIR atas Kitab Suci.
    Saya kira, dalam waktu tidak Lama, kami Desk Legal dlm Elemen Gereja Katolika, mempelajari Detai Pernyataan-pernyataan Anda.
    2. Kami independen dan Obyektif, dan melakukan segala hal dlm Sikap Pastoral-advokasional, juga bahkan proses legal, bila bisa dibuktikan dari Dialog dengan Anda nantinya adanya indikasi “Sekedar Cari SENSASI”:daripada Tujuan Mulia, memberi “Keadilan”:katanya kpd (Korban) dan sanksi kepada Pelaku (oknum), SEBALIKNYA investigasi Anda mengandung SUBYEKTIFITAS dan interese pribadi, dari Suatu tujuan Mulia.
    Tuhan Yg Mengampuni PerempuaPerempuan Pezina Diampuni Yesus (Yoh 7: 53-8:11), menyertai Anda dan Saya juga.

  4. Frans Susanto says

    Sederhana saja :
    Gereja Katolik Indonesia perlu mempertahankan kredibilitasnya/marwahnya/rohnya atau tidak.
    Masyarakat Indonesia sudah akrab pribahasa sejak jaman nenek moyang :
    “Karena nila setitik rusak susu sebelanga”.
    Rasanya cuma satu kata yang bisa disematkan pada klerus yang tergolong (maaf) “penjahat kelamin” semacam itu : TIDAK LAYAK.
    Gereja Katolik sepantasnya mempunyai punggawa yang lebih baik daripada mereka itu. Umat Katolik sepantasnya mendapat teladan/pemimpin yang lebih baik. Mempertahankan/menyembunyikan mereka seperti membawa (maaf lagi) kotoran di wajah Gereja.
    Sebagai profesi, pengendalian diri adalah salah satu kompetensi dasar klerus. Apa organisasi dokter membiarkan sembarang orang melakukan operasi bedah syaraf/otak? Apa organisasi insinyur membiarkan sembarang orang merancang jalan layang? Apa organisasi pilot membiarkan sembarang orang menerbangkan pesawat komersial mengangkut ratusan penumpang?
    Dalam hal otoritas Gereja tidak mampu melaksanakan tugas perutusan, umat/awam terpanggil mengambil langkah2 kreatif dalam tuntunan roh kudus.
    Saran saya perlu semacam forum untuk memperhatikan masalah ini secara khusus bisa diinisiasi siapa saja anggota Gereja yang peduli.
    Karena perjuangan untuk mewartakan kabar baik adalah tugas setiap orang yang dibaptis menjadi anggota Gereja.
    Kegagalan merespon dengan bijak masalah penyimpangan seks kaum klerus ini adalah lonceng kematian Gereja Katolik.
    Dengan demikian secara otomatis para uskup yang abai terhadap dokumen “vos estis lux mundi” bisa juga dianggap tidak layak, bahka membangkang terhadap Tahta Suci. Dan umat rasanya bisa melaporkan pembangkangan para uskup ini kepada Tahta Suci.
    Mengenai penyimpangan perilaku seks tidak wajar oleh awam di lingkungan Gereja bisa direspon bila otoritas Gereja kredibel.

  5. Saibon says

    Teks asli VELM dalam bahasa Italia. Kata yang dipermasalahkan terjemahan kurang tepat adalah “infermità” yang diterjemahkan dengan kata “sakit”. Kata itu berasal dari bahasa Latin “infirmitas” yang memang bisa berarti kelemahan, tetapi juga bisa berarti sakit. Dalam istilah gerejawi kita mengenal “oleum infirmorum” yang artinya “minyak orang sakit” (=minyak orang lemah?). Dalam bahasa Inggris “oleum infirmorum” juga diterjemahkan dengan “oil of the sick”. Kalau kita lihat teks bahasa Jerman, yang digunakan adalah “Krankheit” yang artinya juga “sakit/penyakit”.
    Sebenarnya kalau kita membacanya dengan lengkap, yang dimaksud “orang dewasa rentan” itu memang bukan hanya orang dalam keadaan “infermità/infirmity/Kranheit”, namun masih ada sambungannya “kekurangan secara fisik atau mental, atau dirampas kebebasan pribadinya, yang pada kenyataannya –walaupun hanya sesekali– membatasi kemampuannya untuk mengerti atau untuk menghendaki, atau –yang tanpa itu– ia akan melawan pelanggaran itu”.

Reply To Frans Susanto
Cancel Reply

Your email address will not be published.