Justin, Aktivis Demo di Myanmar: Ketika Kudeta Berlangsung Semua Aspek Kehidupan Turun

Jika kudeta ini tidak terjadi, semua sudah mendapatkan vaksin Covid-19, dan sekolah seharusnya kembali dibuka

0 201

Katolikana.com—Kudeta yang berlangsung di Myanmar, November 2020 berdampak buruk bagi fisik dan mental warga Myanmar.

Hal ini dirasakan oleh Justin (19 tahun), mahasiswa kedokteran yang tinggal di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar dengan populasi penduduk mencapai 1,727 juta jiwa.

Justin merupakan salah satu pemuda Myanmar yang beberapa kali ikut turun ke jalanan untuk melakukan aksi demonstrasi.

Menurut Justin, kudeta ini berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari dengan cara yang sangat buruk. Kudeta yang terjadi di Myanmar akan memperburuk penanganan pandemi dan aspek pendidikan.

“Jika kudeta ini tidak pernah terjadi, seharusnya kita semua sudah mendapatkan vaksin untuk Covid-19. Sekolah juga seharusnya sudah mulai kembali dibuka,” ujar Justin kepada Katolikana, Senin (6/9/2021).

“Ketika kudeta berlangsung semua aspek kehidupan turun. Sebelumnya kehidupan saya sangat teratur. Saya berlatih dance dengan teman saya, berolahraga, dan kelas online. Setelah kudeta, semua itu menjadi sulit dilakukan,” paparnya.

Justin saat aksi demo di Myanmar. Foto: Istimewa

Dampak Fisik dan Mental

Tidak hanya di situ, kudeta menjadi sebuah ketakutan bagi masyarakat. Menurut Justin, kudeta ini sangat berpengaruh terhadap kondisi fisik dan mentalnya.

Sebelum kudeta, Justin selalu berlatih dance bersama teman-teman dan memiliki pola hidup teratur.

Saat ini Justin hanya berada di rumah. Ia tidak melakukan apa pun sehingga itu berpengaruh terhadap kesehatan fisik.

“Tak hanya secara fisik, kudeta ini memberikan pengaruh terhadap mental saya sebagai pemuda Myanmar. Bagaimana tidak! Saya terus memikirkan bagaimana masa depan pemuda-pemuda Myanmar. Saat ini banyak aspek kehidupan yang terhambat,” ujar Justin.

Pikiran tersebut selalu menghantui pemuda berusia 19 tahun itu. Tentu saja hal tersebut dapat memengaruhi stabilitas mental dalam dirinya.

Dampak pada Sistem Pendidikan

Sebelum kudeta berlangsung, Myanmar telah merencanakan sekolah tatap muka kembali. Meskipun sebelumnya sekolah daring, tetapi semua kurikulum dan materi pembelajaran masih dalam jangkauan murid maupun mahasiswa.

Saat kudeta berlangsung semua menjadi kacau. Hal ini ditambah dengan sistem pendidikan di Myanmar yang belum baik. Myanmar hanya menempuh pendidikan hingga kelas sepuluh.

“Pendidikan di Myanmar kini makin buruk. Semua orang khawatir akan masa depan. Saya salah satunya. Sebelumnya saya punya rencana untuk kuliah dengan baik, lulus, menerima gelar, dan mendapatkan pekerjaan. Saat kudeta ini dimulai, saya harus memikirkan dua kali  apa yang sudah saya rencanakan sebelumnya,” ucap Justin.

Aksi Brutal Polisi

Di berbagai negara, polisi bertugas mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warga. Ini berbeda dengan polisi di Myanmar saat kudeta berlangsung.

Aksi brutal polisi kerap kali terjadi saat protes sedang berlangsung. Dengan kata lain, aksi warga tidak sejalan dengan polisi di sana.

“Saat kudeta ini dimulai, kami melakukan aksi protes dengan sangat damai dan tenang. Bahkan kami memberikan makanan dan minuman karena kami mengira mereka sangat kelelahan,” ujar Justin.

“Kami kira cara ini dapat membuat polisi akan berada di pihak kami, namun ternyata kami salah,” paparnya.

Polisi tetap mematuhi aturan yang diberikan oleh Jenderal Militer bahkan menembak orang-orang yang mencoba bersuara.

“Polisi dan tentara membuat aturan sendiri yang mengekang warga Myanmar,” tambah Justin.

Aksi brutal polisi ini menambah ketegangan warga Myanmar. Mereka sangat ingin bersuara namun mereka takut akan ancaman polisi karena menjadikan nyawa sebagai taruhanya.

Aksi Protes

“Semua kalangan usia ikut melakukan protes, terutama mereka yang mendukung NLD (Partai Liga Nasional) yang memenangkan hasil pemilu,” ujar Justin.

“Saat kudeta ini dimulai, saya dan kakak saya juga turun ke jalan dengan kelompok masyarakat yang begitu banyak untuk mengambil gambar dan membagikannya di Internet, terutama Twitter,” tambahnya lagi.

Menurut Justin semua kalangan usia ikut melakukan protes bahkan anak-anak.

Saat Justin turun untuk melakukan protes bersama teman-teman sebaya, ia hampir ditangkap polisi. Beruntung, Justin masih sempat bersembunyi di rumah-rumah warga sekitar.

Salah satu teman yang tidak sempat menyusul berhasil ditangkap polisi, hingga Senin (6/9/2021) ia belum dibebaskan dari penjara.

Keterbatasan akses informasi dan pengawasan yang brutal dari polisi menjadi alasan kuat warga Myanmar masih mendapatkan sedikit perhatian dan dukungan dari negara-negara lain.

“Ini adalah negara di mana saya tumbuh. Tentu saja saya berharap banyak setiap hari agar negara ini dapat kembali,” ucap Justin.

“Saya pribadi percaya, kelompok militer ini akan kalah. Hal ini hanya bergantung pada waktu. Karena ketika demokrasi masyarakat menang saya percaya Myanmar akan kembali berkembang,” katanya.

Kudeta Pasca Pemilu

Kudeta di Myanmar bermula saat berlangsung pemilihan umum pada November 2020. Pemilu ini merupakan pemilu demokratis kedua sejak negara itu keluar dari pemerintahan militer pada 2011.

Pihak militer menuduh adanya kecurangan atas pemungutan suara saat pemilu berlangsung. Sehingga perolehan suara Partai Liga Nasional (NLD) jauh lebih besar dari yang diperkirakan banyak orang.

Justin berharap, dampak kudeta Myanmar menjadi sorotan publik agar dunia internasional dapat secepatnya memberi bantuan dan perhatian kepada nasib warga Myanmar, khususnya pemuda.

Mereka sulit bersuara karena pengekangan yang dilakukan oleh kelompok militer dan polisi. **

Kontributor :  I Ketut Agus Arta Diva, Gladiyo, Putri Lomo, Yulicia, Maria Da Costa, Shania RF Situmorang  (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

 

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

Leave A Reply

Your email address will not be published.