Katolikana.com — Gereja Katolik pada masa 1960-an diketahui punya sikap berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gereja turut andil dalam melakukan perlawanan ideologi komunisme di Tanah Air. Peristiwa sesudah G30S 1965 diwarnai aksi kekerasan dan pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Lalu, pertanyaannya, apakah Gereja Katolik terlibat dalam aksi represif itu?
Pada Rabu (30/9/2020), Basilius Triharyanto dari Katolikana.com, mewawancarai Dr. Baskara T. Wardaya, SJ, pastor dan sejarawan. Saat ini ia menjadi Dosen Sejarah dan Kepala PUSDEMA (Pusat Kajian Demokasi dan Hak-hak Asasi Manusia), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Ia melakukan sejumlah penelitian dan menulis karya-karya buku tentang sejarah 1965.
Apakah Gereja Katolik terlibat dalam peristiwa pasca G30S 1965? Menurut Baskara Wardaya SJ Gereja Katolik tidak terlibat dalam pembunuhan massal 1965. Sebagai sistem, para pimpinan Gereja Katolik sedang mengikuti Sidang Konsili Vatikan II di Vatikan.
“Seandainya ada, itu mungkin sifanya kasus, dan beberapa orang tertentu, karena semangat anti komunis, atau karena provokasi, atau masalah tanah terlibat, pasti ada orang Katolik terlibat, tetapi tidak sebagai sebuah struktur atau sistem,” ujar Baskara Wardaya, SJ.
Baskara mengakui bahwa sampai saat ini belum menemukan dokumen-dokumen tertulis terkait keterlibatan Gereja katolik dalam peristiwa pasca G30S 1965. Ini juga karena ia belum menemukan orang yang bisa menjadi narasumber untuk diwawancara, misalnya, pelakunya.
Baskara mengungkapkan peristiwa pembunuhan massal pasca G30S 1965 yang terjadi di ketiga tempat, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali. Ia juga menyinggung kejadian yang sama di Nusa Tenggara Timur, seperti Kupang dan Flores.
Dalam wawancara ini, Baskara berpesan kepada orang-orang Katolik sudah saatnya belajar sejarah bangsanya sendiri, termasuk sejarah 1965. Tidak cukup dengar cerita tentang peristiwa 1965 di masyarakat, dari omongan-omongan, di media sosial, di TV. “Saya mengharapkan anak muda Katolik untuk studi tentang sejarah bangsanya, baca buku,” ujarnya.
Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Gereja Katolik pasca peristiwa 1965? Apakah ada keterlibatan?
Berbicara peristiwa 1965, setidaknya ada beberapa fakta yang bisa dilihat. Pertama, para uskup sedang mengikuti Konsili Vatikan II di Roma. Meskipun demikian, ada perwakilan atau acting yang menggantikan uskup secara administratif mengurusi keuskupan. Di Semarang, Pastor Carii, SJ sebagai Vikjen KAS yang mewakili Uskup Darmojuwono.
Fakta kedua, tentang peristiwa pembunuhan massal pasca G30S 1965 yang besar terjadi di tiga daerah, Jawa Tengah pada Oktober 1965, Jawa Timur pada November 1965, dan di Bali pada Desember 1965. Sekitar itu juga ada pembunuhan massal di Aceh, meski tidak sebesar di ketiga provinsi tadi.
Kita lihat saja, apakah saat itu, bulan Oktober 65 itu di Jateng itu mayoritas atau tidak, terutama di daerah Boyolali, Klaten, Solo, dan sekitarnya. Nah kalau pada waktu itu orang Katolik itu banyak mungkin terlibat. Kalau tidak, yang mungkin tidak. Lah wong orangnya tidak ada, iya kan.
Kemudian di Jawa Timur, di bulan November, ya kalau mau orang katolik di sana terlibat atau tidak ya dilihat aja, tempat-tempat pembantaian itu orang katoliknya banyak tidak, kalau tidak banyak ya mungkin kita nggak bisa bilang orang Katolik terlibat.
Demikian juga pada bulan Desember 65 ketika terjadi pembunuhan massal di sana, kita cek saja orang Katolik itu mayoritas atau tidak di Bali waktu itu. Kalau ternyata, tidak, ya mungkin tidak.
Lalu terakhir kita cek saja di Aceh, apakah bulan-bulan itu orang Katolik mayoritas di daerah Aceh. Kalau tidak ya susah mengklaim orang katolik itu ikut dalam pembantaian massal itu.
