Monsinyur Anicetus B. Sinaga, OFMCap: Sang Relikui Hidup

Catatan- catatan Kecil Bersama Mgr. Anicetus B. Sinaga, OFMCap

0 1,280

Katolikana.com – Kabar duka itu tiba kira-kira pukul 18.15: Mgr. Anicetus Sinaga meninggal di Rumah Sakit St. Elisabeth, Medan, pada 7 November 2020. Sejak 19 Oktober 2020 beliau dirawat di rumah sakit itu.

Banyak orang bisa berkisah tentang Mgr. Anicetus. Saya bersyukur pernah mengalami dari dekat kebersamaan dengan beliau. Saya menjadi Sekretaris Mgr. Anicetus dari 12 Juli 2002 hingga 3 Januari 2004 saat beliau secara resmi diumumkan menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan.

Monsinyur Anicetus adalah figur yang luar biasa: cerdas, saleh, rendah hati dan murah hati. Paduan yang sangat langka, membuatnya layak paripurna.

Beliau diangkat menjadi Perfektur Apostolik Sibolga pada 11 November 1978, pada usia tergolong muda, 37 Tahun. Ditahbiskan sebagai Uskup Keuskupan Sibolga pada 6 Januari 1981 oleh Paus Yohanes Paulus II di Vatican. Tentang ini kadang-kadan beliau berseloroh, “saya ini relikui hidup, karena yang mentahbiskan saya Orang Kudus”.

Baca Juga:

 

Setelah 23 tahun menjadi Uskup Sibolga, pada 3 Januari 2004 beliau diangkat menjadi Uskup Coadjutor Keuskupan Agung Medan. Beliau sedang menjalani retret pribadi di Biara Klaris Sikeben ketika beliau diberitahu oleh Nuncio Apostolik bahwa Sri Paus telah mengangkatnya sebagai Uskup Coadjutor.

Sepulang dari Sikeben beliau menyampaikan ke kalangan terbatas di Kuria. Belum diumumkan karena menunggu pengumuman resmi dari Vatican. Secara pribadi beliau juga setuju diumumkan setelah tahun baru. “kepindahan ini mungkin bukan hadiah natal dan tahun baru yang baik untuk umat”, katanya bergurau dengan tawanya yang khas.

Maka sejak 2004 beliau pindah ke Medan sampai pensiun pada 8 Desember 2018 bersamaan dengan diangkatnya Mgr. Kornelis Sipayung menjadi Uskup Agung Medan. Pasca pentahbisan Mgr. Kornelis beliau ‘kembali’ ke Sibolga, karena sebelumnya juga sudah diangkat menjadi Administrator Apostolik Keuskupan Sibolga, sepeninggal Mgr. Ludovicus Simanullang, OFMCap.

Ketika bertemu dalam tawanya yang riang beliau masih bergurau, “Saya ini sudah lengkap. Jadi Perfektur Apostolik, Uskup, Uskup Coajutor, Uskup Agung dan Administrator Apostolik. Hanya jadi Kardinal dan jadi Paus yang belum pernah”.

Anak Muda di Sinilah Ruanganmu

Saya diangkat sebagai Sekretaris Uskup begitu menyelesaikan Pendidikan di STFT St. Yohanes. Tiga hari setelah menerima tahbisan Diakonat, 9 Juli 2002, saya memulai tugas sebagai Sekretaris Uskup.

Sekembali dari Pangaribuan tempat tahbisan diakon, tanggal 12 Juli 2002 saya mulai masuk kantor. Sebelum saya, beberapa tahun Mgr. Sinaga tanpa sekretaris. Tugas sekretaris dirangkap. Pernah oleh Rm. Joko, OSC yang merangkap sebagaiVikjen. Maka ketika saya datang, ruang kerja sudah lama tidak ditempati.

