Di Balik Pagar, Ada Kepala Bunda Maria dengan Wajahnya yang Sedih di Sebelah Ring Basket

2 329

Hidup dengan bipolar itu sesuatu yang luar biasa. Saat mood swing menghantam keras, tak ada sesuatu pun yang mampu menghentikannya, meski logikamu menunjukkan jalan yang seharusnya kau tempuh untuk keluar dari zona gelap atau benderang yang membutakan itu.

Setiap kali kau bekerja atau berkumpul dengan orang lain, kau harus selalu alert bak smoke detector. Begitu ada sesuatu yang terasa aneh, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah menghindar dan mencari tempat tenang untuk menyendiri sambil mengatur napas untuk menenangkan diri.

Namun kadang serangan itu datang tanpa memberi tanda sama sekali. Terlalu cepat untuk terdeteksi, sehingga api membesar sebelum kau bahkan sempat mencium bau asapnya.

Saat itulah kau akan tampak sebagai orang super aneh yang tiba-tiba menangis atau marah tanpa sebab yang jelas, atau bahkan terbahak meski tak ada kelucuan yang layak ditertawakan.

Well, meskipun dokter telah memberikan obat untuk mengontrol mood, tetap saja insiden yang tak terduga tetap sering terjadi.

Santo Yosep, Bunda Maria, dan Yesus mau pergi kemana? Foto: Bening

Lalu apa lagi yang harus dilakukan?

Buatku, jalan pagi atau sore adalah cara memproduksi endorphin, hormon yang menjadi zat penenang yang membuat bahagia dan menekan adrenalin serta cortisol, hormon yang bertanggung jawab untuk menciptakan stres dan agresi.

Apakah semudah itu mengatasi si mood swing itu? Tidak, Fergusso! Tidak semudah itu, karena untuk sekadar melangkahkan kaki keluar rumah pun membutuhkan seseorang untuk menendang pantatmu.

Saat diri seakan lumpuh dan tak ada energi maka saat itulah perang antara logika yang tahu dan emosi yang mengekang itu terjadi. Kadang, di saat itulah kau butuh sesuatu atau seseorang untuk membantu bangkit dan keluar dari zona gelapmu.

Saat kau harus memaksa dirimu bangkit dan keluar dari rumah untuk berjalan mencari keringat, saat itu pulalah otak mencari sesuatu yang memotivasi diri untuk tetap melangkah.

Kadang seseorang yang berjalan 100 meter di depan bisa memicu untuk mempercepat langkah dan melewatinya.

Di saat langkahku mulai melewatinya, saat itulah ada kebahagiaan yang membuncah.

“Ah, aku bisa melewatinya padahal dia tampak lebih kuat. Good job, B. You did it.”

Kutepuk-tepuk pundak sendiri. Di saat lain, menemukan sesuatu yang ada di jalan juga menjadi motivasi menyenangkan.

Beberapa tanaman indah yang tersembunyi di balik pagar rumah-rumah yang aku lewati juga membawa kebahagiaan tersendiri. Atau patung-patung yang berjajar di sepanjang trotoar Malioboro.

Satu tempat yang menarik untuk disinggahi di saat jalan pagi adalah Rumah Patung Brata Gallery yang terletak di Jalan Pajeksan di Kawasan Malioboro. Selalu ada satu patung lelaki dengan senyum lebar yang mengintip di lantai dua rumah itu.

Kepala Bunda Maria dengan wajahnya yang sedih di sebelah ring basket. Foto: Bening

Di balik pagar ada kepala Bunda Maria dengan wajahnya yang sedih di sebelah ring basket. Mungkinkah dia sedih karena kalah tanding basket?

Di sebelah barat gallery selalu ada patung baru yang terletak di sana. Mungkin patung-patung yang siap dikirimkan ke pembelinya? Entah.

Pagi itu, Selasa (11/5/2021), segala yang terjadi seakan tidak mengizinkanku keluar untuk jalan.

Bangun sudah kesiangan saat jam menunjukkan pukul 06.00. Terlalu terlambat untuk keluar dan jalan tanpa kepanasan. Tapi entah apa yang terjadi, diri ini memaksa untuk keluar di jam 06.30.

