Toxic Family, Masalah dalam Keluarga yang Harus Diperhatikan

Anak Harus Melakukan Cara untuk Bertahan dalam Situasi Toxic Family

0 664
LiveTalkshow KatolikanaMuda dengan tema “Toxic Family Relationship: Katanya Sayang, Tapi Kok…?” Foto: Istimewa

Katolikana.com—Menghabiskan banyak waktu dengan keluarga di rumah selama masa pandemi, dapat memberikan banyak dampak, salah satunya kekerasan orang tua kepada anak.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mencatat, kekerasan terhadap anak semenjak pandemi meningkat.

Jika situasi ini dibiarkan, tentu akan berpengaruh bagi kondisi psikologis anak dan orang tua.

Perubahan psikologis tersebut kemudian akan memunculkan adanya hubungan keluarga yang tidak sehat atau toxic.

Fenomena toxic family ini menjadi topik pembahasan dalam #LiveTalkShow #KatolikanaMuda dengan tema “Toxic Family: Katanya Sayang Tapi Kok..?”, Minggu (4/04/2021) pukul 13.00 WIB.

Talk Show ini menghadirkan Dosen Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi, Pegiat Komunitas Psikologi Yustinus Agrin Wicaksono, S.Psi, Suster Florentine, dan alumna UAJY Jessica Sipayung dan dipandu oleh Elisabeth Rena dan Angela Gina.

Harus ada Kesadaran Orang Tua

Orang tua kerap menuntut anaknya dalam beberapa hal, baik dalam konteks keluarga maupun di luar keluarga untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Orang tua juga sering membandingkan anaknya dengan anak lain dalam hal prestasi.

Pada dasarnya seorang anak tidak akan merasa nyaman berada dalam lingkungan keluarga dan akan selalu terbebani apa yang dituntut orang tua. Mereka merasa harus menjalankan tanggung jawab tersebut sebagai seorang anak yang harus membahagiakan kedua orang tuanya.

Orang tua sering tak sadar jika sudah menuntut anak secara berlebihan tanpa melihat apakah itu akan berdampak baik terhadap anak.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. Foto: usd.ac.id

Menurut Cornelius Siswa, orang tua harus memiliki kesadaran akan apa yang dilakukan dan memastikan perbuatan tersebut hanya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan anak.

“Dalam membimbing anak, orang tua harus dapat memperlakukan anak seperti memperlakukan diri sendiri dan tidak hanya peka terhadap kemauannya sendiri,” tutur Siswa.

Selain itu, orang tua harus mengerti terhadap batas kemampuan dari seorang anak.

“Orang tua bisa mengajak anak untuk sering mengobrol. Bukan dalam arti menasihati dan menuntut, namun untuk memahami dan mengamati anak,” kata Siswa.

Mengolah Ketahanan  dan Menerima Keadaan

Kepekaan anak terhadap perilaku yang diberikan oleh orang tua akan selalu bertambah seiring waktu.

Saat anak masih di bawah umur, mereka bisa saja tidak peka jika perilaku yang diberikan oleh orang tua adalah abusement.

Untuk itu, orang tua harus bisa mengedukasi diri agar dapat mengarahkan anak yang masih di bawah umur.

Pegiat Komunitas Psikologi Yustinus Agrin Wicaksono, S.Psi. Foto: Instagram

Yustinus Agrin mengatakan, anak yang sudah menginjak usia dewasa, tingkat kepekaan terhadap situasi toxic di sebuah keluarga akan lebih tinggi. Inisiatif akan mengedukasi diri sendiri juga akan lebih meningkat.

Menurut Yustinus, anak harus melakukan cara untuk bertahan dalam situasi toxic family. Antara lain dengan memahami situasi, memaafkan situasi, mencari teman berbicara, mengungkapkan apa yang diinginkan kepada orang tua, dan membuktikan kemampuan yang dimiliki.

“Setelah memahami situasi, kita sudah mulai bisa menetapkan batasan. Coba katakan pada orang tua bahwa kita sudah dewasa,” ujar Yustinus . Seorang anak harus dapat tegas memutuskan batasan dalam dirinya, lanjutnya.

Proses resiliensi atau mengolah ketahanan dalam diri–artinya anak dapat memiliki kemampuan penyesuaian diri yang tinggi terhadap sebuah tekanan–didapatkan oleh anak setelah memahami dan menerima keadaan.

Komunikasi menjadi kunci paling penting untuk menjaga hubungan anak dan orang tua. Dengan mengkomunikasikan permasalahan yang ada, orang tua akan bisa lebih mengerti keadaan anak dan perilaku yang selama ini diberikan.

Konselor di Kantor Kemahasiswaan, Alumni, dan Campus Ministry Universitas Atma Jaya Yogyakarta Suster Florentine OP. Foto: Youtube

Pola Asah, Asuh, dan Asih

Dalam mengasuh anak, orang tua harus memperhatikan kebutuhan anak.

Suster Florentine memaparkan, sebagai orang tua, pola asah, asuh dan asih haruslah seimbang.

“Hal tersebut merupakan kebutuhan dasar anak untuk emosional, intelektual, sosial, jasmani dan rohani yang perlu diasah, asih, dan asuh. Asah adalah mendidik, asih berarti kasih, dan asuh berarti mencukupi kebutuhannya,” ujar Suster Florentine.

Menurut Suster Florentine, ketiga kebutuhan ini saling melengkapi dan tidak bisa dihilangkan salah satunya.

“Misalnya hanya asuh dan asah, orang tua menjadi otoriter terhadap anak. Bila hanya asih saja, anak menjadi terlalu dimanja,” tambahnya.

Tiga dasar inilah yang menjadi dasar awal untuk konseling spiritualitas oleh Suster Florentine.

“Orang tua harus paham dengan kasih, jika sudah paham maka anak akan mengerti jika terjadi perdebatan. Sebagai anak, segala tuntutan coba dilihat dalam perspektif kacamata iman,” tutur Suster Florentine.

Toxic atau racun harus dikeluarkan dalam bentuk kasih. Sayangnya tidak semua kasih itu menyenangkan. Harus ada relasi antara anak dan orang tua,” lanjutnya.[]

Kontributor: Elisabeth Rena, Dian Lestari Gunawan, Angela Gina, M.G Iwan Marpaung (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.