Logikanya sederhana saja, pakai common sense saja. Nah, bahwa di tempat-tempat itu, di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, ada orang Indonesia yang sudah beragama Katolik pada waktu itu, ya mungkin saja, cuman kita belum punya back up dan support dokumen kesaksian pelaku.
Ada kemungkinan justru di Jawa Tengah, Jawa Timur, di Bali, orang pada menjadi Katolik setelah 1965, ketika Soeharto mewajibkan setiap orang di KTPnya ada agama. ada kolom agama.
Itu poin kedua saya, nah poin ketiga saya, setelah 1965 terjadi rangkaian pembunuhan juga terkait anti PKI dan sebagainya di tempat-tempat lain di luar yang saya sebutkan tadi, misalnya, di Nusa Tenggara Timur, di Flores dan di Kupang. di Kupang, di sana waktu itu yang banyak protestan, nah yang Katolik itu di Flores.
Nah di Flores ini tampaknya memang terjadi pembunuhan dan dalam banyak kasus pelakunya Katolik, atau mungkin secara langsung atau tidak didukung oleh Gereja, misalnya. Mungkin saja di Flores ini dilakukan orang beragama Katolik dan didukung oleh Gereja. Saya pakai mungkin, karena, Uskupnya sedang di Roma. Artinya, seandainya terjadi, bukan atas perintah pimpinan tertinggi. Mengapa bukan? Pemimpin tertingginya sedang ada di Roma.
Pasca G30S 1965, bagaimana sesama umat saling membunuh, seperti di Flores?
Sebelum ke Flores, kita ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. Pembunuh dan yang dibunuh agamanya sama. Di Bali pembunuh dan yang dibunuh agamanya juga sama. Jadi sebenarnya bukan hanya khas di Flores saja, mungkin di Aceh juga sama. Itu yang harus kita pegang.
Sehingga pertanyaannya, loh kok bisa orang agamanya sama-sama, agamanya A, agamanya C, kok bisa saling membunuh? Kan gitu, kecuali yang begini hanya agamanya Katolik, orang agama lain juga melakukan yang sama di tempat lain. Di Kupang juga sama-sama protestan. Iya kan.
Kalau menurut studi, Jess Melvin, Geoffrey Robinson, atau John Roosa, yang bukunya baru-baru ini terbit, itu kelihatan bahwa konflik itu, ketegangan sudah ada sejak Pemilu 1955, tetapi menjadi kekerasan yang sistemik biasanya hanya-setelah kedatangn personil satuan militer. itu di Aceh, itu di Jawa Tengah, itu di Jawa timur, itu di Bali. Saya menduga, di Flores pun tidak berbeda.
Jadi kok bukan mereka ini diajari kasih oleh Uskupnya, atau pastornya, tetapi kok membunuh ya itu betul, tapi dalam konteks sejarah, ya itu terjadi di tempat-tempat lain, biasanya terjadi karena kedatangan satuan militer.
Sebelum saya lupa, catatannya adalah bahwa di Nusa Tenggara Timur, dan beberapa tempat lain di luar Jawa itu terjadi pembunuhan massal, tetapi pada saat yang sama, perlu diingat bahwa pembunuhannya tidak semassal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Bahwa ada banyak kasus, saya kira iya, tetapi tidak semassal Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Bali.
Apakah ketiga tempat itu karena basis anggota PKI?
Salah satu hal yang bisa kita ingat kalau terjadi peristiwa 1 Oktober di Jakarta, kalau spontan, ada dua yang seharusnya terjadi. Yang pertama, paling dekat dengan Jakarta kan Jawa Barat, harusnya terjadi pemberontakan atau perlawanan masyarakat di sana, tapi maaf di Jawa Barat tidak terjadi pembunuhan massal.
Lalu di Jawa Tengah baru mulai kira-kira minggu kedua atau ketiga bulan Oktober. Artinya tidak langsung tanggal 2, atau 1 Oktober, atau tanggal 3 Oktober. Artinya tidak spontan. dan Jawa Timur sudah terjadi kekerasan-kekerasan, tapi yang terjadi secara massal ya bulan November. Bahkan di Bali baru bulan Desember. Artinya mau mengatakan kasus Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali ini, tidak spontan. Apalagi di Flores sudah setahun kemudian, di beberapa tempat malah 1968.