Pastor Marinus Telaumbanua,OFMCap – Vikjen waktu itu – menunjukkan ruang kerja saya, persis berhadapan dengan ruang kerja Bapa Uskup di lantai dua.

Mgr. Sinaga dengan gayanya yang khas datang menghampiri kami dan berkomentar, “anak muda, di sinilah ruanganmu”. Jadilah sejak saat itu saya menjadi sekretaris Uskup.

Sebagai sekretaris tugas rutin saya berkaitan dengan surat menyurat, SK, notulensi rapat dan mengatur jadwal-jadwal pertemuan dengan tamu atau pihak-pihak yang mau bertemu dengan uskup.

 

Mgr Anicetus Sinaga bersama penulis saat pertemuan Para Uskup dan Pimpinan Tarekat Religius se-Sumatra pada 2018/Foto: RD Hans Jeharut

 

Waktu itu monsinyur tidak memakai handphone. Suatu waktu ketika merapikan meja kerja uskup, saya menemukan ada kotak yang belum dibuka berisi handphone yang masih baru. Rupanya ada umat di Jakarta yang menghadiahi beliau handphone. Beliau tidak memakai dan membiarkannya saja di meja.

Ketika saya bertanya, “kenapa tidak dipakai Mgr?”. “Ah biarlah di situ”. Tetapi tak lama kemudian beliau mengatakan, “Nanti Vikjen saja yang pakai. Dialah mewakili kita memakai barang canggih ini”. Setelah itu handphone itu pun diserahkan ke Vikjen untuk dipakai.

 

Polyglot dan Multitasking

Jadwal harian beliau sangat teratur. Bangun subuh, lalu meditasi. Setelah itu ibadat pagi dan merayakan ekaristi bersama di Kapel St. Kristoforus. Hari tertentu beliau merayakan misa di Kapel Susteran OSF.

Setelah ekaristi harian, biasanya disusul sarapan. Lalu – kalau sedang tidak ada tugas kunjungan ke paroki atau rapat di luar kota – beliau bekerja di Kantor Keuskupan yang letaknya sekitar 50 meter dari Rumah Kediaman Uskup.

Beliau kutu buku. Buku-buku bacaannya dalam berbagai bahasa. Ia satu dari sedikit orang yang tergolong polyglot: menguasai banyak bahasa. Ia fasih berbicara Bahasa Jerman, Inggris, Italy, Belanda, Perancis (bahkan punya diploma yang katanya sambil bergurau ‘bisalah untuk jadi guru SD’).

Ia berbicara dalam berbagai bahasa daerah Batak Toba, Simalungun dan Nias, juga menguasai bahasa Karo. Tentu saja juga menguasai bahasa Latin, dan bahasa Indonesia.

Maka bacaannya sangat kaya. Setiap kali pulang, terutama dari luar negeri Bapa Uskup biasa membawa pulang banyak buku. Selain itu banyak buku dikirim dari mana-mana untuk beliau.

Beliau juga tekun menulis. Saat itu di ruang kerjanya ada dua komputer dan satu laptop. Tiga-tiganya berfungsi dan dipakai. Komputer yang satu khusus untuk menulis kamus yang tiap hari selalu diisi entry baru.

Komputer satunya berisi draft buku dan makalah. Sedangkan laptop sering dipakai untuk menulis surat dan artikel-artikel pendek.

Kalau masuk ke ruang kerja tiga komputer ini semua ‘menyala”. Beliau bisa berpindah-pindah dari komputer yang satu ke komputer lain tanpa kehilangan konsentrasi.

Sistem penyimpanan buku di rak pun teratur. Beliau hafal letak-letaknya. Maka kalau butuh mengecek untuk catatan kaki, cukup mudah untuk menemukan.

Nah salah satu tugas saya adalah mengoreksi kesalahan ketik. Karena sering beliau bekerja sampai malam dan saya sudah pulang ke rumah, maka draft naskah biasanya diletakan di depan pintu atau dimasukan ke ruangan saya melalui celah pintu, lengkap dengan paraf.

