
Arsitek Malvezzi Rancang ‘House of One’: Gereja, Masjid, Sinagoga dalam Satu Atap di Berlin
House of One adalah karya inklusif diperuntukan bagi pemeluk Kristen, Islam, dan Yahudi di Jerman.
Katolikana.com – Pemerintah Jerman tengah merancang sebuah tempat ibadah yang menggabungkan gereja, masjid, sinagoga di bawah satu atap. Tempat ibadah yang dinamakan House of One ini mengambil lokasi di situs bekas gereja bersejarah di kawasan Petriplatz, Berlin.
Di lokasi ini dahulu pernah berdiri Petrikirche (Gereja Santo Petrus). Gereja ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-13. Petrikirche sempat terdampak kerusakan parah akibat Perang Dunia II, sebelum akhirnya diratakan dengan tanah oleh pemerintah komunis Jerman Timur pada 1964.
Sekitar satu dekade lalu pondasi bekas gereja ini terungkap kembali. Ketika pondasi Petrikirche ditemukan, ide yang mengemuka pertama kali adalah mendirikan gereja baru atau monumen peringatan di lokasi situs tersebut.
Namun setelahnya muncul wacana lain untuk membuat satu tempat ibadah lintas agama. “Kami ingin membuat sesuatu yang baru, sebuah tempat suci yang lebih mencerminkan wajah Berlin hari ini,” cetus Roland Stolte kepada The Guardian (21/2/21).
Stolte adalah salah seorang teolog Kristen yang ikut ambil bagian dalam memprakarsai proyek ini. Ia menjelaskan bahwa gagasan proyek ini cukup sederhana. “Kami ingin membangun sebuah tempat untuk beribadah dan belajar. Tempat tiga agama dapat hidup bersama, sembari tetap menjaga identitas masing-masing.”
Untuk itu arsitek Kuehn Malvezzi yang merancang House of One berusaha membuat karyanya seinklusif mungkin. Bahkan tempat ini tidak dikhususkan bagi pemeluk Kristen, Islam, dan Yahudi saja. Malvezzi mendesain sebuah aula utama di tengah-tengah House of One sebagai penghubung antara gereja, masjid, dan sinagoga.
Umat beragama lain dapat memanfaatkan aula utama untuk beribadah. Selain itu, aula ini juga diperuntukkan untuk menggelar diskusi dan acara-acara lainnya.
Rabbi Yahudi, Andreas Nachama, memuji gagasan pembangunan House of One. Ia menyatakan, “Di dalam House of One, umat Kristen, Muslim, dan Yahudi, dapat menyembah Tuhan dengan caranya masing-masing. Akan tetapi, mereka juga dapat saling mengunjungi satu sama lain ketika hari besar keagamaan, peringatan, atau perayaan lainnya.”
“Ini lebih dari sekadar simbol. Ini adalah awal era baru yang menunjukkan tidak ada kebencian diantara kita, tambahnya.
Namun, bukan berarti gagasan ini kebal dari kritik. Awalnya, masyarakat sempat curiga House of One menyimpan misi untuk mencampuradukkan semua agama atau berusaha membuat satu agama baru. Sehingga pernyataan Stolte dan Nachama adalah penegasan penting untuk membantah kecurigaan tersebut.
Tak lupa, mengingat latar belakang kawasan Berlin Timur yang cenderung sekuler, House of One tak hanya mendekati umat beragama. Orang-orang tanpa afiliasi agama apapun juga turut dirangkul dalam perencanaan House of One. Mengutip Stolte, “Institusi keagamaan harus menemukan bahasa dan jalan baru untuk menjalin hubungan (dengan orang-orang tidak beragama).”
Konstruksi House of One dijadwalkan berlangsung selama empat tahun dan menghabiskan anggaran sebesar €47 juta (sekitar Rp808 miliar). Pemerintah Federal Jerman dan Pemerintah Negara Bagian Berlin menanggung €30 juta (sekitar Rp515 miliar) dari jumlah tersebut. Sementara sisanya dipenuhi dari penggalangan dana dan donasi publik.
Sumber: The Guardian
Editor: Basilius Triharyanto
Kontributor Katolikana.com di Jakarta. Alumnus Fisipol Universitas Gadjah Mada. Peneliti isu-isu sosial budaya dan urbanisme. Bisa disapa via Twitter @ageng_yudha
[…] Berita selengkapnya di katolikana.com […]