Di Manakah Tuhan Saat Bencana Siklon Seroja NTT?

1 399

Sengatan Corona masih terasa. Hentakan kaki para teroris baru saja terdengar di samping perkemahan. Badai angin dan hujan tanpa bertanya langsung menggusur kami dari tempat hunian.

Tidur tidak nyaman. Makan tak sempat. Tertawa, mana mungkin. Air mata tidak tertampung. Ingin berteriak, siapa yang dapat mendengar. Terpaksa hanya terisak-isak.

Tragedi warga Nusa Tenggara Timur (NTT) 4-6 April 2021 mementaskan kembali pertanyaan-pertanyaan besar. Apakah ada Tuhan? Di manakah Tuhan saat Siklon Seroja memporak-porandakan NTT?

Bergulat dengan big questions bukan pengalaman baru. Banyak historiografi mencatat masalah-masalah besar seperti genosida Nazi, Perang Dunia I dan II, Pemboman World Trade Center di New York, genosida etnis Rohingnya, dan aneka bencana alamnya, mencuatkan pergulatan yang sama. Jawabannya pun bervariasi.

Manusia Sumber Masalah

Jawaban atas soal di atas tak jarang dialamatkan hanya kepada manusia. Beragam kekelaman sejarah dengan gamblang disematkan pada kejahatan manusia: para teroris atau penguasa haus darah tertentu. Namun bagaimana bila masalahnya datang dari bencana alam?

Jawabannya juga tidak jauh dari geliat manusia. Gereja Katolik hingga hari ini memandang bencana manusia pertama-tama merupakan masalah sosio-antropologis (bdk. Laudato Si).

Alam memberontak sebagai ulah investasi tangan-tangan tak bertanggung jawab yang mengeruk alam tanpa belas kasih.

Eksploitasi alam terjadi masif melalui privatisasi kawasan hutan dan sungai oleh korporasi-korporasi multinasional.

Korporasi-korporasi nasional membabat hasil privatisasi tanpa ampun dengan orientasi ekonomi. Negara-negara ekonomi raksasa turut menyokong kekejaman korporasi atas alam ini.

Kawasan hutan Amazon di Amerika Latin, hutan dan sumber air di Afrika, kawasan hutan di Kalimantan, merupakan bentuk riil kekejaman manusia atas alam.

Karena alam adalah ekosistem, kerukan di bagian tertentu akan berefek secara menyeluruh. Alhasil, global warming, kekeringan, tanah longsor, dan badai muncul.

Tidak untuk membalas dendam terhadap manusia, alam selalu mencari keseimbangan. Kosmos punya mekanisme self-balancing.

Jawaban di atas kelihatan masuk akal dan terbukti melalui banyak kajian saintis, tetapi masih problematis.

Sejarawan Yuval Noah Harari di dalam buku pertama dari Trilogi Best-Seller-nya, Homo Sapiens (2011), menulis bahwa bencana alam dengan daya perusak yang luas bukan masalah era industri.

Bencana alam sudah terjadi ribuan tahun silam bahkan sebelum homo sapiens membasmi homo lain dan hewan-hewan raksasa.

Alam sudah memiliki patokan siklus. Dengan demikian, di manakah kita dapat menghubungkan ulah homo sapiens, leluhur manusia kala itu, dengan bencana alam? Link logis untuk menjelaskan ulah manusia dan kerusakan alam tampak manipulatif.

Pengungsi. Foto: Daniel Arrhakis (Flickr.com)

Mengais Makna

Pertanyaan kemudian: kalau bukan manusia biang keladi bencana alam, lantas siapa? Apakah Tuhan?

Pada abad-abad awal Gereja, Lactantius pernah mengangkat soal Teodicea berikut. Kalau Allah mahatahu, Allah tentu dapat mencegah kejatahan sebelum terjadi. Kalau Allah mahakuasa, Ia sanggup menghalaukan kejahatan. Kalau Allah mahakasih, Allah tentu tidak akan membiarkan kejahatan menimpa manusia.

Terbukti, kejahatan tak henti menimpa manusia. Maka Allah tidak mahatahu, mahakuasa, dan mahabaik. Allah demikian untuk apa disembah? (Emanuel Bria, 2008)

Membantah logika biner yang menyederhanakan Allah sebagai lawan kejahatan, kaum skolastik menjawab: kejahatan (malum) hanyalah kekurangan atau spasi ketiadaan kebaikan (bonum).