Mgr. Sinaga juga ensiklopedi berjalan. Kita bisa bertanya banyak hal dan beliau menjawab dengan runtut sering disertai sumber, entah buku atau ahli yang empunya pendapat.

Ketika sedang tekun menyelesaikan kamus, beliau bisa pindah menyelesaikan tulisan dengan tema lain dengan enteng, untuk kemudian membalas email atau menulis dan mengirimkan email.

Selama bersama beliau, Bapa Uskup jarang sakit. Satu-satunya keluhan adalah kalau tekanan udara berubah, beliau akan peka. Kebiasaan buruknya: merokok! Belakangan beliau berhenti total. Soal makan minum Monsinyur tidak pilih-pilih. Setelah makan beliau biasanya minum teh tanpa gula.

 

Mgr Anicetus Sinaga bersama penulis saat pertemuan Para Uskup dan Pimpinan Tarekat Religius se-Sumatra pada 2018/Foto: RD Hans Jeharut

 

 

Nasi Padang dan Duren

Sebagai Uskup Sibolga, Mgr. Anicetus sangat dihormati dan dituakan. Banyak tokoh yang datang entah sekedar bertamu atau meminta pendapat dan pandangan-pandangan beliau.

Suatu waktu serombongan Pendeta menyatakan keinginan untuk bertemu. Monsinyur menerima mereka di kantor. Karena asyik ngobrol, pembicaraan baru berakhir malam.

Waktu makan pun sudah lewat. Saya menelpon ke rumah dan dijawab sudah tidak ada makanan karena menyangka Bapa Uskup makan di tempat lain. Beliau lalu mengeluarkan uang dari dompet, jadilah saya membeli nasi padang untuk makan malam kami.

Waktu yang lain. Di trotoar depan kantor selalu ramai penjual duren saat musim buah itu tiba. Kami bisa menyaksikannya dari jendela kantor di lantai dua.

Suatu malam saya membeli duren dan membawa ke kantor, lalu mengajak Monsinyur makan. Beliau ikut menikmati duren. Setelah puas makan, bekas kulitnya saya taruh di tempat sampah. Kami pun pulang ke rumah.

Besok pagi, Ketika masuk kantor, suster ngomel-ngomel karena ruangan bau duren! Saya ditegur. Dan saya tidak mau jadi korban sendirian, “Monsinyur juga ikut makan”, dalih saya.

Masih tentang makanan. Bapa Uskup tidak menuntut banyak. Apa yang disediakan akan beliau makan. Jika dalam perjalanan, beliau mau mampir di mana saja untuk makan. Tempat yang sering disinggahi adalah di daerah Balige. Bukan rumah makan terkenal. Tetapi kedai makan biasa, tempat para sopir juga biasa singgah untuk makan.

Suatu kali kami bertiga ke Medan mengantar Bapa Uskup. Bapa Uskup, saya dan Pak Sitompul (sopir). Tiba di Balige, Bapa Uskup mengingatkan ayo kita makan siang dulu. Kami pun mampir makan. Porsi lengkap : saksang, sop, panggang.

Setelah makan, saya menunggu tapi tidak ada tanda-tanda Bapa Uskup akan membayar. Lalu saya tanya Pak Tompul, “adong do hepeng dilehon suster?”. “Adong pastor, alai tu bensin na ma on”.

“Cukup gak bensin kita sampai ke Siantar?

“Sampai ke Medan pun masih cukup”.

“Sini saya pinjam dulu uangmu kalau begitu. Saya pun tidak bawa uang”.

Kami lalu mampir di Siantar dan saya meminjam uang ke ekonom Seminari. Tiba di Medan, saya menelpon suster di ekonomat keuskupan.

“Suster, kok Bapa Uskup berangkat tidak bawa uang?”.

“Ada pastor, saya masukan di amplop!”.