Tentang rekonsiliasi. Bagaimana perkembangan upaya rekonsiliasi saat ini?
Pengantarnya ada A dan B. Yang A adalah pemerintah Indonesia sebagai state menolak gagasan rekonsiliasi. pernah ada Undang-Undang Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004, tetapi tahun 2006 itu dianulir.
Yang B bahwa karena pemerintah menolak maka masyarakat sipil bergerak di bawah untuk melaksanakan rekonsiliasi itu. Dan itu sudah banyak, sedang dilakukan sekarang. Nah hanya saja rekonsiliasi di dalam konsep barat, termasuk di Afrika Selatan, biasanya yang namanya rekonsiliasi itu adalah proses dialog, keterbukaan, namanya truth telling antara mantan pelaku dan dan mantan korban. hanya saja di Indonesia tidak bisa jalan. Kenapa? Karena mantan pelakunya tidak mau diajak rekonsiliasi.
Oleh karena itu rekonsiliasi di Indonesia ini, di antara para mantan korban, para penyintas, dan keluarganya, dengan masyarakat sekitar di mana mereka tinggal. Itu yang dilakukan rekonsiliasi. Itu terjadi di Yogyakarta, Surakarta, di Bali, di Kupang, di Flores, di Sulawesi Tengah.
Bagaimana peran komunitas agama mendukung rekonsiliasi yang digagas masyarakat sipil?
Agama lain saya nggak bisa dan nggak berani, meskipun saya bekerja bersama mereka, Hindu di Bali, Muslim di Jakarta. Kalau harapan saya, khususnya pada masyarakat Katolik, saya mungkin beberapa hal yang bisa digaris bawahi.
Yang pertama, sejauh saya tahu, Gereja Katolik sebagai institusi entah di tingkat nasional, entah di tingkat keuskupan, menurut saya tidak terlibat di dalam pembunuhan massal 1965 sebagai sistem. Itu mungkin perlu diketahui. Mengapa? Karena uskupnya pada saat itu di Vatikan (Italia), dan seandainya ada mungkin itu sifatnya kasus, dan beberapa orang tertentu, karena semangat anti komunis, atau karena provokasi, atau masalah tanah terlibat, pasti ada orang katolik terlibat, tetapi tidak sebagai sebuah struktur atau sistem.
Yang kedua, saya kira, sudah saatnya orang Katolik belajar sejarah bangsanya sendiri, atau sudah saatnya orang Katolik lebih giat belajar sejarah bangsanya sendiri, termasuk sejarah 1965.
Belajar tadi maksud saya tidak cukup dengar-dengar cerita-cerita 65 tadi itu di masyarakat, di media sosial, di TV, dari omongan-omongan. Tapi, terutama saya mengharapkan anak muda Katolik untuk studi, belajar sejarah bangsanya, baca buku, tadi saya sebut bukunya John Roosa, Jess Melvin, Geoffrey Robinson, atau buku-buku teman-teman Indonesia sendiri. Itu tolong dibaca, supaya tahu gambarannya, belajar dalam konteks itu. Nanti kalau sudah selesai anak muda ini, tolong sharingkan pengetahuan ini kepada generasi yang lebih tua.
Lalu, ketiga, kalau kebetulan di daerah Anda itu ada upaya rekonsiliasi, yang saya sebutkan tadi, rekonsiliasi tingkat akar rumput, tolong terlibatlah.
Sedikit catatan kaki, yang saya lihat di Jogja, ini mahasiswa-mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, Mahasiswa-mahasiswi UGM, itu pada terlibat di dalam proses rekonsiliasi ini, yang notabene tidak Katolik, yang Katolik ini malah jarang yang peduli masalah-masalah itu.
Ini pengalaman saya, paling tidak di Jogja dan Solo, juga mirip, yang Katolik nyaris tidak ada. Mengapa? karena belum banyak yang belajar sejarah tadi. Tentu, ada satu-dua, tetapi sebuah continuity, keberlangsungan, di Jogja dan Solo saya belum lihat. Mungkin di tempat lain ada, tapi itu keterlibatan proses rekonsiliasi ini orang-orang Katolik perlu ditingkatkan. ***
Jurnalis dan editor. Separuh perjalanan hidupnya menjadi penulis. Menghidupkan kata, menghidupkan kemanusiaan.