Kejahatan tidak ada pada dirinya (Simplesius Sandur, 2019). Sebagaimana baju yang robek hanya ada pada baju yang baik, kejahatan pun hanya dapat dikenal karena ada kondisi kebaikan sebelumnya.

Maka, kejahatan tidak menihilkan keberadaan Allah. Kejahatan hanyalah kondisi aksidental yang muncul pada kebaikan. Jawaban ini masuk akal, tetapi tidak menyengat derita eksistensial korban.

Friederiech Nietzsche, seorang filsuf yang dilabel ateis, malah memberi pencerahan yang membantu. Bagi Nietzsche, Allah sebagai realitas asali selalu lari dari bidikan bahasa manusia (Setya Wibowo, 2019).

Setiap kali kita mengatakan sesuatu tentang kenyataan asali, kenyataan itu selalu menghindar, menolak dipatok kandangkan dengan konsep tertentu. Karena itu, Allah tidak bisa dikurungkan di dalam dogma atau pernyataan tertentu.

Bila Allah tidak dapat dipenjarakan dengan pernyataan tertentu, kita tentu tidak bisa dengan sepele menempelkan predikat mahakasih, mahabaik, dan mahatahu pada Allah.

Konsekuensi logisnya, Allah tidak dapat divonis tidak ada hanya karena karakter tempelan kita pada Allah.

Jawaban Nietzsche membantu, tetapi masih berspekulasi. Spekulasi bermanfaat sebagai kerangka konseptual, tetapi selalu tidak mengena pengalaman eksistensial.

Jawaban Nietzsche malah menggiring orang ke muara agnostisime. Bagi para agnostis, Allah ada atau tidak, bukan orang manusia. Kita tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui apa pun tentang Allah. Posisi ini tentu saja menampik data iman kekristenan: Allah yang menyejarah.

Adapun jawaban lain dari paham deisme. Menurut paham ini, Allah itu ibarat pembuat arloji. Setelah ia menciptakan, arloji akan beroperasi sendiri. Maka tatkala arloji rusak, bukan Allah yang merusak. Dinamika arloji sendiri yang menemui ajalnya.

Terhadap gagasan seperti ini kita bisa bertanya: bukankah dengan demikian, Allah memang sejak menciptakan sudah merancang masa berlaku arloji? Kalau demikian, Allah tetap harus bertanggung jawab. Jawaban ini pun tidak tidak menyudahi persoalan: di manakah Tuhan?

Bertanya itu kodrat manusia, tetapi hidup tidak selesai dengan bertanya. Meski pun keputusan final, kita harus mengambil keputusan pada persimpangan tertentu. Hidup harus tetap jalan.

Maka daripada mencari jawaban, lebih baik mengais makna dari setiap bencana hidup. Setiap orang yang meragukan Tuhan tidak bisa menyangkal bahwa ia percaya pada Tuhan.

Hanya orang beriman yang meragukan imannya. Di dalam fase krisis hidup, iman justru semakin ditantang. Tantangan memurnikan iman.

Sebagaimana Ayub yang bergulat seolah Allah meninggalkan dirinya, pada akhirnya di dalam epifani Allah, Ayub hanya termangu. Betapa Allah tidak dapat ditakar dengan secuil penderitaan manusia.

Yesus sendiri merasa ditinggalkan Bapanya di sepanjang perjalanan nestapa di lorong-lorong Yerusalem hingga penyaliban di atas Golgota. Namun, Allah membuktikan: Yesus justru dimuliakan di atas salib. Melalui kematiannya, kebangkitan terjadi.

Bagi orang Kristen, tidak ada kebangkitan tanpa kematian. Tidak ada kemuliaan tanpa salib. Inilah makna terdalam misteri penderitaan kita. Orang Kristen tidak lari dari penderitaan, tetapi memeluk penderitaan bersama Tuhannya.

Di manakah Tuhan? Pertanyaan besar ini bukan masalah yang memiliki solusi. Setiap soal besar merupakan misteri yang dipermasalahkan. Kalau manusia adalah misteri (Louis Leahy, 2008), bagaimana mungkin Tuhan bukan misteri?

Soalnya ialah masalah punya jawaban dan solusi, misteri tidak punya solusi dan jawaban. Namun, mempertanyakan misteri adalah tanggapan kodrati setiap orang yang menderita dan beriman.

Staf Pengajar Filsafat dan Teologi Pra-Novisiat Claret, Kupang

1 Comment
  1. Fancy says

    Misteri punya solusi,yakni iman.

Leave A Reply

Your email address will not be published.