Ketika Bapa Uskup pulang dari perjalanan, saya mengecek kopernya. Amplop masih utuh dan tentu saja beberapa bungkus rokok Djarum Super 16 kesayangan beliau. Beliau hanya tertawa waktu saya cerita saya sampai pinjam uang ke ekonom Seminari, rupanya Bapa Uskup punya uang dan masih utuh di koper.

Celana, Bantal Butut, dan Sepatu

Pakaian Bapa Uskup biasanya dicuci dan disetrika oleh para suster SCMM. Pakaian kotor diambil, setelah dicuci dan disetrika dikembalikan ke rumah uskup. Namun Bapa Uskup punya beberapa “baju kesayangan”, yang dipakai berulang-ulang, seperti tidak ada baju lain.

Suatu waktu saya dan suster Sesilia memanggil Ci Betty (penjahit) untuk mengukur baju dan celana panjang untuk uskup. Tak lama kemudian datang beberapa stel baju dan celana baru.

Saya pun diam-diam menyingkirkan beberapa baju dan celana dari lemari karena sudah kelihatan lusuh. Rupanya Bapa Uskup tahu juga. Ketika sedang membantunya di kantor, beliau bertanya, “sepertinya ada baju saya yang belum diantar”.

Saya pura-pura tidak tahu dan berjanji akan bertanya ke para suster yang biasa mengurus pakaian Bapa Uskup. Setelah itu beliau tidak pernah bertanya lagi, mungkin sudah maklum.

Bantal butut. Ini tidak persis disebut bantal. Lebih tepat kumpulan baju-baju bekas yang digulung-gulung lalu menyerupai bantal dan bisa mengganjal kepala kalau tidur.

Setelah makan siang Bapa Uskup tidak selalu kembali ke rumah, tetapi langsung ke kantor melanjutkan kerja, membaca atau menulis. Di sela-sela itu beliau bisa mengambil waktu beberapa menit untuk istirahat. Nah, di situlah bantal ini sangat berjasa. Beliau berbaring saja di lantai dengan kepala diganjal bantal butut ini.

Suatu kali beliau pergi agak lama. Ketika merapikan kamar kerja saya – sudah lama berniat – menyingkirkan bantal ini. Saya sembunyikan di pojok laci lemari. Ketika beliau pulang, hilangnya bantal ini tidak dibahas. Aman pikir saya. Eh tak lama kemudian, saya lihat bantal butut ini sudah menempati posisinya semula.

Ketika sudah resmi diumumkan akan pindah ke Medan, saya menyampaikan ke Suster Sesilia, “tidak ada lagi sepatu dan sandal uskup yang layak pakai”. Suster meminta saya mencarikan sepatu.

Lalu kami membeli dua pasang sepatu baru dan diantar ke ruang kerja beliau. Bapa Uskup tertawa ketika disampaikan bahwa keputusan membeli sepatu ini setelah menimbang bahwa sepatu-sepatu yang ada tidak layak dibawa ke Medan. Sepatu itu beliau pakai.

Bapa Uskup terlalu banyak untuk dikisahkan pengalaman bersamamu. Bapa Uskup orang hebat dan akan tetap dikenang sebagai orang hebat.

51 tahun hidupmu sebagai Imam. 39 tahun sebagai uskup bukanlah waktu yang pendek.

Terimakasih untuk semua teladan hidupmu. Doakan kami yang masih berziarah ini. Seperti pemazmur yang juga menjadi motto episcopatmu, “ad pasquam et aquas conducit me” (Mzm 23:2).

Selamat jalan Bapa Uskup….

Pangkalpinang, 8 November 2020

 

 

RD Hans Jeharut adalah Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Pangkalpinang. Moderator Pemuda Katolik Provinsi Bangka Belitung. Anggota FKUB Provinsi Bangka Belitung.

Leave A Reply

Your email address will not be published.