Alasannya hanya keluar rumah, dua kali bolak-balik Malioboro dari ujung selatan ke utara dan mampir Pasar Gandekan untuk membeli beberapa kebutuhan yang sudah direncanakan semalam.

Tapi setelah berjalan bolak-balik dan mampir pasar, tak ada sesuatu pun yang ingin dibeli. Akhirnya keluar pasar dan berjalan pulang melewati tempat favorit itu.

Ah, ada patung baru rupanya. Malaikat yang tengah menginjak kepala seseorang dengan sayap yang digeletakkan di atas tumpukan di sebelahnya.

Tangannya menghunus pedang yang tak tampak mata. Kelihatannya malaikat ini lelah memanggul sayapnya saat melakukan tugasnya.

Di sebelahnya, seorang lelaki yang seperti Yesus menyaksikan semua kejadian ini sambal memeluk rangkaian bunga di dadanya.

Apakah lelaki ini membiarkan si malaikat membully orang yang sudah tak berdaya itu? Ataukah cerita yang terangkai di kepalaku sambil memotret kejadian itu terlalu liar? Entah.

Malaikat yang tengah menginjak kepala seseorang dengan sayap yang digeletakkan di atas tumpukan di sebelahnya. Foto: Bening

Saat hendak beranjak dari tempat itu, seorang lelaki yang terlihat juga tengah jalan pagi menyapaku ramah.

“Baru ambil foto ya? Saya yang buat itu,” sambil tangannya menunjuk pada patung-patung yang barusan kulihat. Dan percakapan pagi itu pun menjadi sebuah kisah yang menarik.

Mikael Brata, usianya 77 tahun, terlihat semangat untuk menceritakan pengalamannya menjadi seniman patung rohani.

Patung-patung karyanya telah melanglang buana di banyak gereja yang tersebar di Indonesia maupun luar negeri.

Pak Brata bercerita bagaimana Tuhan menggunakannya sebagai penyalur berkat dan keajaiban. Saat ada gereja yang membutuhkan patung dengan anggaran minim, selalu ditemukan orang-orang yang bersedia membayarnya.

Mikael Brata, seniman patung rohani. Foto: Bening

Bagaimana anak bungsunya menerima keajaiban setelah sanggup untuk mengganti biaya pembuatan patung bagi sebuah gereja di daerah Timur Indonesia.

Bagaimana sebuah patung mengeluarkan aroma manis yang dipercaya sebagai parfum yang digunakan oleh seorang Santa.

Pak Brata juga mengajari saya tentang perspektif yang digunakan saat membuat patung. Dia menggunakan patung perjamuan terakhir yang ada di sana sebagai contoh.

Meja yang terlihat miring itu dibuat sedemikian rupa sehingga akan terlihat datar ketika patung itu diletakkan di ketinggian.

Dia tampak senang ketika saya menyebutkan kalau patung itu pasti akan diletakkan di tempat yang lebih tinggi daripada kepala atau mata penikmatnya.

Dia makin semangat ketika saya menyebutkan bahwa kepala murid Yesus yang kedua dari kanan tampak aneh buat saya karena lehernya terlalu panjang dan kepala itu terlalu nongol keluar.

Dia menjelaskan kalau dilihat dari perspektif yang salah memang patungnya menjadi tidak masuk akal. Karena itulah patung harus dibuat dengan menggunakan perspektif yang benar.

Terima kasih, Pak Brata. Anda membawa keajaiban bagi saya pagi itu.

Semoga Tuhan memberkati Anda dan orang-orang yang Anda sentuh melalui karya seni yang indah.*

Seorang penyintas bipolar yang suka menulis.

2 Comments
  1. Hotma DL.Tobing says

    Menarik sekali mbak Uchiek. Terasa teringat suasana dua setengah warsa lalu. Matur suwon

    1. Bening says

      Terimakasih, Mas Tok. Salam hangat dari Yogyakarta.

Leave A Reply

Your email address will not be published.